Mohon tunggu...
Sutrisno Penadebu
Sutrisno Penadebu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis menebar kebaikan, Menulis apa saja bila ide datang

Sutrisno dengan nama pena Penadebu, ASN di Babulu kabupaten Penajam Paser Utara. Menulis di beberapa media baik cetak maupun online telah menerbitkan beberapa jurnal, prosiding, dan beberapa buku. Kini menjadi pengurus organisasi profesi. Menjadi instruktur lokal dalam kegiatan menulis dan guru inti. Sutrisno dapat dihubungi di: 1. HP/Wa : 081253791594 2. Facebook : Sutrisno babulu 3. Email : sutrisnok809@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ya, Humairoh

18 Oktober 2024   05:18 Diperbarui: 18 Oktober 2024   08:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ya Humairoh
Oleh: Penadebu

Dea lahir sekitar tahun 1990-an, tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik dengan kepribadian blak-blakan. Tak ada yang ditutup-tutupi dalam hidupnya, termasuk urusan cinta. Keberaniannya menghadapi segala situasi adalah ciri khasnya. Di tengah usianya yang masih muda, Dea menjalin hubungan dengan Bayu Arya, seorang laki-laki separuh baya yang selalu menatapnya dengan kekaguman. Perbedaan usia yang cukup jauh di antara mereka tak pernah menjadi penghalang. Cinta yang mereka miliki murni, tumbuh dari kejujuran dan ketulusan.


Bayu, dengan pengalaman hidup yang panjang, melihat Dea sebagai cahaya baru dalam hidupnya. Setiap kali mereka bertemu, mata Bayu selalu tertuju pada pipi Dea yang memerah. Pipinya yang merona itu, bagai saksi bisu akan perasaan cinta yang tulus dan tak terucapkan. Setiap kali melihatnya, Bayu tak pernah lelah memanggilnya dengan sebutan penuh kasih, "Ya, Humairoh."
"Kenapa selalu memanggilku begitu?" tanya Dea suatu hari dengan senyum menggoda.


Bayu hanya tersenyum lembut, matanya tak lepas dari pipi Dea yang memerah. "Karena pipimu selalu merah, seperti kemerahan yang indah. Kau tahu, di zaman dahulu, wanita-wanita dengan pipi merona seperti itu disebut Humairoh---wanita yang bercahaya kemerahan."


Dea tersipu, meski dengan sifat blak-blakannya, saat Bayu memanggilnya begitu, ia selalu merasa malu. Namun, di sisi lain, hatinya berdebar bahagia. Ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia temui pada orang lain. Ada sesuatu yang berbeda dalam cinta yang ia miliki bersama Bayu. Usia bukanlah ukuran, karena Bayu memberinya ketenangan dan perlindungan, dua hal yang tak pernah ia sadari selama ini begitu penting.


Setiap hari, hubungan mereka semakin erat. Dea merasa nyaman menjadi dirinya sendiri bersama Bayu. Mereka berbagi tawa, cerita, dan momen-momen kecil yang penuh makna. Bayu sering kali menyentuh pipi Dea dengan lembut, membelai kemerahannya dengan kasih sayang yang tak pernah berkurang.


"Ya, Humairoh," bisiknya lembut di sela-sela waktu, seolah-olah kalimat itu adalah mantra yang melambungkan hati mereka berdua.


Waktu terus berjalan, dan meski dunia mungkin tak memahami cinta mereka yang berbeda usia, Bayu dan Dea tetap teguh. Cinta mereka bukan soal masa depan atau masa lalu, melainkan tentang setiap detik yang mereka habiskan bersama. Setiap kali Bayu memanggilnya "Ya, Humairoh," Dea tahu bahwa di dunia ini, ada satu orang yang melihat dirinya dengan cara yang tak bisa dilihat orang lain: melalui pipi yang memerah, tanda cintanya yang selalu membara.

Hari-hari mereka terus berlalu dengan kebahagiaan sederhana. Meski tidak sedikit orang yang mempertanyakan hubungan mereka, Dea dan Bayu selalu bisa saling menguatkan. Bayu dengan kesabarannya, dan Dea dengan semangat mudanya yang tak pernah padam. Setiap kali dunia terasa berat, mereka selalu menemukan tempat berlindung satu sama lain.


Suatu sore, mereka duduk di lantai atas dekat kolam renangdi suatu tempat, menikmati senja yang perlahan turun. Langit berwarna jingga, dan angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajah mereka. Bayu duduk bersandar di kursinya, sementara Dea berbaring dengan kepalanya di kursi, mengamati perubahan warna langit di atas kota Samarinda.


"Bayu," Dea memecah keheningan. "Pernahkah kau berpikir... tentang kita? Maksudku, tentang masa depan?"
Bayu menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari arti di balik pertanyaan itu. "Tentu saja," jawabnya pelan, jari-jarinya bermain di rambut Dea. "Setiap hari aku memikirkan masa depan kita."


Dea tersenyum kecil, namun raut wajahnya terlihat sedikit gelisah. "Kau tahu... Aku tidak pernah meragukan cinta kita, tapi aku sering bertanya-tanya, bagaimana dunia melihat kita nanti? Bagaimana jika mereka tak pernah mengerti?"


Bayu menarik napas dalam. "Dunia selalu punya pendapatnya sendiri. Mereka mungkin tak akan pernah sepenuhnya mengerti cinta kita, tapi yang penting adalah apa yang kita rasakan. Aku mencintaimu, Dea. Seperti pipimu yang selalu memerah, cintaku padamu juga tak akan pernah pudar."
Dea terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Baginya, Bayu adalah sosok yang tak tergantikan---bukan hanya karena kasih sayangnya, tapi juga karena kebijaksanaan dan ketenangan yang selalu ia bawa. Meski perbedaan usia mereka sering menjadi bahan perbincangan, di mata Dea, Bayu adalah pria yang sempurna untuknya.


"Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," Dea berkata, suaranya bergetar penuh keyakinan. "Aku hanya ingin kita bahagia. Hanya itu yang penting."


Bayu tersenyum, menundukkan kepalanya untuk mencium kening Dea. "Itu juga yang paling penting bagiku, Humairoh-ku."
Sore itu, mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang penuh makna. Waktu seakan berhenti di antara mereka. Dea tahu bahwa dalam pelukan Bayu, ia akan selalu merasa aman dan dicintai, apapun yang terjadi. Pipinya yang selalu memerah setiap kali Bayu memanggilnya "Ya, Humairoh" menjadi saksi bisu akan cinta yang begitu tulus.


Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Dea mendongak, menatap bintang-bintang itu sambil menggenggam tangan Bayu.
"Kau tahu," kata Dea sambil tersenyum, "mungkin orang-orang di luar sana tidak akan pernah mengerti. Tapi di bawah langit ini, di dunia kecil kita, cinta ini adalah segalanya."


Bayu memandangnya dengan penuh kelembutan. "Dan itu sudah lebih dari cukup."


Cinta mereka tak perlu penjelasan panjang. Seperti senja yang tak pernah memohon untuk dipahami, mereka hanya ada untuk saling melengkapi. Dunia mungkin tak selalu memahami kisah mereka, namun bagi Dea dan Bayu, cinta mereka sudah cukup menjadi dunia tersendiri---dunia yang hanya mereka berdua yang tahu.


"Ya, Humairoh," bisik Bayu lagi, seperti janji yang tak akan pernah hilang dihembus waktu.

Beberapa bulan berlalu sejak percakapan sore itu. Cinta Dea dan Bayu semakin dalam, namun mereka tahu ada satu tantangan besar yang harus dihadapi---keluarga Dea, terutama orang tuanya. Dea adalah anak pertama, dan orang tuanya sangat menyayanginya. Mereka tentu menginginkan yang terbaik untuk masa depan putrinya, tapi hubungan dengan pria separuh baya seperti Bayu mungkin akan sulit mereka terima.


Suatu malam, di bawah sinar bulan yang lembut, Dea dan Bayu duduk bersama di ruang tamu rumah Bayu. Dea tampak gelisah, sementara Bayu, seperti biasanya, tetap tenang. Mereka tahu saat itu telah tiba. Bayu sudah lama berniat untuk meminang Dea secara resmi, tapi mereka harus menghadapi orang tua Dea lebih dahulu.


"Aku takut, Bayu," kata Dea pelan, jari-jarinya meremas tangan Bayu. "Aku tahu mereka sangat mencintaiku, tapi aku tidak tahu bagaimana mereka akan menerima ini."


Bayu menggenggam tangannya dengan lembut, tatapan penuh keyakinan. "Aku juga mencintaimu, Dea. Dan karena itu, aku akan menghadapi apa pun demi kita. Orang tuamu mencintaimu, dan aku yakin, jika mereka melihat ketulusan kita, mereka akan mengerti. Aku tidak akan menyerah."


Kata-kata Bayu mengalir dengan tenang, seperti air yang menyejukkan. Dea tahu bahwa ini bukan perjalanan mudah, tapi bersama Bayu, ia merasa kuat. Mereka memutuskan untuk berbicara dengan orang tua Dea keesokan harinya.


Pagi itu, Dea dan Bayu tiba di rumah orang tuanya. Jantung Dea berdegup kencang, tapi tangan Bayu yang menggenggam erat miliknya memberinya kekuatan. Ketika mereka masuk ke dalam rumah, bapak Dea sudah menunggu di ruang tamu. Suasana terasa canggung, terutama karena mereka belum benar-benar tahu tentang hubungan Dea dan Bayu.


Setelah beberapa percakapan awal yang basa-basi, Dea mengumpulkan keberaniannya.
"Bapak," katanya, suaranya bergetar. "Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan." Dea menatap Bayu, dan dia memberi anggukan kecil, mendukungnya. "Aku dan Bayu... kami saling mencintai. Dan kami ingin melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius."
Ayah Dea menatap mereka dengan alis terangkat. "Bayu? Pria ini...?" Matanya tampak berat menilai, tetapi bukan kemarahan yang terpancar---hanya kebingungan dan sedikit khawatir.


Bayu berdiri, lalu berbicara dengan suara yang tenang dan penuh hormat. "Pak, saya tahu ini mungkin mengejutkan. Saya lebih tua dari Dea, dan saya sadar mungkin ada kekhawatiran tentang perbedaan usia kami. Tapi yang saya ingin Bapak tahu adalah bahwa saya mencintai putri Bapak dengan tulus. Saya ingin menjaga dan membahagiakannya, dan saya ingin meminangnya secara resmi."


Bapak Dea terdiam, memandang putrinya seolah mencari jawaban. "Dea, kamu yakin dengan keputusan ini?"


Dea menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Bapak... aku tahu ini mungkin tidak mudah diterima. Tapi aku benar-benar mencintai Bayu. Dia memberiku rasa tenang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Usia bukanlah masalah bagi kami. Kami bahagia bersama."


Hening sejenak menyelimuti ruangan. Orang tua Dea saling berpandangan, berbicara dengan mata mereka sebelum Bapak Dea akhirnya bicara.


"Kami tidak pernah ingin melihatmu terluka, Dea. Itulah kekhawatiran kami. Tapi jika kau yakin Bayu adalah orang yang tepat, maka kami harus percaya pada keputusanmu."


Mata Dea berkaca-kaca mendengar kata-kata itu. Bayu merasakan beban di pundaknya terangkat sedikit. Ia kemudian berbicara lagi, penuh keyakinan. "Terima kasih atas kepercayaan Bapak. Saya berjanji akan menjaga Dea sebaik mungkin, dan membuatnya bahagia."


Proses peminangan pun berjalan dengan lancar. Beberapa minggu setelah percakapan itu, keluarga besar berkumpul dalam suasana yang penuh kebahagiaan. Bayu datang dengan niat tulus, ditemani oleh beberapa saudara terdekatnya, dan resmi meminang Dea di hadapan keluarganya.


Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun hangat, diiringi tawa dan senyum bahagia dari keluarga serta sahabat terdekat. Saat Dea berjalan di altar, gaun putihnya berkilau lembut di bawah sinar lampu. Di ujung sana, Bayu menunggunya dengan tatapan penuh cinta. Di saat-saat itu, semua keraguan sirna---hanya ada mereka berdua, siap menghadapi kehidupan baru bersama.
Ketika Bayu menyematkan cincin di jari Dea, ia memandangnya dengan senyum lembut, lalu berbisik, "Ya, Humairoh."


Dea tersenyum malu, pipinya kembali merona merah seperti hari pertama mereka bertemu.
Mereka menjalani hidup baru dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Bayu selalu memastikan bahwa Dea merasa dicintai dan dihargai setiap hari. Setiap panggilan "Ya, Humairoh" yang ia ucapkan selalu menjadi pengingat akan cinta mereka yang tak akan pernah luntur oleh waktu, usia, atau pandangan orang lain.


Kini, Dea dan Bayu hidup bahagia, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Mereka tahu, cinta mereka bukanlah cinta yang biasa---ini adalah cinta yang dibangun di atas pengertian, keberanian, dan ketulusan hati. Dan mereka akan terus berjalan bersama, seiring waktu yang berputar, tak peduli apa kata dunia di luar sana.

 Balkipapan, 18 Oktober 2024
#Penadebu_Cerpen_Ya, Humairoh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun