Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jungkir Balik Perjuangan KPK

20 Mei 2016   07:46 Diperbarui: 20 Juni 2016   06:47 3867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeremy Mulholland, Presiden Direktur Investindo International Pty Ltd, Peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia, menelaah sejarah dan sepak terjang KPK. Dalam artikel yang dimuat di Journal kecendekiawanan ANU ‘New Mandala’ dengan Judul “Indonesia’s Anti-Corruption Drive” Mulholland menyoroti bagaimana kejadian sebenarnya KPK berdiri, yang pada awalnya diwujudkan oleh mantan Presiden Megawati. Selama ini saya sendiri berpikir bahwa Megawati adalah sosok istimewa yang memiliki ide brilian dalam hal pemberantasan korupsi dengan upaya beliau mendirikan KPK, perilaku korup sudah menjadi hal yang lumrah di sini dan berdirilah lembaga hebat KPK yang memiliki kekuatan “Super” untuk melawan para koruptor.

Di sini Mulholland berusaha meluruskan anggapan tentang peran Megawati dalam pendirian KPK dan menjelaskan pentingnya perselisihan politik antara Megawati dan Jusuf Syakir. Pada periode sepuluh tahun kepemimpinan SBY yang memanfaatkan KPK untuk meningkatkan citra politiknya sebagai sosok yang anti korupsi, tetapi pada saat KPK mulai menyentuh Istana ada perlawanan yang dahsyat sekali terhadap KPK. Agar Anda tidak penasaran dan bisa menyimak pemikiran Mulholland tentang hal ini. Di bawah ini terjemahan dari artikel tersebut, selamat membaca semoga bisa menambah wawasan kita tentang KPK. Linknya bisa anda baca di sini http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2016/05/20/indonesias-anti-corruption-drive-part-one/ dan http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2016/05/20/indonesias-anti-corruption-drive-part-two/.

Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia (Bagian Pertama)

Oleh: Jeremy Mulholland

Akhir-akhir ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi serbuan habis-habisan termasuk upaya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggerogoti kekuasaannya lewat proses perubahan undang-undang. Badan anti-korupsi ini bukan saja mengungkapkan bagaimana sistem demokrasi di Indonesia itu didanai tetapi juga bahwa anggota-anggota elit yang berkelakuan korup cenderung merasa terancam oleh kekuasaan KPK itu (lihat http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/para-koruptor-membuat-ibu-pertiwi-menangis-darah_573267d25a7b61390e11ffbb).

Semenjak berdirinya KPK sekitar 12 tahun yang lalu, keunggulan kompetitif KPK yang sangat menonjol adalah fungsi penyadapan yang terpadu untuk melawan anggota-anggota kalangan atas yang terlibat dalam persekongkolan-persekongkolan informil. Fungsi penyadapan KPK tercermin dalam betapa tepatnya KPK melakukan pengumpulan alat-alat bukti dan menangkap basah politikus nasional dan regional, penguasa ‘badan usaha milik negara’ (BUMN) dan pejabat kementerian, hakim serta pengusaha yang terlibat kasus-kasus korupsi yang terfokus pada pertukaran uang tunai dengan keputusan politik yang menganakemaskan kepentingan bisnis tertentu. Di sisi lain, kekurangan KPK adalah betapa terhambatnya KPK menjangkau ke dalam kasus-kasus korupsi dalam bidang keuangan, prasarana dan pertambangan yang bernilai triliunan rupiah dan juga betapa susahnya menyentuh pembesar-pembesar. Jadi terbukti bilamana KPK itu menerobos terlalu jauh kedalam kasus korupsi besar atau menghantam pembesar yang tangguh pasti serangan baliknya dahsyat sekali.

Berdirinya KPK dan Perselisihan Politik

Sampai saat ini tidak ada satupun studi kecendekiawanan yang dapat menjelaskan mengapa KPK itu muncul dalam suatu sistem politik dan bisnis yang korup. Tekanan yang terkait dengan perubahan rezim dan transisi politik, kegelisahan legitimasi elit, persaingan Pemilihan Umum (Pemilu) serta peranan masyarakat madani mungkin merupakan faktor-faktor yang mendukung, akan tetapi hal ini tidak cukup untuk menjelaskan berdirinya KPK dan juga besarnya kekuasaannya.

