Dia yang punya alasan "Mengapa" harus hidup, akan mampu menanggung segala bentuk "Bagaimana" caranya hidup.Â
Barangkali gagasan Friedrich Nietzsche inilah yang tidak terbersit dalam pikiran para selebriti K-POP ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Ya, selebriti K-POP (Korea Selatan) yang meninggal akibat bunuh diri agaknya bukan hal baru lagi di telinga masyarakat. Termasuk di telinga masyarakat Indonesia.
Umumya masyarakat terbagi dua dalam memandang fenomena bunuh diri. Di satu pihak ada yang menilai bahwa orang yang memutuskan untuk bunuh diri adalah orang yang lemah dan tidak memiliki semangat hidup.
Di lain pihak, ada masyarakat yang merasa kasihan terhadap orang yang bunuh diri dan lebih menyoroti faktor-faktor yang mendorong orang tersebut untuk bunuh diri.
Perbedaan pandangan semacam itu memang tidak akan pernah bisa dihindari, dan tentunya menjadi hak setiap individu untuk menentukan sikapnya. Namun, tidak kalah penting juga untuk melihat fenomena bunuh diri di kalangan artis K-POP dengan kacamata yang benar - benar objektif.
Angka kematian akibat bunuh diri di Korea Selatan
Di Korea Selatan, angka kematian akibat bunuh diri adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Kematian akibat bunuh diri ini terjadi pada beberapa golongan masyarakat.
Mulai dari anak usia 10-19 tahun akibat tekanan belajar yang berlebihan, hingga lansia berusia 60 tahun keatas akibat kemiskinan dan kesepian. Pada tahun 2018, dilansir dari www.worldpopulationreview.com, World Health Organization (WHO) menempatkan Korea Selatan pada urutan keempat sebagai negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia.
Rasio bunuh diri per 100.000 penduduk Korea Selatan adalah sebesar 26,9. Rasio bunuh diri pada laki - laki sebesar 38,4 dan perempuan sebesar 15,4.Â
Sebagai salah satu negara maju di Asia, statistik tersebut cukup mencengangkan. Maka, kesejahteraan materi tentu bukan faktor utama yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri di Korea Selatan, terkhusus bunuh diri yang dilakukan oleh artis - artis K-POP.Â
Lebih logis kiranya jika kita menempatkan kesejahteraan mental sebagai faktor utama yang mendorong artis K-POP di Korea Selatan melakukan bunuh diri.
Hal ini tidak sekadar menjadi isapan jempol belaka tatkala data menyebutkan bahwa kebanyakan selebriti K-POP yang bunuh diri adalah mereka yang tengah mengalami depresi berat.
Adapun pemicu depresi tersebut cukup beragam. Mulai dari kematian anggota keluarga, sindrom popularitas (Star Syndrome), hingga perundungan (bully).Â
Diantara penyebab tersebut, bully adalah penyebab yang paling mendapat perhatian. Depresi akibat bullying yang berujung pada bunuh diri ini belakangan mendorong pemerintah Korea Selatan untuk mencanangkan Undang-Undang Anti Perundungan.
Rancangan Undang - Undang (RUU) tersebut kini lebih dikenal dengan RUU Sulli (Sulli's Law). Diadopsi dari nama salah satu artis K-POP yang bunuh diri akibat terlalu sering dibully.
Di sepanjang tahun 2019, sudah empat selebriti K-POP yang mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Keempat selebriti itu adalah Jeon Mi Seon, Woo Hye Mi, Choi Jin-Ri (Sulli), dan yang terakhir, di bulan November 2019, seorang artis dan penyanyi bernama Goo Hara ditemukan meninggal dunia di kediamannya.
Sebelumnya, beberapa artis juga memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Diantaranya adalah Kim Jong-Hyun, Park Yong Ha, Lee Eun Joo, Choi Jin Shil, Jeong Da-Bin, Ahn So-Jin, dan Kim Daul. Sebelum bunuh diri, tidak sedikit selebriti tersebut yang mengakui bahwa dirinya sedang mengalami depresi berat.
Beberapa diantaranya juga mengakui bahwa mereka tidak tahan lagi dengan bullying yang dialamatkan pada mereka. Hal ini sebenarnya sudah cukup meyakinkan setiap pihak untuk lebih serius dalam menyikapi tindakan-tindakan bullying.
Biar bagaimana pun, tindakan bullying tidak dapat dibenarkan. Tidak seorang pun memiliki legitimasi untuk melakukan bully terhadap orang lain.
Psikologi Positif dan Logoterapi untuk mencegah bunuh diri
Dalam rangka menghalau depresi yang dapat mendorong tindakan bunuh diri, terdapat dua cara yang layak dicoba. Pertama, Psikologi Positif.
Psikologi Positif merupakan cabang ilmu Psikologi yang dicetuskan oleh seorang psikolog Amerika Serikat, Martin Seligman. Psikologi Positif secara resmi menjadi salah satu cabang ilmu psikologi pada tahun 1998.
Cabang Psikologi ini pada dasarnya berangkat dari pengamatan Martin Seligman yang melihat ilmu psikologi cenderung dipakai hanya sebagai metode untuk melihat fenomena - fenomena psikologis di tengah masyarakat.
Fenomena psikologis yang menjadi objek kajian Psikologi tersebut pun acapkali berupa penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia. Setelah penyimpangan tersebut terjadi, barulah psikologi masuk untuk menelaah penyimpangan tersebut. Hal tersebut membuat citra ilmu psikologi sebagai bidang keilmuan yang mengabaikan upaya preventif.
Berangkat dari pemikiran itu, Martin Seligman kemudian mencetuskan Psikologi Positif sebagai suatu cabang ilmu psikologi yang berfokus melihat, menemukan, dan mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri setiap manusia.
Cabang ilmu psikologi ini tidak sekadar menelaah penyimpangan - penyimpangan psikologis, melainkan membantu orang untuk menemukan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, Psikologi Positif menempatkan manusia sebagai subjek, tidak sekadar objek ilmu pengetahuan.
Melalui optimalisasi potensi diri inilah Psikologi Positif bisa menjauhkan orang dari depresi. Sebagaimana perkataan Nietzsche yang mengantarkan tulisan ini, dengan menerapkan Psikologi Positif, orang - orang tidak akan mudah depresi karena senantiasa memiliki alasan - alasan yang kuat untuk terus melanjutkan hidup.
Kedua, Logoterapi. Jika Psikologi Positif lebih menitikberatkan upaya mencegah depresi, maka Logoterapi adalah upaya pemulihan manakala seseorang telah terlanjur mengalami depresi.
Logoterapi adalah salah satu psikoterapi yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl. Seorang Psikiater dan Neurolog mantan tahanan NAZI Jerman yang berhasil bertahan hidup dalam kejamnya kamp konsentrasi NAZI.
Tidak sekadar bertahan hidup, Viktor justru melakukan penggalian mendalam mengenai makna hidup manusia selama menjadi tahanan NAZI.
Penggalian akan makna hidup itulah yang kemudian menginspirasi Viktor untuk mengembangkan sebuah bentuk terapi psikologis yang berfokus membantu pasien untuk menemukan tujuan serta makna hidupnya (berbasis pada gagasan will to meaning Kierkegaard).
Berbeda dari terapi psikologis kebanyakan, Logoterapi tidak memposisikan pasien sebagai objek pengamatan, melainkan sebagai subjek yang memiliki potensi tersendiri. Dengan kata lain, Logoterapi hanya sebagai stimulus untuk merangsang semangat pasien, sehingga bisa menemukan kembali makna dan tujuan hidupnya.
Logoterapi bisa menjadi psikoterapi alternatif yang layak dicoba oleh masyarakat Korea Selatan yang dikenal tabu menjalani psikoterapi. Mereka tidak perlu merasa malu ataupun gengsi untuk menjalani Logoterapi.Â
Hal ini karena Logoterapi memang memiliki metode yang berbeda dari psikoterapi pada umumnya.
Psikologi Positif dan Logoterapi boleh jadi merupakan terobosan psikologi yang sudah selayaknya diapresiasi dan terus dikembangkan. Dengan menerapkan Psikologi Positif, orang bisa menghalau depresi.
Kalaupun sempat mengalami depresi, dengan menjalani Logoterapi, depresi tersebut dapat diatasi sebelum sampai ke dorongan untuk melakukan bunuh diri.
Kedua upaya pencegahan bunuh diri ini tentunya merupakan alternatif bagi masyarakat. Sementara di sisi lain, negara (pemerintah) juga punya peran penting untuk membangkitkan optimisme dan semangat hidup rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H