Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jungkir Balik Perjuangan KPK

20 Mei 2016   07:46 Diperbarui: 20 Juni 2016   06:47 3867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeremy Mulholland, Presiden Direktur Investindo International Pty Ltd, Peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia, menelaah sejarah dan sepak terjang KPK. Dalam artikel yang dimuat di Journal kecendekiawanan ANU ‘New Mandala’ dengan Judul “Indonesia’s Anti-Corruption Drive” Mulholland menyoroti bagaimana kejadian sebenarnya KPK berdiri, yang pada awalnya diwujudkan oleh mantan Presiden Megawati. Selama ini saya sendiri berpikir bahwa Megawati adalah sosok istimewa yang memiliki ide brilian dalam hal pemberantasan korupsi dengan upaya beliau mendirikan KPK, perilaku korup sudah menjadi hal yang lumrah di sini dan berdirilah lembaga hebat KPK yang memiliki kekuatan “Super” untuk melawan para koruptor.

Di sini Mulholland berusaha meluruskan anggapan tentang peran Megawati dalam pendirian KPK dan menjelaskan pentingnya perselisihan politik antara Megawati dan Jusuf Syakir. Pada periode sepuluh tahun kepemimpinan SBY yang memanfaatkan KPK untuk meningkatkan citra politiknya sebagai sosok yang anti korupsi, tetapi pada saat KPK mulai menyentuh Istana ada perlawanan yang dahsyat sekali terhadap KPK. Agar Anda tidak penasaran dan bisa menyimak pemikiran Mulholland tentang hal ini. Di bawah ini terjemahan dari artikel tersebut, selamat membaca semoga bisa menambah wawasan kita tentang KPK. Linknya bisa anda baca di sini http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2016/05/20/indonesias-anti-corruption-drive-part-one/ dan http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2016/05/20/indonesias-anti-corruption-drive-part-two/.

Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia (Bagian Pertama)

Oleh: Jeremy Mulholland

Akhir-akhir ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi serbuan habis-habisan termasuk upaya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggerogoti kekuasaannya lewat proses perubahan undang-undang. Badan anti-korupsi ini bukan saja mengungkapkan bagaimana sistem demokrasi di Indonesia itu didanai tetapi juga bahwa anggota-anggota elit yang berkelakuan korup cenderung merasa terancam oleh kekuasaan KPK itu (lihat http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/para-koruptor-membuat-ibu-pertiwi-menangis-darah_573267d25a7b61390e11ffbb).

Semenjak berdirinya KPK sekitar 12 tahun yang lalu, keunggulan kompetitif KPK yang sangat menonjol adalah fungsi penyadapan yang terpadu untuk melawan anggota-anggota kalangan atas yang terlibat dalam persekongkolan-persekongkolan informil. Fungsi penyadapan KPK tercermin dalam betapa tepatnya KPK melakukan pengumpulan alat-alat bukti dan menangkap basah politikus nasional dan regional, penguasa ‘badan usaha milik negara’ (BUMN) dan pejabat kementerian, hakim serta pengusaha yang terlibat kasus-kasus korupsi yang terfokus pada pertukaran uang tunai dengan keputusan politik yang menganakemaskan kepentingan bisnis tertentu. Di sisi lain, kekurangan KPK adalah betapa terhambatnya KPK menjangkau ke dalam kasus-kasus korupsi dalam bidang keuangan, prasarana dan pertambangan yang bernilai triliunan rupiah dan juga betapa susahnya menyentuh pembesar-pembesar. Jadi terbukti bilamana KPK itu menerobos terlalu jauh kedalam kasus korupsi besar atau menghantam pembesar yang tangguh pasti serangan baliknya dahsyat sekali.

Berdirinya KPK dan Perselisihan Politik

Sampai saat ini tidak ada satupun studi kecendekiawanan yang dapat menjelaskan mengapa KPK itu muncul dalam suatu sistem politik dan bisnis yang korup. Tekanan yang terkait dengan perubahan rezim dan transisi politik, kegelisahan legitimasi elit, persaingan Pemilihan Umum (Pemilu) serta peranan masyarakat madani mungkin merupakan faktor-faktor yang mendukung, akan tetapi hal ini tidak cukup untuk menjelaskan berdirinya KPK dan juga besarnya kekuasaannya.

Dengan latar belakang ‘kesepakatan elit’ Indonesia yang terbentuk pada tahun 1998 yang merupakan landasan politik pokok buat permainan elit yang terdiri dari kedemokrasian prosedural dan politik uang yang stabil dan kompetitif, klik-klik kekuasaan mantan-mantan presiden Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri memperebutkan pengakumulasian dana politik informil yang berkaitan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan bagian-bagian lain dari aparatur negara Indonesia (http://unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=105&coid=1). Tujuan utama anggota-anggota elit yang saling bertentangan ini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing politik mereka satu sama lain. Dalam situasi dan kondisi seperti ini KPK dapat dipahami sebagai ‘keganjilan kelembagaan.’

Penjelasan yang benar mengenai berdirinya KPK adalah menomor-satukan faktor perselisihan politik yang terkait pada saat itu dan akibat tidak langsungnya. KPK ternyata muncul pada akhir peiode kepresidenan Megawati. Ada yang menyatakan KPK itu merupakan ‘karya agung’ mantan Presiden Megawati, akan tetapi alasan utama kenapa Megawati mengambil keputusan untuk melahirkan KPK pada tahun 2003 (dengan pemberlakuan undang-undang KPK nomor 30 tahun 2002) adalah pada dasarnya untuk memusnahkan ancaman politik yaitu Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Jusuf Syakir yang menyelidiki dan mengumumkan secara jelas dan tegas harta kekayaan keluarga Megawati.

Dalam wawancara Mulholland dengan Jusuf Syakir sendiri, yang ditekankan adalah pentingnya peranan ‘dendam politik’ dalam pembubaran KPKPN dan berdirinya KPK. Dalam tahun terakhir periode kepresidenan Megawati, perkembangan KPK dikerdilkan karena alasan-alasan sebagai berikut: pertama, sesuai dengan logika permainan politik-uang yang penuh dengan persaingan sengit, perilaku informil Taufik Kiemas (Suaminya Megawati) dan penguasa-penguasa lain- yang menurut pengertian Robert Cribb- ‘dikecualikan’ terhadap penerapan negara hukum di lapangan dan hukuman pidana. Kedua, Ketua KPK pertama Taufiequrachman Ruki seorang petinggi senior pensiunan kepolisian merupakan suatu upaya politik antara lain untuk meminimalisir munculnya ketegangan disebabkan oleh perubahan yang berkaitan dengan pendistribusian kekuasaan dalam ranah penegakan hukum. Akan tetapi, celaka tiga belas perubahan pendistribusian kekuasaan ini menyebabkan munculnya perpisahan politik yang parah di antara pimpinan KPK dan kepolisian di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun