Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Partai Politik dan Utopia Pemberantasan Korupsi dalam Pilkada Serentak

13 Maret 2020   14:22 Diperbarui: 24 Desember 2021   10:22 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/Shem Ndjurumana

Kata kunci: Partai Politik, Korupsi, Pilkada Serentak

Tema tulisan ini seyogianya tentang bagaimana partai politik berperan memberantas korupsi di berbagai sektor, khususnya dalam pilkada serentak. Namun, terkesan utopis rasanya membuat judul semisal; "Peran Partai Politik dalam Membasmi Korupsi di Indonesia", "Partai Politik di Garis Depan Pemberantasan Korupsi", "Mencegah dan Memberantas Korupsi bersama Partai Politik", atau judul-judul lain bernada sama. 

Bukan tanpa alasan untuk mengatakan judul-judul tersebut utopis. Kita bisa lihat, alih-alih mencegah dan memberantas korupsi, partai politik kita justru berada di garis depan untuk melakukan korupsi. Tidak hanya dilakukan oleh kader partai secara individual, korupsi tersebut bahkan tidak jarang dilakukan secara beramai-ramai. Hingga belakangan muncullah istilah Korupsi Berjamaah.

Sebut saja korupsi yang dilakukan oleh para anggota DPRD Kota Malang pada tahun 2018 silam. Dalam dugaan tindak pidana suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang itu, sebanyak 41 orang anggota DPRD Kota Malang yang terlibat korupsi diciduk oleh KPK. Ada juga kasus korupsi di lingkungan DPRD Jambi pada tahun 2019 yang menyeret nama 12 orang anggota DPRD Jambi. Hal sama juga terjadi di Sumatera Utara. Sebanyak 14 orang anggota DPRD Sumatera Utara ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana suap di era Gubernur Gatot Pujo Nugroho. 

Kasus-kasus tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi partai-partai politik, mengingat para legislator yang tersandung korupsi itu, merupakan kader partai politik. Partai politik jugalah yang mengantarkan mereka ke parlemen. Sebagai representasi konstituen mereka tentunya. Bukan untuk maling uang rakyat yang telah memilih mereka. Menyaksikan fakta ini di depan mata, bukankah membicarakan peran partai politik dalam memerangi korupsi tidak lebih dari sekadar utopia?

Berbicara soal peran partai politik dalam memerangi korupsi, tidak akan jauh berbeda dalam setiap cabang kekuasaan. Baik di ranah legislatif sebagaimana contoh di atas, hingga ranah eksekutif dan yudikatif. Bahkan, dalam banyak kasus, cabang-cabang kekuasaan ini justru berkolaborasi dalam melakukan korupsi. 

Contohnya, anggota DPRD memberi gratifikasi kepada Kepala Daerah. Sebaliknya, ada juga Kepala Daerah yang membagikan hasil korupsi kepada para anggota DPRD. Sedangkan keterlibatan kekuasaan yudikatif dapat kita contohkan dengan seorang anggota DPRD atau Kepala Daerah yang memberikan gratifikasi kepada Hakim atau Jaksa dalam sebuah perkara yang melibatkan nama anggota DPRD atau Kepala Daerah tersebut.

Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya persoalan korupsi dalam sebuah negara. Ia jarang berdiri sendiri, melainkan melibatkan beberapa elemen yang telah dikoordinasikan sedemikian rupa. Korupsi juga biasanya dilakukan secara sistematis dan terencana, sehingga menyulitkan para penegak hukum dalam mengungkap dugaan-dugaan kasus korupsi tersebut.  

Kendati korupsi adalah persoalan yang sangat kompleks sebagaimana disebutkan sebelumnya, saya akan mencoba untuk lebih mengerucut pada diskursus mengenai korupsi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak (pilkada serentak), kontribusi partai politik dalam korupsi, sekaligus peran partai politik untuk memerangi korupsi dalam konteks pilkada serentak.   

Korupsi dalam Pilkada Serentak

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada serentak menjadi salah satu lahan subur korupsi. Tentu anggapan ini tidak serta merta mengkambing hitamkan pilkada sebagai akar dari segala permasalahan. Karena selain mekanisme penyelenggaraan pilkadanya, pihak pelaksana pilkada dan budaya anti korupsi masyarakat juga harus menjadi pertimbangan. Dalam konteks yang lebih luas, anggapan yang mengatakan pilkada sebagai lahan korupsi sebenarnya bermuara pada anggapan; demokrasi sebagai faktor yang mendorong praktik-praktik korupsi.

Anggapan ini terkesan "mengganggu", mengingat perjuangan dan pengorbanan para pendahulu kita dalam menegakkan demokrasi (dan HAM) di negara ini. Pun perjuangan itu tidak selesai dalam sehari-dua hari, melainkan melalui proses yang relatif panjang. Berangkat dari pemahaman itu, saya berpandangan bahwa menempatkan demokrasi sebagai faktor yang mendorong praktik korupsi adalah sebuah simplifikasi yang dangkal, kalau tak mau disebut kekeliruan. 

Saya juga yakin bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah baik, namun situasi dari setiap negara di mana demokrasi itu diterapkan akan turut mempengaruhi bentuk demokrasi tersebut. Hal serupa juga pernah disampaikan Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Demokrasi Konstitusional (Adnan Buyung Nasution, 2010). Beliau yakin, demokrasi itu baik. Kondisi di setiap negara saja yang berbeda. Perbedaan situasi tersebut kemudian menuntut masing-masing negara untuk menemukan bentuk demokrasi yang sesuai dengan kondisi negaranya agar demokrasi tidak menjadi boomerang bagi konstelasi hukum maupun politik negara yang bersangkutan. 

Kembali lagi ke pilkada serentak. Sudah barang tentu, pilkada serentak dipahami sebagai perwujudan demokrasi. Hampir semua ilmuwan pun pasti merumuskan pemilihan umum yang jujur dan adil sebagai salah satu unsur demokrasi. Pilkada serentak di Indonesia bahkan dianggap sebagai bentuk paling murni dari demokrasi, karena dilaksanakan secara langsung, yakni setiap warga negara memiliki satu suara (one man one vote) untuk memilih pemimpin mereka. Maka tak heran jika masyarakat mengatakan pilkada sebagai pesta demokrasi. Hal tersebut juga sedikit-banyak menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi yang paling baik menurut masyarakat adalah demokrasi langsung (direct democracy).

Ihwal demokrasi langsung ini perlu dibahas, mengingat belakangan muncul wacana agar pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat. Melainkan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini guna menekan ongkos politik (political costs) yang dinilai sangat tinggi jika rakyat memilih calon kepala daerah secara langsung. Dengan demikian, akan terjadi pergeseran dari direct democracy menjadi indirect democracy dalam penyelenggaraan pilkada serentak. 

Ongkos politik yang tidak terlalu besar dengan sendirinya akan mengurangi terjadinya praktik-praktik korupsi dalam pilkada serentak. Baik sebelum, maupun setelah pelaksanaan pilkada. Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung juga dinilai bisa menghilangkan, atau setidaknya mengurangi praktik politik uang (money politic) dalam proses pemilihan kepala daerah. Tidak bisa dimungkiri, ongkos politik yang tinggi ini memang telah mendorong terjadinya korupsi. 

Namun, sebagaimana saya katakan sebelumnya, pilkada dalam arti khusus maupun demokrasi dalam arti yang lebih umum, tidak serta merta dapat dikambing hitamkan atas maraknya praktik korupsi. Karena korupsi terjadi tidak lagi dalam tataran konsep, melainkan dalam tataran teknis dan implementasi. Jadi, yang terjadi adalah kesenjangan antara 'demokrasi' sebagai das sollen dengan 'penyelenggaraan demokrasi' sebagai das sein.

Contoh bagaimana ongkos politik yang tinggi bisa berkontribusi menyuburkan korupsi adalah sebagai berikut; seseorang yang hendak maju sebagai calon walikota harus membayar sejumlah uang kepada partai-partai pengusungnya. Uang tersebut digunakan, sebut saja untuk biaya-biaya administrasi dan biaya kampanye. 

Walaupun sebenarnya kita tak pernah tahu rincian penggunaan uang tersebut. Singkat cerita, calon walikota tadi terpilih menjadi walikota. Si walikota kemudian memperhitungkan kembali segala biaya yang sudah ia keluarkan ketika mencalonkan diri sebagai calon walikota. Ia menemui fakta bahwa gajinya selama satu periode sebagai walikota bahkan tidak akan cukup untuk menggantikan biaya-biaya yang sudah keluar tadi. Alhasil, si walikota pun menyalahgunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan demi mengembalikan uang yang sudah ia gelontorkan untuk menjadi walikota. 

Dari contoh di atas, sudah mulai terlihat keterlibatan partai politik dalam sebuah tindak pidana korupsi. Partai politik yang memasang mahar politik tinggi kepada kandidat yang diusungnya secara tidak langsung telah mendorong si kandidat melakukan korupsi di kemudian hari. Belum lagi, kader-kader partai politik (yang duduk di DPRD misalnya) yang mengusung si walikota, mengajak si walikota melakukan tindakan-tindakan menyimpang. Kalau ini sudah terjadi, maka lahirlah korupsi, suap menyuap, dan tindakan-tindakan koruptif lainnya. 

