Ya Humairoh
Oleh: Penadebu
Dea lahir sekitar tahun 1990-an, tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik dengan kepribadian blak-blakan. Tak ada yang ditutup-tutupi dalam hidupnya, termasuk urusan cinta. Keberaniannya menghadapi segala situasi adalah ciri khasnya. Di tengah usianya yang masih muda, Dea menjalin hubungan dengan Bayu Arya, seorang laki-laki separuh baya yang selalu menatapnya dengan kekaguman. Perbedaan usia yang cukup jauh di antara mereka tak pernah menjadi penghalang. Cinta yang mereka miliki murni, tumbuh dari kejujuran dan ketulusan.
Bayu, dengan pengalaman hidup yang panjang, melihat Dea sebagai cahaya baru dalam hidupnya. Setiap kali mereka bertemu, mata Bayu selalu tertuju pada pipi Dea yang memerah. Pipinya yang merona itu, bagai saksi bisu akan perasaan cinta yang tulus dan tak terucapkan. Setiap kali melihatnya, Bayu tak pernah lelah memanggilnya dengan sebutan penuh kasih, "Ya, Humairoh."
"Kenapa selalu memanggilku begitu?" tanya Dea suatu hari dengan senyum menggoda.
Bayu hanya tersenyum lembut, matanya tak lepas dari pipi Dea yang memerah. "Karena pipimu selalu merah, seperti kemerahan yang indah. Kau tahu, di zaman dahulu, wanita-wanita dengan pipi merona seperti itu disebut Humairoh---wanita yang bercahaya kemerahan."
Dea tersipu, meski dengan sifat blak-blakannya, saat Bayu memanggilnya begitu, ia selalu merasa malu. Namun, di sisi lain, hatinya berdebar bahagia. Ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia temui pada orang lain. Ada sesuatu yang berbeda dalam cinta yang ia miliki bersama Bayu. Usia bukanlah ukuran, karena Bayu memberinya ketenangan dan perlindungan, dua hal yang tak pernah ia sadari selama ini begitu penting.
Setiap hari, hubungan mereka semakin erat. Dea merasa nyaman menjadi dirinya sendiri bersama Bayu. Mereka berbagi tawa, cerita, dan momen-momen kecil yang penuh makna. Bayu sering kali menyentuh pipi Dea dengan lembut, membelai kemerahannya dengan kasih sayang yang tak pernah berkurang.
"Ya, Humairoh," bisiknya lembut di sela-sela waktu, seolah-olah kalimat itu adalah mantra yang melambungkan hati mereka berdua.
Waktu terus berjalan, dan meski dunia mungkin tak memahami cinta mereka yang berbeda usia, Bayu dan Dea tetap teguh. Cinta mereka bukan soal masa depan atau masa lalu, melainkan tentang setiap detik yang mereka habiskan bersama. Setiap kali Bayu memanggilnya "Ya, Humairoh," Dea tahu bahwa di dunia ini, ada satu orang yang melihat dirinya dengan cara yang tak bisa dilihat orang lain: melalui pipi yang memerah, tanda cintanya yang selalu membara.
Hari-hari mereka terus berlalu dengan kebahagiaan sederhana. Meski tidak sedikit orang yang mempertanyakan hubungan mereka, Dea dan Bayu selalu bisa saling menguatkan. Bayu dengan kesabarannya, dan Dea dengan semangat mudanya yang tak pernah padam. Setiap kali dunia terasa berat, mereka selalu menemukan tempat berlindung satu sama lain.
Suatu sore, mereka duduk di lantai atas dekat kolam renangdi suatu tempat, menikmati senja yang perlahan turun. Langit berwarna jingga, dan angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajah mereka. Bayu duduk bersandar di kursinya, sementara Dea berbaring dengan kepalanya di kursi, mengamati perubahan warna langit di atas kota Samarinda.
"Bayu," Dea memecah keheningan. "Pernahkah kau berpikir... tentang kita? Maksudku, tentang masa depan?"
Bayu menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari arti di balik pertanyaan itu. "Tentu saja," jawabnya pelan, jari-jarinya bermain di rambut Dea. "Setiap hari aku memikirkan masa depan kita."