Berkali-kali kata-kata itu keluar dari mulut Pak Salamun. Namun, berkali-kali pula keluar dari mulut anaknya,
"Ah, gak mau tahu. Pokoknya aku harus punya sepeda motor."
Puncaknya, kemarin sore, menjelang magrib. Pak Salamun baru saja melangkah masuk rumah setelah seharian menjajakan gorengan, Andi langsung menyambutnya.
Cekcok mulut tak terhindari. Kemarahan Andi memuncak ketika ayahnya mengatakan,
"Anak tidak tahu diri. Bukannya bantu bapak jualan, tapi kerjanya hanya nuntut melulu."
Bogem mentah pun mendarat di pelipis Pak Salamun.
                                                                   ***
Sebenarnya bukan baru kali ini saya berhadapan dengan orangtua dengan persoalan yang sama. Sebagai seorang motivator, sekaligus sebagai seorang yang dikaruniani kemampuan khusus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan spiritual, saya menyampaikan beberapa pemikiran sejuk kepada Pak Salamun.
Pertama, persoalan apa pun yang kita hadapi, sesuangguhnya berawal dari diri kita sendiri. Orang lain mungkin sebagai pemantik, sebagai pemicu, tetapi akan menjadi masalah kalau kita menanggapinya dengan emosi. Kita tidak mampu menguasai emosi dengan pikiran kita.
Kedua, jika persoalan itu berawal dari kita maka kitalah yang mulai untuk mencari solusinya. Karena, sangat sulit mengharapkan orang lain berubah, apalagi ia sendiri tidak menyadari bahwa ialah yang bersalah. Apabila perubahan itu kita mulai, lambat laun orang lain yang melihat ikut berubah karena ada hikmah yang terlancar ke matanya.
Ketiga, berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Doa hendaknya menjadi bagian hidup kita. Doa hendaknya menjadi kebutuhan batin kita setiap hari layaknya kebutuhan akan makan dan berpakaian. Kita berdoa bukan hanya ketika kita menghadapi perssoalan hidup. Selain itu, sikap pasrah dan berserah diri.Â