Merdeka di Bawah Bayang Sendiri (I)
Saat tak ada yang lebih mahir menangkap raibnya hari
Jemari lebih pasrah di bawah bayangan tubuhnya
Saat perjumpaan datang terlalu dini
 secepat malam mengisi kantong mata dengan buku
"Apakah kau tak menginginkan cukup kedip dari merahnya mata?"
Setelah itu, orang-orang bekejaran di dalam layarnya
Memakai benang setengah badan sambil menenteng  hari
Sampai hari ini,
Ia masih merdeka di bawah bayangannya sendiri
Menari-nari dengan ketidaktahuan
Dari dunia angan-angan.
Ledalero, 2019
Merdeka di Bawah Bayang Sendiri (2)
Sepulang dari perjalanan di sebuah dunia
Ia kembali menikam kepala
Menelanjangi mimpi
Sampai ia tak bisa berkata apa-apa;
 "hari pun kehilangan moleknya"
diperas lelah yang berjam-jam.
Ledalero, 2019
Doa Seorang Biarawati
Tuhan, aku ingin
Bersetubuh
Denganmu.
Nenuk, 2019
Pelajar(an) Sekolah dan Sungai Kecil yang Mengalir dari Mata Ibu
_untuk ayah
Hari itu, aku pulang sekolah dengan ceria
Membawa ole-ole sebuah puisi tentang ayah
Kuselipkan luka dan benci di antara kata-kata yang masih belia itu
Ketika hari kurasa ganjil dengan detik-detik yang saling cemburu
Sebab sekali-sekali aku marah dalam diam dan  menadah air mata
Sesekali memang aku tak ingin hidup dan membantah
"Apa yang menjadikan aku alasan yang tak bisa dielak,?"
Puisi itu  kukeluarkan dari dalam tasku setelah lama merenung tentang pelajaran di kelas
Buku dan catatatan masih begitu belia, kata-kata cacat
"Ini ambil, dan bacalah kuat-kuat,
 Agar seisi rumah tahu"
Ia membaca walaupun tak kulihat dengan cara apa ia mendamaikan kata dan cinta
Suaranya bergetar dan malam itu sungai kecil mengalir dari sudut mata ibu.
"Bacalah sekali lagi!"
Aku membentak dan melabrak punggungnya
Sebab ia tak mampu membaca kata-kata yang telah kupasang pada tiga tungku puisi itu
"hkssss,,kesal!"
Aku pun marah, meludahinya dan memukulnya
Sampai hari senja dan ia tampak lelah bekerja-berpikir tentang air mata yang terbuat dari lautan
Dengan kedua tangan yang memar, ia memeluk sekali lagi kepalaku
Dan menyelipkan puisi itu di dalam sakunya
Ia setia membaca saat merasa fana, tak ada apa-apa yang ia perjuangkan selain anaknya.
Sejak saat itu
Aku tak ingin kehilangan ayah, seperti kehilangan puisi dari kata-kata.
Sampai di sini pelajaran sekolahku, pelajaran puisiku
"tak pernah selesai"
Maafkan aku ayahh....
Ledalero, 2019
*Fr. Paul Ama Tukan, SVD tinggal di unit Mikhael, Ledalero, Maumere. Berasal dari Ritaebang, pulau Solor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H