Dengan latar belakang ‘kesepakatan elit’ Indonesia yang terbentuk pada tahun 1998 yang merupakan landasan politik pokok buat permainan elit yang terdiri dari kedemokrasian prosedural dan politik uang yang stabil dan kompetitif, klik-klik kekuasaan mantan-mantan presiden Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri memperebutkan pengakumulasian dana politik informil yang berkaitan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan bagian-bagian lain dari aparatur negara Indonesia (http://unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=105&coid=1). Tujuan utama anggota-anggota elit yang saling bertentangan ini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing politik mereka satu sama lain. Dalam situasi dan kondisi seperti ini KPK dapat dipahami sebagai ‘keganjilan kelembagaan.’

Penjelasan yang benar mengenai berdirinya KPK adalah menomor-satukan faktor perselisihan politik yang terkait pada saat itu dan akibat tidak langsungnya. KPK ternyata muncul pada akhir peiode kepresidenan Megawati. Ada yang menyatakan KPK itu merupakan ‘karya agung’ mantan Presiden Megawati, akan tetapi alasan utama kenapa Megawati mengambil keputusan untuk melahirkan KPK pada tahun 2003 (dengan pemberlakuan undang-undang KPK nomor 30 tahun 2002) adalah pada dasarnya untuk memusnahkan ancaman politik yaitu Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Jusuf Syakir yang menyelidiki dan mengumumkan secara jelas dan tegas harta kekayaan keluarga Megawati.

Dalam wawancara Mulholland dengan Jusuf Syakir sendiri, yang ditekankan adalah pentingnya peranan ‘dendam politik’ dalam pembubaran KPKPN dan berdirinya KPK. Dalam tahun terakhir periode kepresidenan Megawati, perkembangan KPK dikerdilkan karena alasan-alasan sebagai berikut: pertama, sesuai dengan logika permainan politik-uang yang penuh dengan persaingan sengit, perilaku informil Taufik Kiemas (Suaminya Megawati) dan penguasa-penguasa lain- yang menurut pengertian Robert Cribb- ‘dikecualikan’ terhadap penerapan negara hukum di lapangan dan hukuman pidana. Kedua, Ketua KPK pertama Taufiequrachman Ruki seorang petinggi senior pensiunan kepolisian merupakan suatu upaya politik antara lain untuk meminimalisir munculnya ketegangan disebabkan oleh perubahan yang berkaitan dengan pendistribusian kekuasaan dalam ranah penegakan hukum. Akan tetapi, celaka tiga belas perubahan pendistribusian kekuasaan ini menyebabkan munculnya perpisahan politik yang parah di antara pimpinan KPK dan kepolisian di masa yang akan datang.

Preseden Kriminalisasi Pimpinan KPK

Serangan-serangan politik terfokus pada kriminalisasi KPK pertama kalinya muncul selama periode kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (2009-2014). Eskalasi ketegangan elit itu berlangsung persis pada saat itu sebab KPK dipadang mulai menyentuh persekongkolan-persekongkolan korupsi raksasa. Di satu sisi pencitraan politik SBY yang berlebihan yang berkaitan erat dengan wacana anti-korupsi memberikan ruang gerak pada KPK untuk dijadikan sebagaiJuggernaut anti-korupsi yang mengagumkan (dari bahasa sansekerta istilah Juggernaut dideskripsikan sebagai kereta raksasa tungganggan Dewa Krisna, yang menggilas segala sesuatu yang ada di depannya). Di sisi lain, suatu penafsiran KPK itu menyerupai suatu super-body tidak tepat, apabila perhatian lebih difokuskan pada hubungan antara KPK, presiden, eksekutif dan DPR.

