Anggapan ini terkesan "mengganggu", mengingat perjuangan dan pengorbanan para pendahulu kita dalam menegakkan demokrasi (dan HAM) di negara ini. Pun perjuangan itu tidak selesai dalam sehari-dua hari, melainkan melalui proses yang relatif panjang. Berangkat dari pemahaman itu, saya berpandangan bahwa menempatkan demokrasi sebagai faktor yang mendorong praktik korupsi adalah sebuah simplifikasi yang dangkal, kalau tak mau disebut kekeliruan.Â
Saya juga yakin bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah baik, namun situasi dari setiap negara di mana demokrasi itu diterapkan akan turut mempengaruhi bentuk demokrasi tersebut. Hal serupa juga pernah disampaikan Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Demokrasi Konstitusional (Adnan Buyung Nasution, 2010). Beliau yakin, demokrasi itu baik. Kondisi di setiap negara saja yang berbeda. Perbedaan situasi tersebut kemudian menuntut masing-masing negara untuk menemukan bentuk demokrasi yang sesuai dengan kondisi negaranya agar demokrasi tidak menjadi boomerang bagi konstelasi hukum maupun politik negara yang bersangkutan.Â
Kembali lagi ke pilkada serentak. Sudah barang tentu, pilkada serentak dipahami sebagai perwujudan demokrasi. Hampir semua ilmuwan pun pasti merumuskan pemilihan umum yang jujur dan adil sebagai salah satu unsur demokrasi. Pilkada serentak di Indonesia bahkan dianggap sebagai bentuk paling murni dari demokrasi, karena dilaksanakan secara langsung, yakni setiap warga negara memiliki satu suara (one man one vote) untuk memilih pemimpin mereka. Maka tak heran jika masyarakat mengatakan pilkada sebagai pesta demokrasi. Hal tersebut juga sedikit-banyak menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi yang paling baik menurut masyarakat adalah demokrasi langsung (direct democracy).
Ihwal demokrasi langsung ini perlu dibahas, mengingat belakangan muncul wacana agar pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat. Melainkan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini guna menekan ongkos politik (political costs) yang dinilai sangat tinggi jika rakyat memilih calon kepala daerah secara langsung. Dengan demikian, akan terjadi pergeseran dari direct democracy menjadi indirect democracy dalam penyelenggaraan pilkada serentak.Â
Ongkos politik yang tidak terlalu besar dengan sendirinya akan mengurangi terjadinya praktik-praktik korupsi dalam pilkada serentak. Baik sebelum, maupun setelah pelaksanaan pilkada. Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung juga dinilai bisa menghilangkan, atau setidaknya mengurangi praktik politik uang (money politic) dalam proses pemilihan kepala daerah. Tidak bisa dimungkiri, ongkos politik yang tinggi ini memang telah mendorong terjadinya korupsi.Â
Namun, sebagaimana saya katakan sebelumnya, pilkada dalam arti khusus maupun demokrasi dalam arti yang lebih umum, tidak serta merta dapat dikambing hitamkan atas maraknya praktik korupsi. Karena korupsi terjadi tidak lagi dalam tataran konsep, melainkan dalam tataran teknis dan implementasi. Jadi, yang terjadi adalah kesenjangan antara 'demokrasi' sebagai das sollen dengan 'penyelenggaraan demokrasi' sebagai das sein.
Contoh bagaimana ongkos politik yang tinggi bisa berkontribusi menyuburkan korupsi adalah sebagai berikut; seseorang yang hendak maju sebagai calon walikota harus membayar sejumlah uang kepada partai-partai pengusungnya. Uang tersebut digunakan, sebut saja untuk biaya-biaya administrasi dan biaya kampanye.Â
Walaupun sebenarnya kita tak pernah tahu rincian penggunaan uang tersebut. Singkat cerita, calon walikota tadi terpilih menjadi walikota. Si walikota kemudian memperhitungkan kembali segala biaya yang sudah ia keluarkan ketika mencalonkan diri sebagai calon walikota. Ia menemui fakta bahwa gajinya selama satu periode sebagai walikota bahkan tidak akan cukup untuk menggantikan biaya-biaya yang sudah keluar tadi. Alhasil, si walikota pun menyalahgunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan demi mengembalikan uang yang sudah ia gelontorkan untuk menjadi walikota.Â
Dari contoh di atas, sudah mulai terlihat keterlibatan partai politik dalam sebuah tindak pidana korupsi. Partai politik yang memasang mahar politik tinggi kepada kandidat yang diusungnya secara tidak langsung telah mendorong si kandidat melakukan korupsi di kemudian hari. Belum lagi, kader-kader partai politik (yang duduk di DPRD misalnya) yang mengusung si walikota, mengajak si walikota melakukan tindakan-tindakan menyimpang. Kalau ini sudah terjadi, maka lahirlah korupsi, suap menyuap, dan tindakan-tindakan koruptif lainnya.Â
Pengeluaran partai politik
Pendanaan serta pengeluaran partai politik juga perlu mendapat sorotan. Merujuk pada ketentuan pasal 34 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, sumber pendanaan partai politik terdiri dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sementara pengeluaran partai politik secara garis besar antara lain untuk gaji dan keperluan sekretariat, rapat dan musyawarah, pemilu, rekrutmen dan kaderisasi, serta penyelenggaraan pendidikan politik.Â