Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jungkir Balik Perjuangan KPK

20 Mei 2016   07:46 Diperbarui: 20 Juni 2016   06:47 3867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata pimpinan KPK menjaga jarak dari kedua anggota yang paling berkuasa dalam kabinet Jokowi, yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan. Kedua penguasa politik ini terlibat dalam pergumulan kekuasaan yang sengit satu sama lain dan masing-masing kubu mereka memperebutkan sumber pendanaan politik yang ada maupun yang baru.

Jusuf Kalla

Jusuf Kalla mendukung revisi undang-undang KPK dengan dalih upaya pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pada akhir tahun 2015 skandal Freeport mengungkapkan bahwa kedua penguasa politik ini yaitu Jusuf Kalla- yang memimpin suatu kubu yang terdiri dari Menteri Energi Sudirman Said- dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie- dengan kubunya yang terdiri dari Setya Novanto (pada saat itu Ketua DPR) dan konglomerat migas Riza Chalid—gila-gilaan agar mendapat posisi paling berpengaruh dalam perundingan informal dengan pengambil-pengambil keputusan dari perusahaan Freeport khususnya berkaitan dengan permasalahan perpanjangan kontrak tambang Freeport.

Kubu Bakrie yang juga bergandengan dengan kubunya Luhut Pandjaitan dan Menko Maritim Rizal Ramli untuk mendapatkan akses langsung dan juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan presiden Jokowi, lewat konco-konco Bakrie Setya Novanto dan Riza Chalid bernegosiasi langsung dengan Presdir Freeport Indonesia Maroef Syamsoeddin, sedangkan Jusuf Kalla diwakili oleh adik iparnya Aksa Mahmud dan keponakannya Erwin Aksa (kelompok usaha Bosowa) bernegosiasi dengan ketua Freeport McMoRan James Moffett. Dengan munculnya perselisihan menyangkut pembagian “kue” Freeport mengakibatkan skandal korupsi besar-besaran. Walaupun derajat keikutsertaan kedua kubu elit dalam proses perundingan dengan Freeport sama, siklus pemberitaan skandal Freeport dan akibat politiknya memungkinkan kubunya Kalla memenangkan babak permainan ini (lihat referensi berikutnya: http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/skandal-freeport_5678c1b33f23bdcd04ea72c8).

Pergumulan kekuasaan di antara kedua kubu elit ini muncul lagi berkaitan dengan skandal korupsi Pertamina. Kubunya JK termasuk Menteri Energi Sudirman Said dan Presiden Pertamina sekarang Dwi Sutjipto dan mantan Presdir Pertamina Ari Soemarno mengarahkan KPK untuk menyelidiki kekuasaan Riza Chalid dalam industri Migas di Indonesia. Pada dasarnya kekuasaan Riza berasal dari suatu perusahaan besar yang berbasis di Singapura yaitu Pertamina Energy Trading (Petral), yang memiliki peranan utama dalam perdagangan internasional Pertamina. Sampai saat ini kubunya JK dengan menggunakan konsep Intergated Supply Chain (ISC) (Rantai Pemasokan Migas Terpadu) tidak sanggup menakhlukan kekuasaan Riza.

Dalam konteks ini Sudirman Said memberikan hasil audit forensik kepada KPK. Walaupun hasilnya mungkin dilakukan secara independen oleh perusahaan audit KordaMentha, lingkup penyelidikannya finansialnya berkepihakan pada periode 2012 sampai dengan 2014 yang mana tidak ada keterlibatan Sudirman dan konconya mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, penyelidikan finansial ini (Ari Soemarno menjadi Dirut Pertamina dari 2006-2009 dan Sudirman Said menjadi staf pakar Pertamina di era Ari Soemarno kemudian menduduki posisi strategis selaku Senior Vice Presiden Integrated Supply Chain, ISC). Penyelidikan keuangan ini mengungkapkan bahwa Riza Chalid melalui GlobalEnergyResources dan Verita Oil biasanya memasok minyak mentah dan produk-produk hulu Minyak dan Gas (Migas) pada Pertamina dengan menggunakan praktek penggelembungan harga dan pada gilirannya menghasilkan keuntungan yang luar biasa senilai US$18 billion.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa dia akan bukan hanya mendirikan satuan KPK di dalam instansi Pertamina tetapi juga ingin melakukan penyelidikan terhadap kontrak-kontrak pemasokan jangka panjang Pertamina yang menghasilkan dana besar-besaran demi kepentingan jaringan kekuasaan Riza. Oleh karena itu, KPK meningkatkan upaya untuk menyelidiki kontrak komersial Pertamina yang melibatkan PT Orbit Terminal Merak (OTM) (terminal penyimpanan Migas) yang dimiliki anaknya Riza Chalid, Muhammad Kerry Adrianto Riza dan dalam kasus ini melibatkan pula mantan Ketua DPR Setya Novanto secara resmi mendesak Pertamina untuk menanggung biaya penyimpanan Migas yang digelembungkan oleh pihak OTM.

