Suatu kesempatan, seorang bapak menemui saya. Sebut saja Pak Salamun. Pelipis sebelah kananya lebam. Agak malu-malu Pak Salamun membuka pembicaraan.
"Sebenarnya saya malu, Pak, menceritakan aib keluarga sendiri. Tapi, terpaksa saya beranikan diri menceritakan persoalan ke Bapak, karena saya yakin, Bapak dapat menolong saya."
Sekejap Pak Salamun terdiam.
"Begini Pak..."
"Ya, gak usah diteruskan. Saya sudah tahu."
Agak kaget, memang.
Persoalannya adalah Andi, anak Pak Salamun yang ketika itu duduk di bangku SMK memukul ayahnya sendiri. Sebuah bogem mentah mendarat ke pelipis kanan. Kejadian ini sebagai akumulasi kekecewaan Andi terhadap ayahnya.Â
Sudah kesekian kalinya Andi memaksa Pak Salamun untuk membelikannya sebuah sepeda motor. Dengan sepeda motor ini, ia dapat pergi-pulang sekolah dan bergaul dengan teman-teman tongkrongannya.
Bagi Pak Salamun, permintaan anaknya sangat memusingkan, bahkan selalu mengganggu pikirannya. Antara keprihatinan dan ketidakberdayaan. Karena sebagai tukang gorengan keliling kampung, ia tidak mampu membelikan anaknya sepeda motor.
"Sabar, Nak. Jika uang bapak sudah cukup, bapak akan kredit motor buatmu."
Berkali-kali kata-kata itu keluar dari mulut Pak Salamun. Namun, berkali-kali pula keluar dari mulut anaknya,
"Ah, gak mau tahu. Pokoknya aku harus punya sepeda motor."
Puncaknya, kemarin sore, menjelang magrib. Pak Salamun baru saja melangkah masuk rumah setelah seharian menjajakan gorengan, Andi langsung menyambutnya.
Cekcok mulut tak terhindari. Kemarahan Andi memuncak ketika ayahnya mengatakan,
"Anak tidak tahu diri. Bukannya bantu bapak jualan, tapi kerjanya hanya nuntut melulu."
Bogem mentah pun mendarat di pelipis Pak Salamun.
                                                                   ***
Sebenarnya bukan baru kali ini saya berhadapan dengan orangtua dengan persoalan yang sama. Sebagai seorang motivator, sekaligus sebagai seorang yang dikaruniani kemampuan khusus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan spiritual, saya menyampaikan beberapa pemikiran sejuk kepada Pak Salamun.
Pertama, persoalan apa pun yang kita hadapi, sesuangguhnya berawal dari diri kita sendiri. Orang lain mungkin sebagai pemantik, sebagai pemicu, tetapi akan menjadi masalah kalau kita menanggapinya dengan emosi. Kita tidak mampu menguasai emosi dengan pikiran kita.
Kedua, jika persoalan itu berawal dari kita maka kitalah yang mulai untuk mencari solusinya. Karena, sangat sulit mengharapkan orang lain berubah, apalagi ia sendiri tidak menyadari bahwa ialah yang bersalah. Apabila perubahan itu kita mulai, lambat laun orang lain yang melihat ikut berubah karena ada hikmah yang terlancar ke matanya.
Ketiga, berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Doa hendaknya menjadi bagian hidup kita. Doa hendaknya menjadi kebutuhan batin kita setiap hari layaknya kebutuhan akan makan dan berpakaian. Kita berdoa bukan hanya ketika kita menghadapi perssoalan hidup. Selain itu, sikap pasrah dan berserah diri.Â
Penyerahan diri  mestinya berasal dari kesadaran mendalam bahwa Tuhan mampu menyelelesaikam segala persoalan hidup kita. Di sini dibutuhkan kerendahan hati, bahwa kita ini manusia berdosa. Maka, sikap memaafkan dan mohon maaf menjadikan hati kita bersih dan rahmat Tuhan bekerja dalam diri kita.
Dengan wajah berseri-seri, Pak Salamun kembali ke rumahnya. Ia berjanji, akan membujuk anaknya untuk menemui saya.
"Saya mohon, Bapak mendoakan anak saya agar ia mau ketemu Bapak."
                                                                            ***
Dua minggu berselang, Pak Salamun datang lagi bersama Andi. Tampaknya Andi masih memendam amarah.
"Namamu siapa, Nak?"
"Andi!"
"O, nama yang bagus."
"Langsung aja, Pak. Jangan basa-basi!"
"Baiklah, kalau begitu."
"Sepeda motor apa yang Andi harapkan?"
"Honda Vario Matic".
"Andi tahu, kira-kira berapa harganya?"
"Kata temanku, sekitar 25 juta."
Pak Salamun memandang saya sambil geleng-geleng kecil.
"Sekarang, umurnu berapa?"
"17 tahun."
"17 tahun. Coba Andi bayangkan. Kemudian coba dihitung-hitung, sudah berapa banyak uang yang terima dari ayah dan ibumu, dan sudah berapa banyak uang yang Andi pergunakan untuk keperluan pribadimu?"
Andi terdiam.
Pertanyaan itu masuk menusuk-nusuk hatinya. Tak lama kemudian, tangisnya pecah, dan ia beranjak memeluk ayahnya.
                                                                       ***
Berdasarkan pengalaman di atas, saya ingin menyampaikan dua  pemikiran reflektif. Andi sebagai representasi  kita dalam menghadapi persoalan hidup. Seringkali kita tampil sebagai manusia yang lupa diri, manusia yang tidak tahu berterima kasih terhadap segala yang kita dapati dan kita miliki.Â
Emosi, hawa nafsu yang menguasai diri kita menjadikan kita buta terhadap segala kebaikannya yang diberikan orang lain.Â
Terutama, kita melupakan segala kebaikan yang tanpa batas yang telah diberikan orangtua kepada anaknya. Apakah sebanding, uang 25 juta dengan puluhan, bahkan ratusan juta yang sudah kita terima dengan cuma-cuma dari orangtua kita?
Begitu hal dengan perasaan kecewa atau disakiti. Seringkali akibat kita disakiti seseorang, kita membalasnya dengan memukul bahkan sampai membunuhnya.Â
Di sini kita lupa diri. Kesadaran hati nurani kita telah tumpul. Kita tidak menyadari bahwa sudah sekian banyak orang, ribuan, bahkan jutaan orang telah kita sakiti sejak kita lahir. Bahkan, tanpa kita sadari, mungkin ada orang yang telah menjadi gila, atau meninggal akibat kata-kata dan perbuatan kita pada masa lalu. Apakah sebanding?
Semoga tulisan bisa bermanfaat.
Salam persaudaraan.
Paul Tukan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H