Misalnya Ketua KPK Antasari Azhar pada tahun 2008 (memanfaatkan kesempatan ini untuk meyakinkan Megawati bahwa dia merupakan calon Wakil Presiden yang tepat) yang menentukan KPK memasuki ‘lautan politik yang sangat bahaya.’ Penangkapan salah satu mantan Wakil Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan (besan SBY) menyebabkan adanya suatu contoh kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang teramat dahsyat. Menurut buku-buku Bambang Soesatyo dan Sri Bintang Pamungkas secara terpisah mengambil kesimpulan yang sama yaitu tindakan KPK itu mengakibatkan suatu ‘kasus rekayasa’ terhadap Antasari Azhar yang dihukum pada tahun 2009 berkaitan dengan penyidikan kepolisian, pembuktian yang mencurigakan dan vonis bersalah menyangkut pembunuhan (dapat dilihat dalam buku-buku berikut: Soesatyo,B, ‘Republik Galau: Presiden Bimbang Negara Terancam Gagal’, Ufuk Press, Jakarta, 2012, hlm 34-38; Pamungkas, S, ‘Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara’ 2014, https://books.google.com.au/books?id=NjGdBQAAQBAJ&pg=PA198&lpg=PA198&dq=SBY+antasari+pembunuhan+pamungkas&source=bl&ots=KJ_BUEcWcm&sig=kFtVPTPpN9ftQjG0F3fmgV0r1Vg&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=SBY%20antasari%20pembunuhan%20pamungkas&f=false, hlm, 198).

Shock therapy’ terhadap KPK yang membantu menjaga kepentingan klik kekuasaan SBY ini dilandasi pula oleh dua alasan lain. Pertama: terkuaknya skandal Bank Century yang berkaitan erat dengan dana bank Indonesia menunjukan penyelewengan dana itu merupakan salah satu sumber politik uang yang penting bagi partai Demokrat untuk mendukung keberhasilan keberhasilan Pemilu 2009. Kedua: berdasarkan testimoni pengadilan fihak-fihak yang terkait dengan deal-deal partai Demokrat anak bungsu SBY Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang sering disebut sebagai “pangeran” makin lama makin menonjol keterlibatannya dalam berbagai macam skandal korupsi termasuk prasarana olah raga di Hambalang dan kontrak SKK Migas. Kelakuan informil anggota keluarga inti Presiden ternyata kebal terhadap sentuhan penegakan hukum KPK.

Secara garis besar keengganan SBY untuk cepat turun tangan dan memecahkan perselisihan di antara Polri dan KPK mencerminkan rasa dendam terhadap KPK. Penyelidikan KPK yang menyangkut kasus rekening gendut dan juga kontrak pemasokan Simulator SIM memicu serangan balik terhadap KPK pada tahun 2012. Strategi pembiaran perselisihan ini yang dilakukan oleh SBY sangat menonjol pada saat itu. Ironisnya kinerja baik KPK dari segi hukuman termasuk Jenderal Polisi Djoko Susilo dan betapa besarnya dana kasus-kasus korupsi yang mereka tangani disita ulang dibandingkan dengan penegak hukum lain terutama Polri dan Kejaksaan Agung hal ini mendukung pencitraan politik SBY. Walaupun demikian, semakin banyak skandal korupsi yang menerpa Partai Demokrat, semakin terongrong proses pencitraan tersebut.

2015

Ironisnya, semenjak 2015 jaringan kekuasaan elit yang pada awalnya mendirikan KPK, akhir-akhir ini memimpin upaya melakukan pelemahan dan penjinakan KPK. Dengan perkataan lain, KPK sendiri dijadikan sasaran jaringan kekuasaan Megawati termasuk fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga penguasa-penguasa yang paling kuat dalam Polri yang telah lama berselisih dengan KPK.

Berdasarkan hasil penyadapan baik pembicaraan antara Hasto Kristiyanto (PDIP) dan Arteria Dahlan (PDIP) maupun Riza Chalid, Setya Novanto dan Maroef Syamsoedin menunjukkan serangan-serangan politik terhadap KPK mulai pada awal tahun 2015. Setelah bos politiknya presiden Jokowi Ketua Umum PDIP Megawati mendesak dia untuk menunjuk mantan ajudannya Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Ketua KPK Abraham Samad, yang sebelumnya ditolak oleh Megawati sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jokowi pada pemilu 2014, menyatakan Budi Gunawan sebagai tersangka berkaitan dengan kasus korupsi yang disebut majalah Tempo sebagai ‘rekening gendut’. Didukung oleh sebagian besar opini publik Jokowi menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri sehingga memperparah hubungannya dengan Megawati yang mengakibatkan perlawanan politik PDIP terhadap presiden Jokowi.