Luhut Pandjaitan

Walaupun Luhut mendukung perubahan undang-undang KPK dan mendesak KPK untuk tidak melakukan pengawasan terhadap aparatur pemerintahan dan juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Aceh, dia dan konconya Rizal Ramli bersama-sama mengumpulkan dana politik informil sebanyak mungkin. Menurut pihak majalah Tempo dan juga akademisi-akademisi seperti Imam Prasodjo, dana ini dikumpulkan menggunakan beberapa cara. Cara pertama adalah dengan kedekatan-kedekatan informil konglomerat-konglomerat kelapa sawit seperti Martua Sitorus (Wilmar Group), Sukanto Tanoto (Asian Agri dan April), Franky Widjaja (Sinar Mas), Bachtiar Karim (Musim Mas) dan Surya Darmadi (Darmex Agro) yang menerapkan praktek pembakaran untuk memperluas perkebunan-perkebunan kelapa sawitnya dengan sengaja dan konsisten setiap tahun.

Dengan akibat tidak langsung yang sangat berbahaya kabut asap regional sering sekali menarik perhatian media masa, perhatian umum serta kritikan dari luar negeri pengendalian ketat Luhut terhadap proses penegakan hukum yang menyangut industri kelapa sawit antara lain memungkinkan dia untuk mengancam hukuman pidana dan penyitaan ‘Hak Guna Usaha’ (HGU) terhadap perusahaan-perusahaan yang dia sendiri tentukan bertindak ‘illegal’. Pada waktu yang sama secara diam-diam Luhut menawarkan perlindungan politik dan pilih kasih tetapi caranya dengan ditukar uang suap atau saham yang dihadiahkan kepadanya dalam hal ini keberhasilan Luhut dibuktikan ketika dia memerintahkan dengan tujuannya membungkam menteri-menteri yang kurang efektif dan suka main proyek seperti menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan menteri Agraria Ferry Mursidan Baldan untuk merahasiakan nama-nama perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang dianakemaskan sekaligus melakukan pembakaran hutan pada tahun 2015 dan dari segi pencitraan mereka tergabung dengan Luhut di Free Fire Alliance(FFA).

Kedua, Luhut dan Rizal Ramli akhir-akhir ini juga berhasil memperjuangkan kendali terhadap pembangunan mega proyek dalam bidang pariwisata, perlistrikan dan prasarana Migas. Persekongkolan-persekongkolan yang melatar-belakangi proyek-proyek ini pasti menghasilkan dana politik besar yang mengalir ke dalam jaringan kekuasaan mereka sebagaimana dicontohkan di atas panggung politik Luhut dengan sangat gembira mengucapkan terima kasih atas ‘gagasan brilian’ yang diusulkan Rizal Ramli yang menyangkut pembangunan kawasan pariwisata baru di daerah Danau Toba di bawah pengendalian satu badan pemerintah yaitu ‘Otoritas Wisata Danau Toba’. (Jelasnya ada unsur kesengajaan pariwisata itu dikembangkan ditempat kelahiran Luhut Pandjaitan di daerah Medan Sumatera Utara). Selanjutnya, pada awal Maret 2016, Rizal mengalahkan kubunya JK- termasuk Sudirman dan mantan anggota KPK Amien Sunaryadi- dengan mendapatkan persetujuan Presiden Jokowi untuk membangun kilang gas dan pembangkit listrik di Massela Maluku dibangun di darat senilai US$16 billion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun