Fenomena psikologis yang menjadi objek kajian Psikologi tersebut pun acapkali berupa penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia. Setelah penyimpangan tersebut terjadi, barulah psikologi masuk untuk menelaah penyimpangan tersebut. Hal tersebut membuat citra ilmu psikologi sebagai bidang keilmuan yang mengabaikan upaya preventif.
Berangkat dari pemikiran itu, Martin Seligman kemudian mencetuskan Psikologi Positif sebagai suatu cabang ilmu psikologi yang berfokus melihat, menemukan, dan mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri setiap manusia.
Cabang ilmu psikologi ini tidak sekadar menelaah penyimpangan - penyimpangan psikologis, melainkan membantu orang untuk menemukan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, Psikologi Positif menempatkan manusia sebagai subjek, tidak sekadar objek ilmu pengetahuan.
Melalui optimalisasi potensi diri inilah Psikologi Positif bisa menjauhkan orang dari depresi. Sebagaimana perkataan Nietzsche yang mengantarkan tulisan ini, dengan menerapkan Psikologi Positif, orang - orang tidak akan mudah depresi karena senantiasa memiliki alasan - alasan yang kuat untuk terus melanjutkan hidup.
Kedua, Logoterapi. Jika Psikologi Positif lebih menitikberatkan upaya mencegah depresi, maka Logoterapi adalah upaya pemulihan manakala seseorang telah terlanjur mengalami depresi.
Logoterapi adalah salah satu psikoterapi yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl. Seorang Psikiater dan Neurolog mantan tahanan NAZI Jerman yang berhasil bertahan hidup dalam kejamnya kamp konsentrasi NAZI.
Tidak sekadar bertahan hidup, Viktor justru melakukan penggalian mendalam mengenai makna hidup manusia selama menjadi tahanan NAZI.
Penggalian akan makna hidup itulah yang kemudian menginspirasi Viktor untuk mengembangkan sebuah bentuk terapi psikologis yang berfokus membantu pasien untuk menemukan tujuan serta makna hidupnya (berbasis pada gagasan will to meaning Kierkegaard).
Berbeda dari terapi psikologis kebanyakan, Logoterapi tidak memposisikan pasien sebagai objek pengamatan, melainkan sebagai subjek yang memiliki potensi tersendiri. Dengan kata lain, Logoterapi hanya sebagai stimulus untuk merangsang semangat pasien, sehingga bisa menemukan kembali makna dan tujuan hidupnya.
Logoterapi bisa menjadi psikoterapi alternatif yang layak dicoba oleh masyarakat Korea Selatan yang dikenal tabu menjalani psikoterapi. Mereka tidak perlu merasa malu ataupun gengsi untuk menjalani Logoterapi.Â
Hal ini karena Logoterapi memang memiliki metode yang berbeda dari psikoterapi pada umumnya.