Pada bulan Mei kekuasaan Luhut di DPR menjadi semakin diperkuat dengan keberhasilan Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Golkar yang baru. Dengan digunakannya praktek pembagian dana informil, contohnya pemberian mobil dengan dalih sebagai hadiah dalam turnamen golf Golkar, ini merupakan salah satu strategi Setya Novanto untuk meniadakan calonnya Jusuf Kalla Ade Komarudin. Oleh karena itu, Golkar beralih dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke koalisi pemerintah Jokowi yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Hasil politik ini termasuk pengungkapan suatu persahabatan lama antara Jokowi dan Luhut serta hubungan mereka berdua di dunia bisnis yang terkandung dari hasil investigasi Tempo Panama Papers memperkuat keberpihakan dalam penyelnggaraan kekuasaan dan pengalokasian proyek besar-besaran di masa yang akan datang dalam kasus-kasus ini menonjol sekali ketiadaan jejak-jejak KPK. Link ini menggambarkan Pohon Harta Luhut Pandjaitan dan kedekatan beliau dengan Presiden Jokowi https://grafis.tempo.co/read/flashgrafis/2016/05/10/762/pohon-harta-menteri-luhut-dan-kongsinya-dengan-jokowi
Kesimpulan
Analisa politik ekonomi ini dengan teliti dan tanpa pandang bulu menantang argumen-argumen bahwa KPK berfungsi secara efektif dan kebal terhadap lingkungan politik bisnis yang korup. Diberitakan di majalah Tempo Online pada tanggal 11 Maret 2016, Ketua KPK baru Agus Rahardjo menyarankan bahwa “KPK bekerja secara independen, tidak terpengaruh oleh kepentingan manapun”... “KPK tidak bekerja di ranah politik atau balas jasa, kami penegak hukum, apapun data dan alat bukti yang kami terima pasti kami proses”.
Akan tetapi, “eksistensi KPK up and down dan terganjal di sana sini” (frasa yang dikutip dari pernyataan cendekiawan Alm. Adnan Buyung Nasution) merupakan akibat-akibat dari persaingan sengit di tingkat elit dan norma-norma kelakuan korup yang melembaga dalam sistem kedemokrasian Indonesia. Dalam hal ini suatu analogi paling tepat menjelaskan naik turunnya kinerja KPK dan hubungannnya dengan masing-masing presiden sebagai berikut: Megawati menyerupai Ibu yang tidak tulus melahirkan bayi “KPK”, SBY bertindak sebagai ayah tiri jahat tetapi senantiasa menikmati pencapaian prestasi anak tirinya serta Jokowi merupakan paman peot yang ketidak-hadiran beliau dalam kehidupan keponakannya sangat berdampak.
Pada kesimpulannya, apabila KPK dipandang “kebablasan” dengan menyelidiki penguasa-penguasa kelas kakap dari kalangan atas Indonesia maka pasti serangan baliknya dahsyat dan mereka berupaya semaksimal mungkin untuk menghidupkan kembali perubahan undang-undang KPK. Memang sangat jelas, pimpinan KPK baru ini mesti bertindak sangat waspada menghadapi kasus-kasus korupsi di tingkat elit karena telah diberikan peringatan “tidak tertulis”. Skenario terburuknya kebablasan KPK dapat menyebabkan serangan balik yang menghancurkan KPK. Harus diingat bahwa sejak awal sampai sekarang amanat KPK berdasarkan atas kompromi politik tersirat tetapi sekarang kompromi politik ini semakin tersurat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H