Walaupun Budi Gunawan dilantik menjadi Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) dia tetap berupaya untuk menghancurkan KPK menggunakan berbagai macam cara. Yang pertama adanya persekongkolan untuk memecat pimpinan KPK termasuk Abraham Samad, Bambang Widjajanto dan penyidik utama Novel Baswedan dengan tuduhan-tuduhan yang telah direkayasa. Ketua sementara KPK Taufiequrachman Ruki yang menduduki posisi ini untuk kedua kalinya, menerapkan strategi ‘musuh dalam selimut’. Pada saat yang sama Taufiequrachman Ruki dan Kepala Bareskrim Budi Waseso membantu mengawal, me-praperadilan-kan dan me-SP3-kan kasus Budi Gunawan.

Draft Rancangan Undang-undang

Walaupun upaya pelemahan KPK sebelumnya melalui penyelenggaraan fungsi pembuatan (revisi) undang-undang di DPR gagal akhir-akhir ini ada upaya pelemahan baru. Semenjak tahun 2008, upaya pelemahan KPK melalui penyelenggaraan fungsi pembuatan (revisi) undang-undang di DPR senantiasa diprakarsai dan dipimpin oleh kedua partai utama pemerintah terakhir ini, yaitu dalam periode kepemimpinan SBY, Partai Demokrat, sedangkan dalam periode kepemimpinan Jokowi, PDIP. Jadi selama tahun pertama kepresidenan Jokowi, dengan melangkahi Jokowi, Megawati memerintahkan anggota-anggota PDIP di DPR untuk menghidupkan kembali suatu usulan merevisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 di DPR. PDIP kemudian mengumpulkan dukungan politik di DPR agar usulan itu dimasukan ke dalam Prolegnas pada akhir bulan November 2015. Langkah politik ini tidak susah dicapai karena, berdasarkan atas peristilahan Saldi Isra, DPR menyerupai ‘kampung maling.’

Pada bulan Desember DPR menyeleksi pimpinan KPK baru yang menyetujui semacam ‘gentlemen’sagreement’ berkaitan dengan perubahan Undang-undang KPK asal upaya politik ini memperkuat kekuasaan KPK. Akan tetapi draft revisi tersebut ternyata didesain untuk melemahkan kekuasaan KPK dan juga tidak berdasarkan atas dalil perundang-undangan atau naskah kecendekiawanan. Draft revisi ini didukung oleh banyak anggota-anggota yang berlawanan satu sama lain baik di DPR maupun pemerintah, apabila diberlakukan nanti akan membatasi kekuasaan KPK dan juga menjinakan fungsi penyadapan KPK. Pokok draft revisi terdiri dari suatu dewan pengawas yang berkuasa dalam penentuan kasus-kasus yang ditangani KPK dan dapat membocorkan informasi mengenai keputusan dan tindakan KPK.

Sebagian kekuasaan KPK yang menyangkut penanganan kasus korupsi juga akan diserahkan pada pihak kepolisian dan kejaksaan; kedua bagian instansi penegak hukum itu tetap merupakan sumber perekrutan penyidik-penyidik KPK. Draft revisi juga meningkatkan peluang-peluang buat tersangka membatalkan proses penegakkan hukum terhadap dirinya sendiri dengan memperoleh ‘Surat Perintah Penghentian Penyidikan’ (SP3), sekaligus memungkinkan koruptor dapat bernegosiasi dengan penguasa KPK agar dapat lolos dari jerat hukum. Ada juga tercantum dalam draft revisi suatu penjadwalan pembubaran KPK. Dalam kontek ini sangat mengejutkan juru bicara presiden Johan Budi sebagai salah satu mantan anggota pimpinan KPK menyatakan dampak dari draft revisi belum jelas, tetapi apabila nanti memang dampaknya pelemahan KPK presiden akan menarik diri dari perundingan politik yang menyangkut draft revisi tersebut.

