Mohon tunggu...
Paul Ama Tukan
Paul Ama Tukan Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores

Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi-puisi Fr. Paul Ama Tukan, SVD

15 November 2019   10:26 Diperbarui: 15 November 2019   10:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com

Merdeka di Bawah Bayang Sendiri (I)

Saat tak ada yang lebih mahir menangkap raibnya hari

Jemari lebih pasrah di bawah bayangan tubuhnya

Saat perjumpaan datang terlalu dini

 secepat malam mengisi kantong mata dengan buku

"Apakah kau tak menginginkan cukup kedip dari merahnya mata?"

Setelah itu, orang-orang bekejaran di dalam layarnya

Memakai benang setengah badan sambil menenteng  hari

Sampai hari ini,

Ia masih merdeka di bawah bayangannya sendiri

Menari-nari dengan ketidaktahuan

Dari dunia angan-angan.

Ledalero, 2019

Merdeka di Bawah Bayang Sendiri (2)

Sepulang dari perjalanan di sebuah dunia

Ia kembali menikam kepala

Menelanjangi mimpi

Sampai ia tak bisa berkata apa-apa;

 "hari pun kehilangan moleknya"

diperas lelah yang berjam-jam.

Ledalero, 2019

Doa Seorang Biarawati

Tuhan, aku ingin

Bersetubuh

Denganmu.

Nenuk, 2019

Pelajar(an) Sekolah dan Sungai Kecil yang Mengalir dari Mata Ibu

_untuk ayah

Hari itu, aku pulang sekolah dengan ceria

Membawa ole-ole sebuah puisi tentang ayah

Kuselipkan luka dan benci di antara kata-kata yang masih belia itu

Ketika hari kurasa ganjil dengan detik-detik yang saling cemburu

Sebab sekali-sekali aku marah dalam diam dan  menadah air mata

Sesekali memang aku tak ingin hidup dan membantah

"Apa yang menjadikan aku alasan yang tak bisa dielak,?"

Puisi itu  kukeluarkan dari dalam tasku setelah lama merenung tentang pelajaran di kelas

Buku dan catatatan masih begitu belia, kata-kata cacat

"Ini ambil, dan bacalah kuat-kuat,

 Agar seisi rumah tahu"

Ia membaca walaupun tak kulihat dengan cara apa ia mendamaikan kata dan cinta

Suaranya bergetar dan malam itu sungai kecil mengalir dari sudut mata ibu.

"Bacalah sekali lagi!"

Aku membentak dan melabrak punggungnya

Sebab ia tak mampu membaca kata-kata yang telah kupasang pada tiga tungku puisi itu

"hkssss,,kesal!"

Aku pun marah, meludahinya dan memukulnya

Sampai hari senja dan ia tampak lelah bekerja-berpikir tentang air mata yang terbuat dari lautan

Dengan kedua tangan yang memar, ia memeluk sekali lagi kepalaku

Dan menyelipkan puisi itu di dalam sakunya

Ia setia membaca saat merasa fana, tak ada apa-apa yang ia perjuangkan selain anaknya.

Sejak saat itu

Aku tak ingin kehilangan ayah, seperti kehilangan puisi dari kata-kata.

Sampai di sini pelajaran sekolahku, pelajaran puisiku

"tak pernah selesai"

Maafkan aku ayahh....

Ledalero, 2019

*Fr. Paul Ama Tukan, SVD tinggal di unit Mikhael, Ledalero, Maumere. Berasal dari Ritaebang, pulau Solor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun