Selama ini, banyak pakar yang mengatakan, gap antara pemasukan dengan pengeluaran partai politik ini memang terlalu besar. Kesenjangan tersebut kemudian turut mendorong partai untuk mencari cara bagaimana menambah pemasukan partai. Jika itu untuk menjaga keberlangsungan partai tentu tidak masalah. Menjadi masalah jika pemasukan itu mengalir ke kantong para elit partai politik.
Persoalan pendanaan partai ini menjadi dilematis. Di satu sisi, subsidi dari pemerintah masih dirasa kurang, sehingga membuat partai terpaksa mencari dana dengan cara-cara lain, termasuk menetapkan mahar politik yang tinggi terhadap calon kepala daerah yang akan diusungnya. Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang menilai sistem keuangan partai masih bermasalah, tidak transparan, dan tidak akuntabel.Â
Hal ini membuat banyak orang skeptis terhadap partai dalam mengelola keuangannya. Contohnya dana yang bersumber dari APBN/APBD. Jumlahnya untuk saat ini memang tidak begitu besar. Namun, dengan jumlah seperti sekarang saja partai tidak mampu mengelolanya dengan baik, apalagi jika jumlah bantuan tersebut ditambah. Bisa-bisa yang terjadi hanya pemborosan.Â
Peran partai politik
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam rangka memerangi praktik-praktik korupsi dalam pilkada serentak? Pertama, mereformasi sistem keuangan partai. Dengan membenahi sistem keuangannya, partai politik bisa lebih mandiri dalam hal keuangan. Kepercayaan publik pada partai pun bisa jadi akan meningkat.Â
Begitu juga pemerintah yang kemungkinan besar akan menaikkan besaran bantuan dana partai politik jika setiap partai bisa menunjukkan sistem keuangannya yang transparan dan akuntabel. Reformasi sistem keuangan partai ini, di samping menjadi agenda internal partai, juga menjadi agenda bersama pemerintah bersama dengan legislatif, yakni dengan membuat undang-undang yang lebih spesifik mengatur tentang sistem keuangan partai politik.Â
Kedua, tidak menetapkan mahar politik yang tinggi bagi calon-calon kepala daerah yang diusungnya dalam pilkada serentak. Hal ini agar calon kepala daerah tidak terbebani, dan pada akhirnya mendorong terjadinya korupsi untuk mengembalikan mahar politik yang sudah sempat dikeluarkan oleh para calon kepala daerah tersebut. Partai seharusnya mengusung calon kepala daerah karena si calon memang berkualitas dan dianggap mampu untuk memimpin daerah yang bersangkutan. Segala dana serta pembiayaan selama proses pilkada serentak juga harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
Ketiga, memperketat proses rekrutmen. Hal ini guna menjaring kader-kader yang berkualitas dan sejalan dengan visi dan misi partai. Dengan demikian, partai tidak menjadi tempat berlabuhnya kaum-kaum pragmatis dan oportunis yang hanya mengejar keuntungan sesaat, dan mengesampingkan idealisme.
Keempat, mengoptimalkan program kaderisasi dan pendidikan politik. Kaderisasi harus bisa menjadi instrumen partai politik yang benar-benar digunakan untuk membentuk kader-kader partai menjadi kader yang idealis, inovatif, progresif, dan peka terhadap kepentingan rakyat luas. Selain itu, pendidikan politik juga harus dijalankan dengan serius oleh partai. Melalui pendidikan politik inilah, kesadaran masyarakat akan esensi demokrasi bisa semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya kualitas demokrasi, maka praktik-praktik korupsi dengan sendirinya akan semakin berkurang (Pradiptyo, 2015).Â
Pada akhirnya, kita tidak bisa berharap banyak pada partai politik untuk memerangi korupsi dalam pilkada serentak selama belum ada upaya dari tiap-tiap partai politik untuk membenahi internalnya sendiri. Partai politik baru bisa memainkan perannya untuk memerangi korupsi dalam pilkada serentak hanya jika partai politik telah menyadari keberadaannya sebagai salah satu variabel penting dalam perhelatan pilkada serentak. Dengan bermodalkan kesadaran itulah, partai politik bisa benar-benar membudayakan anti korupsi, mengawasi kadernya supaya tidak korupsi, sekaligus mendidik rakyat agar menjauhi sikap dan perilaku koruptif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.Â
Referensi