Hasil Politik

Sampai pertengahan bulan Febuari 2016 media masa Indonesia mengalami kejenuhan berita tentang isu dan nasibnya KPK. Bukan hanya dosen dan peneliti dari dunia akademis tetapi juga musisi, budayawan dan seniman terlibat dalam demo-demo, seminar, wawancara di media massa dan menjadi bagian dari gerakan anti korupsi yang damai. Sebagian besar pengamat memprediksi presiden Jokowi akan mendukung atau menolak draft revisi. Tapi sebagai presiden yang begitu lemah strategi politiknya yang paling efektif adalah membiarkan perselisihan dan perebutan kekuasaan elit berlanjut terus di depan masyarakat. Pada saat telah jelas arah opini publik ke mana dan adanya kebuntuan politik yang berlebihan, Jokowi biasanya mengikuti arus utama opini publik dan mengambil keputusan politik serupa. Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas- yang dianggap negarawan sejati- mengkritik isi dari draft revisi dan juga Ketua KPK sekarang ini Agus Rahardjo mengancam akan mengundurkan diri apabila ada pengesahan dari presiden.

Oleh karena kritikan dan ancaman itu Jokowi akhirnya turun tangan merapatkan draft revisinya dengan pimpinan DPR pada tanggal 22 Febuari 2016. Kompromi politik yang terwujud memungkinkan Jokowi tidak memihak fihak manapun baik KPK ataupun musuh-musuh KPK. Di satu sisi draft revisi yang merupakan obyek ‘sakit hati publik’, itu ditarik dari sidang pleno DPR yang terselenggara pada hari berikutnya tetapi tetap tersimpan di prolegnas yang memungkinkan suatu hari nanti draft revisi tersebut dapat dihidupkan kembali untuk menyerang KPK. Di sisi lain DPR menyetujui bahwa mereka akan membahas rancangan undang-undang pengampunan pajak (secara politis legislasi ini sangat berguna berkaitan dengan rangsangan kebijakan fiskal melalui pendanaan proyek-proyek prasarana pemerintah maupun skandal Panama yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan gelap yang sengaja didirikan sebagai tempat pemyimpanan dana di wilayah-wilayah surga bebas pajak) di rapat pleno tersebut.

Kesimpulan

Ternyata satu tahun penuh ‘kampanye teror’ dikerahkan oleh lawan-lawan KPK memang telah sangat berdampak, KPK telah terpuruk dari segi kinerja dan pimpinannya mengalami ketidakkompakan dan kemunduran ketegasan. Walaupun keputusan Jaksa Agung Prasetyo memberhentikan kasus-kasus (deponering) mantan pimpinan KPK di awal Maret 2016, sebetulnya ketegangan di antara KPK dan polisi masih ada tetapi wujudnya tidak semenonjol sebelumnya, misalnya dalam perbuatan intimidasi. Namun begitu, telah diberitakan di media masa Indonesia pihak polisi melakukan intimidasi baik menganggu pelaksanaan ‘Operasi Tangkap Tangan’ (OTT) dengan modus menangkap penyidik-penyidik KPK maupun menyelidiki anggota-anggota keluarga mantan pimpinan KPK (misalnya saudaranya Bambang Wijajanto dalam kasus Pelindo II).

KPK juga menerima gagasan penyelidikan bersama dengan penyidik-penyidik kepolisian yang mengurangi kemandirian proses penyelidikan dan penyadapan KPK. Dalam kasus-kasus besar juga uang suap diberikan diam-diam pada sebagian penuntut dan hakim Tipikor yang terkait erat dengan pengadilan-pengadilan Tipikor. Faktor-faktor ini juga mencerminkan gaya kepemimpinan dari sekelompok komisioner KPK baru yang jauh lebih waspada dibandingkan dengan sebelumnya. Kebijakan mereka bergeser dari penerapan pemberantasan korupsi yang menomorsatukan konsep ‘transparansi dalam hal mengungkapkan kasus-kasus pada media masa’ ke tindakan-tindakan semakin pasif yaitu pencegahan seperti pelatihan penegakkan hukum dan kerjasama antar-instansi pemerintah.

Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia (Bagian Kedua)

Oleh: Jeremy Mulholland

Dalam situasi dan kondisi yang semakin melemah, ‘Komisi Pemberantasan Komisi (KPK), juga semakin rentan terhadap tekanan dan pengaruh dari pembesar-pembesar politik, militer, polisi serta konglomerat-konglomerat yang kuat (lihat http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/para-koruptor-membuat-ibu-pertiwi-menangis-darah_573267d25a7b61390e11ffbb). Berkaitan dengan kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini ditangani oleh pihak KPK, sasaran-sasaran yang terpilih untuk diselidiki dan diadili, menduduki posisi-posisi kekuasaan dan kekayaan yang tidak berada pada eselon paling atas di tingkat elite. Kita hanya perlu memberikan dua contoh jelas tentang anggota-anggota elit kuat yang bertindak sedemikian rupa sehingga mempengaruhi sekaligus menghindari terlaksananya negara hukum di lapangan politik dan bisnis. Ini sesuai dengan proses penegakan hukum dimana ada pengecualian dalam bentuk ‘lolos jerat hukum’ bagi anggota elit yang kuat dan para konglomerat.

Ternyata pimpinan KPK menjaga jarak dari kedua anggota yang paling berkuasa dalam kabinet Jokowi, yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan. Kedua penguasa politik ini terlibat dalam pergumulan kekuasaan yang sengit satu sama lain dan masing-masing kubu mereka memperebutkan sumber pendanaan politik yang ada maupun yang baru.

Jusuf Kalla

Jusuf Kalla mendukung revisi undang-undang KPK dengan dalih upaya pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pada akhir tahun 2015 skandal Freeport mengungkapkan bahwa kedua penguasa politik ini yaitu Jusuf Kalla- yang memimpin suatu kubu yang terdiri dari Menteri Energi Sudirman Said- dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie- dengan kubunya yang terdiri dari Setya Novanto (pada saat itu Ketua DPR) dan konglomerat migas Riza Chalid—gila-gilaan agar mendapat posisi paling berpengaruh dalam perundingan informal dengan pengambil-pengambil keputusan dari perusahaan Freeport khususnya berkaitan dengan permasalahan perpanjangan kontrak tambang Freeport.

Kubu Bakrie yang juga bergandengan dengan kubunya Luhut Pandjaitan dan Menko Maritim Rizal Ramli untuk mendapatkan akses langsung dan juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan presiden Jokowi, lewat konco-konco Bakrie Setya Novanto dan Riza Chalid bernegosiasi langsung dengan Presdir Freeport Indonesia Maroef Syamsoeddin, sedangkan Jusuf Kalla diwakili oleh adik iparnya Aksa Mahmud dan keponakannya Erwin Aksa (kelompok usaha Bosowa) bernegosiasi dengan ketua Freeport McMoRan James Moffett. Dengan munculnya perselisihan menyangkut pembagian “kue” Freeport mengakibatkan skandal korupsi besar-besaran. Walaupun derajat keikutsertaan kedua kubu elit dalam proses perundingan dengan Freeport sama, siklus pemberitaan skandal Freeport dan akibat politiknya memungkinkan kubunya Kalla memenangkan babak permainan ini (lihat referensi berikutnya: http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/skandal-freeport_5678c1b33f23bdcd04ea72c8).

Pergumulan kekuasaan di antara kedua kubu elit ini muncul lagi berkaitan dengan skandal korupsi Pertamina. Kubunya JK termasuk Menteri Energi Sudirman Said dan Presiden Pertamina sekarang Dwi Sutjipto dan mantan Presdir Pertamina Ari Soemarno mengarahkan KPK untuk menyelidiki kekuasaan Riza Chalid dalam industri Migas di Indonesia. Pada dasarnya kekuasaan Riza berasal dari suatu perusahaan besar yang berbasis di Singapura yaitu Pertamina Energy Trading (Petral), yang memiliki peranan utama dalam perdagangan internasional Pertamina. Sampai saat ini kubunya JK dengan menggunakan konsep Intergated Supply Chain (ISC) (Rantai Pemasokan Migas Terpadu) tidak sanggup menakhlukan kekuasaan Riza.