Pengeluaran partai politik

Pendanaan serta pengeluaran partai politik juga perlu mendapat sorotan. Merujuk pada ketentuan pasal 34 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, sumber pendanaan partai politik terdiri dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sementara pengeluaran partai politik secara garis besar antara lain untuk gaji dan keperluan sekretariat, rapat dan musyawarah, pemilu, rekrutmen dan kaderisasi, serta penyelenggaraan pendidikan politik. 

Selama ini, banyak pakar yang mengatakan, gap antara pemasukan dengan pengeluaran partai politik ini memang terlalu besar. Kesenjangan tersebut kemudian turut mendorong partai untuk mencari cara bagaimana menambah pemasukan partai. Jika itu untuk menjaga keberlangsungan partai tentu tidak masalah. Menjadi masalah jika pemasukan itu mengalir ke kantong para elit partai politik.

Persoalan pendanaan partai ini menjadi dilematis. Di satu sisi, subsidi dari pemerintah masih dirasa kurang, sehingga membuat partai terpaksa mencari dana dengan cara-cara lain, termasuk menetapkan mahar politik yang tinggi terhadap calon kepala daerah yang akan diusungnya. Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang menilai sistem keuangan partai masih bermasalah, tidak transparan, dan tidak akuntabel. 

Hal ini membuat banyak orang skeptis terhadap partai dalam mengelola keuangannya. Contohnya dana yang bersumber dari APBN/APBD. Jumlahnya untuk saat ini memang tidak begitu besar. Namun, dengan jumlah seperti sekarang saja partai tidak mampu mengelolanya dengan baik, apalagi jika jumlah bantuan tersebut ditambah. Bisa-bisa yang terjadi hanya pemborosan. 

Peran partai politik

Lantas, apa saja yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam rangka memerangi praktik-praktik korupsi dalam pilkada serentak? Pertama, mereformasi sistem keuangan partai. Dengan membenahi sistem keuangannya, partai politik bisa lebih mandiri dalam hal keuangan. Kepercayaan publik pada partai pun bisa jadi akan meningkat. 

Begitu juga pemerintah yang kemungkinan besar akan menaikkan besaran bantuan dana partai politik jika setiap partai bisa menunjukkan sistem keuangannya yang transparan dan akuntabel. Reformasi sistem keuangan partai ini, di samping menjadi agenda internal partai, juga menjadi agenda bersama pemerintah bersama dengan legislatif, yakni dengan membuat undang-undang yang lebih spesifik mengatur tentang sistem keuangan partai politik. 

Kedua, tidak menetapkan mahar politik yang tinggi bagi calon-calon kepala daerah yang diusungnya dalam pilkada serentak. Hal ini agar calon kepala daerah tidak terbebani, dan pada akhirnya mendorong terjadinya korupsi untuk mengembalikan mahar politik yang sudah sempat dikeluarkan oleh para calon kepala daerah tersebut. Partai seharusnya mengusung calon kepala daerah karena si calon memang berkualitas dan dianggap mampu untuk memimpin daerah yang bersangkutan. Segala dana serta pembiayaan selama proses pilkada serentak juga harus dikelola secara transparan dan akuntabel.

Ketiga, memperketat proses rekrutmen. Hal ini guna menjaring kader-kader yang berkualitas dan sejalan dengan visi dan misi partai. Dengan demikian, partai tidak menjadi tempat berlabuhnya kaum-kaum pragmatis dan oportunis yang hanya mengejar keuntungan sesaat, dan mengesampingkan idealisme.

Keempat, mengoptimalkan program kaderisasi dan pendidikan politik. Kaderisasi harus bisa menjadi instrumen partai politik yang benar-benar digunakan untuk membentuk kader-kader partai menjadi kader yang idealis, inovatif, progresif, dan peka terhadap kepentingan rakyat luas. Selain itu, pendidikan politik juga harus dijalankan dengan serius oleh partai. Melalui pendidikan politik inilah, kesadaran masyarakat akan esensi demokrasi bisa semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya kualitas demokrasi, maka praktik-praktik korupsi dengan sendirinya akan semakin berkurang (Pradiptyo, 2015). 

Pada akhirnya, kita tidak bisa berharap banyak pada partai politik untuk memerangi korupsi dalam pilkada serentak selama belum ada upaya dari tiap-tiap partai politik untuk membenahi internalnya sendiri. Partai politik baru bisa memainkan perannya untuk memerangi korupsi dalam pilkada serentak hanya jika partai politik telah menyadari keberadaannya sebagai salah satu variabel penting dalam perhelatan pilkada serentak. Dengan bermodalkan kesadaran itulah, partai politik bisa benar-benar membudayakan anti korupsi, mengawasi kadernya supaya tidak korupsi, sekaligus mendidik rakyat agar menjauhi sikap dan perilaku koruptif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. 

Referensi

Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik

Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: Kompas Media. Nusantara, 2010

Kompas

Kompas

Kompas

Katadata

Naskah Akademik

Beritasatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun