Jika menyimak penjelasan Nadiem secara utuh, konsep marketplace guru terbilang ide out the box. Nadiem menilai sistem ini lebih efektif dan efisien bagi guru dan sekolah.Â
Namun, sebelum kita mempelajari konsepnya lebih dalam, penamaan sistem tampaknya tidak tepat secara linguistik. Penamaan sebagian besar ceroboh dan menunjukkan ketidakpedulian.
Kesan dari kacamata bahasa Norman Fairclough, dalam bukunya Power and Language (2003), menjelaskan nilai pilihan kata dalam wacana.Â
Setiap kata dapat memiliki tiga nilai. Nilai-nilai tersebut berupa nilai pengalaman (experimental values), nilai relasional (relational values) dan nilai ekspresif (expressive values).
Nilai-nilai eksperimen (experimental values) menunjukkan bahwa kata itu berarti ideologi, pengetahuan atau dari mana latar belakang dan lingkungan sosial seseorang berasal.
Nilai relasional (relational values) dikaitkan dengan kata-kata yang dapat menunjukkan hubungan sosial antara agen percakapan dan target mereka. Nilai ekspresi (expressive values) menunjukkan bahwa pilihan kata terkait erat dengan identitas sosial dan pandangan terhadap realitas.
Berdasarkan gagasan nilai-nilai empiris Fairclough, penggunaan istilah marketplace menunjukkan latar belakang Nadiem dalam berbisnis. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan.Â
Namun, perlu diingat bahwa Nadiem saat ini bukan lagi CEO Gojek, melainkan Menteri Pendidikan. Kebijakan pendidikan hendaknya meminimalkan istilah "ekonomi" yang dapat menimbulkan reaksi dan persepsi negatif di masyarakat.
Penggunaan istilah marketplace guru juga memberikan kesan buruk terkait dengan nilai relasi. Istilah ini menciptakan hierarki. Seolah-olah pemerintah menganggap guru sebagai "komoditas" sementara sekolah adalah konsumen.Â
Dalam konteks ini, penunjukan program pendidikan bertujuan untuk menjadikan guru sebagai mitra sejajar dalam memajukan pendidikan.Â
Dari segi nilai ekspresi, istilah Marketplace Guru memberikan kesan negatif. Profesi guru dipandang sebagai komoditas yang dijual dalam sistem.Â