Dalam konteks ini Sudirman Said memberikan hasil audit forensik kepada KPK. Walaupun hasilnya mungkin dilakukan secara independen oleh perusahaan audit KordaMentha, lingkup penyelidikannya finansialnya berkepihakan pada periode 2012 sampai dengan 2014 yang mana tidak ada keterlibatan Sudirman dan konconya mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, penyelidikan finansial ini (Ari Soemarno menjadi Dirut Pertamina dari 2006-2009 dan Sudirman Said menjadi staf pakar Pertamina di era Ari Soemarno kemudian menduduki posisi strategis selaku Senior Vice Presiden Integrated Supply Chain, ISC). Penyelidikan keuangan ini mengungkapkan bahwa Riza Chalid melalui GlobalEnergyResources dan Verita Oil biasanya memasok minyak mentah dan produk-produk hulu Minyak dan Gas (Migas) pada Pertamina dengan menggunakan praktek penggelembungan harga dan pada gilirannya menghasilkan keuntungan yang luar biasa senilai US$18 billion.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa dia akan bukan hanya mendirikan satuan KPK di dalam instansi Pertamina tetapi juga ingin melakukan penyelidikan terhadap kontrak-kontrak pemasokan jangka panjang Pertamina yang menghasilkan dana besar-besaran demi kepentingan jaringan kekuasaan Riza. Oleh karena itu, KPK meningkatkan upaya untuk menyelidiki kontrak komersial Pertamina yang melibatkan PT Orbit Terminal Merak (OTM) (terminal penyimpanan Migas) yang dimiliki anaknya Riza Chalid, Muhammad Kerry Adrianto Riza dan dalam kasus ini melibatkan pula mantan Ketua DPR Setya Novanto secara resmi mendesak Pertamina untuk menanggung biaya penyimpanan Migas yang digelembungkan oleh pihak OTM.

Luhut Pandjaitan

Walaupun Luhut mendukung perubahan undang-undang KPK dan mendesak KPK untuk tidak melakukan pengawasan terhadap aparatur pemerintahan dan juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Aceh, dia dan konconya Rizal Ramli bersama-sama mengumpulkan dana politik informil sebanyak mungkin. Menurut pihak majalah Tempo dan juga akademisi-akademisi seperti Imam Prasodjo, dana ini dikumpulkan menggunakan beberapa cara. Cara pertama adalah dengan kedekatan-kedekatan informil konglomerat-konglomerat kelapa sawit seperti Martua Sitorus (Wilmar Group), Sukanto Tanoto (Asian Agri dan April), Franky Widjaja (Sinar Mas), Bachtiar Karim (Musim Mas) dan Surya Darmadi (Darmex Agro) yang menerapkan praktek pembakaran untuk memperluas perkebunan-perkebunan kelapa sawitnya dengan sengaja dan konsisten setiap tahun.

Dengan akibat tidak langsung yang sangat berbahaya kabut asap regional sering sekali menarik perhatian media masa, perhatian umum serta kritikan dari luar negeri pengendalian ketat Luhut terhadap proses penegakan hukum yang menyangut industri kelapa sawit antara lain memungkinkan dia untuk mengancam hukuman pidana dan penyitaan ‘Hak Guna Usaha’ (HGU) terhadap perusahaan-perusahaan yang dia sendiri tentukan bertindak ‘illegal’. Pada waktu yang sama secara diam-diam Luhut menawarkan perlindungan politik dan pilih kasih tetapi caranya dengan ditukar uang suap atau saham yang dihadiahkan kepadanya dalam hal ini keberhasilan Luhut dibuktikan ketika dia memerintahkan dengan tujuannya membungkam menteri-menteri yang kurang efektif dan suka main proyek seperti menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan menteri Agraria Ferry Mursidan Baldan untuk merahasiakan nama-nama perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang dianakemaskan sekaligus melakukan pembakaran hutan pada tahun 2015 dan dari segi pencitraan mereka tergabung dengan Luhut di Free Fire Alliance(FFA).

Kedua, Luhut dan Rizal Ramli akhir-akhir ini juga berhasil memperjuangkan kendali terhadap pembangunan mega proyek dalam bidang pariwisata, perlistrikan dan prasarana Migas. Persekongkolan-persekongkolan yang melatar-belakangi proyek-proyek ini pasti menghasilkan dana politik besar yang mengalir ke dalam jaringan kekuasaan mereka sebagaimana dicontohkan di atas panggung politik Luhut dengan sangat gembira mengucapkan terima kasih atas ‘gagasan brilian’ yang diusulkan Rizal Ramli yang menyangkut pembangunan kawasan pariwisata baru di daerah Danau Toba di bawah pengendalian satu badan pemerintah yaitu ‘Otoritas Wisata Danau Toba’. (Jelasnya ada unsur kesengajaan pariwisata itu dikembangkan ditempat kelahiran Luhut Pandjaitan di daerah Medan Sumatera Utara). Selanjutnya, pada awal Maret 2016, Rizal mengalahkan kubunya JK- termasuk Sudirman dan mantan anggota KPK Amien Sunaryadi- dengan mendapatkan persetujuan Presiden Jokowi untuk membangun kilang gas dan pembangkit listrik di Massela Maluku dibangun di darat senilai US$16 billion.

Pada bulan Mei kekuasaan Luhut di DPR menjadi semakin diperkuat dengan keberhasilan Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Golkar yang baru. Dengan digunakannya praktek pembagian dana informil, contohnya pemberian mobil dengan dalih sebagai hadiah dalam turnamen golf Golkar, ini merupakan salah satu strategi Setya Novanto untuk meniadakan calonnya Jusuf Kalla Ade Komarudin. Oleh karena itu, Golkar beralih dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke koalisi pemerintah Jokowi yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Hasil politik ini termasuk pengungkapan suatu persahabatan lama antara Jokowi dan Luhut serta hubungan mereka berdua di dunia bisnis yang terkandung dari hasil investigasi Tempo Panama Papers memperkuat keberpihakan dalam penyelnggaraan kekuasaan dan pengalokasian proyek besar-besaran di masa yang akan datang dalam kasus-kasus ini menonjol sekali ketiadaan jejak-jejak KPK. Link ini menggambarkan Pohon Harta Luhut Pandjaitan dan kedekatan beliau dengan Presiden Jokowi https://grafis.tempo.co/read/flashgrafis/2016/05/10/762/pohon-harta-menteri-luhut-dan-kongsinya-dengan-jokowi

Kesimpulan

Analisa politik ekonomi ini dengan teliti dan tanpa pandang bulu menantang argumen-argumen bahwa KPK berfungsi secara efektif dan kebal terhadap lingkungan politik bisnis yang korup. Diberitakan di majalah Tempo Online pada tanggal 11 Maret 2016, Ketua KPK baru Agus Rahardjo menyarankan bahwa “KPK bekerja secara independen, tidak terpengaruh oleh kepentingan manapun”... “KPK tidak bekerja di ranah politik atau balas jasa, kami penegak hukum, apapun data dan alat bukti yang kami terima pasti kami proses”.

Akan tetapi, “eksistensi KPK up and down dan terganjal di sana sini” (frasa yang dikutip dari pernyataan cendekiawan Alm. Adnan Buyung Nasution) merupakan akibat-akibat dari persaingan sengit di tingkat elit dan norma-norma kelakuan korup yang melembaga dalam sistem kedemokrasian Indonesia. Dalam hal ini suatu analogi paling tepat menjelaskan naik turunnya kinerja KPK dan hubungannnya dengan masing-masing presiden sebagai berikut: Megawati menyerupai Ibu yang tidak tulus melahirkan bayi “KPK”, SBY bertindak sebagai ayah tiri jahat tetapi senantiasa menikmati pencapaian prestasi anak tirinya serta Jokowi merupakan paman peot yang ketidak-hadiran beliau dalam kehidupan keponakannya sangat berdampak.

Pada kesimpulannya, apabila KPK dipandang “kebablasan” dengan menyelidiki penguasa-penguasa kelas kakap dari kalangan atas Indonesia maka pasti serangan baliknya dahsyat dan mereka berupaya semaksimal mungkin untuk menghidupkan kembali perubahan undang-undang KPK. Memang sangat jelas, pimpinan KPK baru ini mesti bertindak sangat waspada menghadapi kasus-kasus korupsi di tingkat elit karena telah diberikan peringatan “tidak tertulis”. Skenario terburuknya kebablasan KPK dapat menyebabkan serangan balik yang menghancurkan KPK. Harus diingat bahwa sejak awal sampai sekarang amanat KPK berdasarkan atas kompromi politik tersirat tetapi sekarang kompromi politik ini semakin tersurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun