7.
Kuliah Filsafat-Teologi
Memasuki kampus, serasa mendapatkan dunia baru, lebih banyak kawan jelas, suasana studi juga memberikan angin segar untuk perubahan suasana. Hari ini kami akan melakukan test intelijensia, apakah kami kira-kira mampu menyelesaikan studi dengan baik. Ujian yang mirip dengan seminari menengah dulu. Sedikit saja perubahan. Aku mengerjakan dengan relatif lancar, dan hasil terbaik aku dengar beberapa waktu  berikutnya.
Kuliah sistem paket, jadi mirip anak sekolah menengah, pagi hingga siang di kampus. Kuliah selama 45 menit per SKS nya dengan istirahat 15 menit. Menyenangkan, apalagi dosen-dosennya kebanyakan lulusan Roma, bayangkan, anak kampung diajar lulusan Eropa. Susah minta ampun mengerti bahasa-bahasa dewa itu. Aku mengalami jatuh bangun, benar, tidak heran semester satu sebelum mendapatkan KHS, rektor[1] menegur, " Gabi, kamu test IQ tertinggi, kenapa KHS mu juru kunci....."
Â
Aku sih tertawa saja, mau apa coba, jawab, bisa habis saya dimarahi.
Â
Transisi yang tidak bisa aku jalani dengan mulus ternyata. Aku sekarang menyesal mengapa dulu memilih IPA, padahal di sini jelas ilmu humaniora yang lebih digeluti. Nasi sudah jadi bubur, mengapa harus menengok ke belakang. Aku berjanji akan berubah.
Â
Semester dua tidak beranjak jauh, masih lumayan sih, tidak lagi juru kunci dan beberapa mata kuliah bahkan maksimal. Hidup  bersama tidak masalah, aku makin kerasan dan menemukan ritme baik untuk perkembanganku. Kini aku menyukai menulis, lha dalah, tiba-tiba diminta mengelola buletin komunitas, awalnya soal layout komputernya, ditambah membuat artikel. Pertama kali ragu  juga apa bisa menulis. Berbeda saat SMA,  teman-teman tulisannya bagus-bagus, juga studi mereka ekselen. Ragu itu tertepis saat teman-teman komunitas lain bertanya ini karya siapa. Aku masih belum pede menyebut nama, namun isinya yang ingin aku tahu pendapat mereka.
Â
Itulah awal kemunculan tulisan-tulisanku, bahkan makin pede dengan mengirimkan tulisan ke media, di mana kampus memberikan reward berupa uang honor yang lumayan, selain dari medianya. Uang itu memang aku kumpulkan sebagaimana peraturan membiara. Aku izin rektor untuk sedikit membeli buku dari uang itu, malah Rama Rektor sebenarnya menyarankan semua saja untuk membeli buku, pengembangan diri dan karyaku tentunya. Itu sah-sah saja.
Â
Di skolastikat, aku juga mengajar seperti yang aku sebut di depan, namun juga melakukan latihan dengan semboyan belajar sambil melakukan. Hari-hari tertentu mendampingi kelompok-kelompok doa, beberapa kali dalam sebulan juga mengisi siaran radio komunitas paroki. Ini pelajaran berharga yang aku dapat dari kakak tingkat.
Â
"Bol, siaran ya Sabtu, jam 20," katanya singkat.
Â
"Materi?" tanyaku.
Â
"Gampang kamu pasti bisa..."
Â
Masuk studio baru sekali, live, tanpa materi lagi. Mas David operator sudah mengacungkan jempol dan membuka acara, eh kakak kelas itu baru menyodorkan buku. "Lihat dulu," sambil berbisik. On ini....
Â
"Silakan Frater...."
Â
Frater Dony nyerocos saja akan tema malam itu, tanpa ingat aku, Mas David mengalihkan ke aku, "Frater Gabi, bagaimana pendapatnya...."
Â
Aku santai saja mencoba nyerocos seperti kakak kelasku itu, eh bisa. Jadi lah rutin aku ikut kakak kelas yang mendapatkan jatah siaran radio. Tambah belajar dan pengalaman memang. Tidak banyak teman-teman yang mendapatkan kesempatan seperti ini. Bisa saja lho ketika sudah karya penuh, tiba-tiba diminta menjadi nara sumber bahkan teve sekalipun. Siap saji dan siap pakai harus menjadi menu harian kami. Menolak tentu tidak elok.
Â
Enam tahun tak terasa. Pulang setahun dua kali untuk bersama-sama ke dalam kehangatan keluarga, sepi yang sama saat ke rumah Angie. Penjaga rumah mengatakan tidak pernah lagi melihat Mbak Angie pulang, kalau Papa dan Mama sering banget pulang. Aku tanya pada Pak Di juga tidak tahu ke mana Mbak pindah. Surat, email pun tidak. Sepuluh tahun paling tidak kami tidak berkhabar, kurang sedikit lah, sama sekali. Setitik pun tidak ada yang datang. Padahal aku ingin dia melihat betapa cakepnya aku mengenakan jubah, atau melihat buruknya KHS-ku yang akan jadi olok-olokannya yang sangat telak, atau opiniku yang pertama masuk media. Dia tidak ada sama sekali.
Â
Studiku usai, menantikan tahbisan diakon dan menjalani masa diakonat. Aku memohon kepada superior agar bisa ke tanah misi jika bisa, namun ditolak karena waktunya tidak panjang, di dalam negeri saja, toh Masa Tahun Orientasi aku di tanah misi tiga tahun penuh, tidak ada yang selama ini. Angkatan dan adik kelasku sudah ada yang tahbisan. Ini bukan soal bodoh atau pintar, ragu atau mantab, namun aku tidak ingin menjadikan tahbisan sebagai tujuan yang akhirnya malah aku lupa akan kewajibanku setelahnya. Aku diberikan tugas Tahun diakonat oleh pembesar ke sekolahku. Di sekolah itu memang dikelola oleh tarekat kami. Pulang kandang yang kaya memori.
Â
Melihat papan nama guru dan karyawan di kantor Tata usaha aku menemukan nama yang sangat familiar di mataku.. Dany, Albertus Dany Putradewa, Â Dany sahabat, "rival" itu jadi guru olah raga di almamaternya. Ketemu aku pertama kali ia langsung menepuk dengan keras dan merangkulku erat, ia menangis sesenggukan di pundakku. Di hall di mana penuh dengan murid kami, ia tidak malu.
Â
"Frater, maafkan aku ya...."
Â
Aku bisikan di telinganya, "Panggil aku Gabie kalau tidak di depan anak-anak...." dia makin terisak.
Â
"Sudah-sudah, ada apa sih...kita kan tim? Kini sama saja. Jangan lihat aku mewaliki yayasan, lihat aku Gabi yang dulu, bersama-sama membangun sekolah ini dengan prestasi kita. Ini sama persis." Ujarku bersemangat.
Â
"Tidak mungkin Frater, jaauh kita, saya karyawan...."
Â
"Sekali lagi kamu katakan itu, aku rekomendasikan pemecatanmu dengan jaminan kamu tidak akan diterima di sekolah lain, dan tidak akan bisa melatih basket di mana pun...." ancamku becanda.
Â
"Sadis juga kau sekarang, jauh dari "malaikat" Â kamu jadi iblis kah? Kau sih buat dia patah hati...."
Â
"Serius?" tanyaku padanya.
Â
Ia menceritakan surat, email, pesan-pesan media sosial Angel ke dirinya, lengkap kap. Tangisan sedih dan patahnya.
Â
"Gab, tahu tidak dia menangis sampai habis air matanya, tapi kamu tidak tergantikan. Aku tahu memang tidak bisa ia buka hatinya itu. Aku tidak lagi pernah mencoba usai melihat rangkulannya kala itu. Tapi dia masih selalu menghubungi aku dan aku selalu ada untuknya. Aku mewakilimu Bro....." sambil tertawa dan menepuk aku sangat kuat. Beberapa guru dan siswa ada yang sampai menoleh dan meledek," Reunian berdua saja, mana jawara PMR-nya?" Â aku kaget juga.
Â
Ternyata guru-guru turun temurun mengisahkan kesuksesan OSIS masa kami. Photo kami bertiga yang masih culun-culun itu ada di ruang OSIS dan ruang Kepala Sekolah. Dengan gaya masa itu.
Â
Aku dapatkan alamat surat elektroniknya, tahu apa alamatnya? Â Ada aryanya....Dany pasti gak tahu, soalnya dia gak pernah panggil aku Arya kalau ada teman atau pihak lain. Sikap Dany juga menunjukkan itu selama ini.
Â
Pamit pada Dany untuk mulai masuk kantor, aku ajak ia enggan, malu katanya menggoda. Aku tertawa melihatnya bersemangat begitu.
Â
Aku buka laptop dan koneksi wifi, aku tidak tahu untuk login dan passwordnya aku minta Dany  via media sosial.
Â
"Ngebet ya...
Â
"Ngebet .....passwordnyaaa?" Tanyaku balas menggoda
Â
"Semprul"....
Â
"Ngeledek, aku angkat telpon ke kantor pusat, besok kamu ditendang...."
Â
Smiley melet sepuluh yang datang....
Â
Aku datangi lapangan ia sedang melatih anak-anak.
Â
"Pak Dany, silakan ke kantor saya, teman-teman maaf ya saya mengganggu gurunya sebentar..."
Â
Merah padam ia, dan buk buk, aku dipukulnya dengan telak di lengan, "Kau ini Frater Gabriel yang terhormat main kuasa...awas aku laporin bahwa tahun imamatnya buruk godain siswi..." candanya gemas dan tidak berdaya.
Â
"Gak akan mempan, mana ada rekomendasi soal begitu tanpa sejarah aku kena yang sama...mana ada yang percaya.."
Â
"Angela...."
Â
"Kan kamu yang naksir..."
Â
"Kamu buat patah hati...."
Â
"Itu menggugurkan tahbisan, KHK kanon berapa?"
Â
"Kalah sudah, ampun dah dengan Pastor mana menang, dipecat iya...apa ssehhh..."
Â
"Password...."
Â
"Kamu sekarang makin bodoh atau karena Angela? Tuuuuh,..." telunjuknya menunjuk tulisan merah besar di dinding kantor...
Â
"Ha...ha...kalau kosong ngobrol di taman ya?"
Â
"Kamu sekarang punya kantor kenapa di taman? Kangen si dia ya?"
Â
"Iya, serius aku..."kataku sungguh-sungguh.
Â
"Sip nanti jam ketiga kosong, aku ke kantor nanti....selamat berkarya Rama Arya, eh gakk boleh ya?" dia berlari sebagai seorang guru olah raga, sambil menoleh dan meledekku. Tahu rupanya dia.
Â
Aku buka internet dan cari tentang dia, di mana-mana tidak ada. Berarti dia tidak mau menggunakan apa-apa yang bisa aku cari. Prestasi masa lalu yang masih dicatat. Usai sekolah sama sekali tidak ada data yang masuk.
Â
Aku menulis surat  untuknya
Â
"Tahukah kamu, hari ini aku ketemu siapa?
Â
Aku ketemu kamu dan Dany.
Â
Aku mendapatkan alamatmu dan langsung diledek dia, habis-habisan, kurang ajarnya ia panggil aku Rama Arya...
Â
Mengapa kamu pergi begitu saja seolah tertiup angin, tak ada khabar apapun...
Â
Makasih jika mau membacanya..."
Â
Klik send dan aku tidak banyak berharap. Hari pertama setelah sekian lama pergi membuat aku kangen. Memori bertebaran di sini, prestasi, kelucuan, dan khas remaja lainnya satu demi satu menanti hadir.
Â
"Gab, ayo, jalan-jalan..." longok Dany,
Â
"Sini dulu, ngopi denganku, lama gak ketemu, gak kangen aku kah?"
Â
"Gak bagus Gab, di mata anak buah dan pimpinan pola pendekatanmu nanti jelek... bener kita teman, itu dulu, kini bukan..." kata Dany tulus, pergaulan dunia kerja yang Gabie tidak pahami. Dunia kerja sangat kejam.
Â
"Sesekali gak masalah, dan kami sedang dan akan membuat sistem yang baru, jadi guru dan karyawan itu keluarga bersama anak-anak murid, bukan untuk bersaing apalagi menjatuhkan satu sama lain."
Â
" Kamu  jelas akan jadi leader ini, karena kualitasmu," sahut Dany
Â
"Superior berpesan ini, aku setahun diminta mengembalikan kejayaan kita dulu. Belum jauh turun tapi jangan sampai turun lagi. Mahal harganya lho mengembalikan kejayaan itu. Rumahmu masih yang sama kan Dan?
Â
"Gab, aku sudah punya rumah, di perumahan Citra Nirvana, dekat dengan rumah mu, aku sering ke rumah, ngajak ngobrol Bapak dan Ibu, sama sekali gak pernah bicara ke kamu kah?" sahutnya.
Â
"Iya bicara kamu datang, kalau rumah lupa paling..."
Â
"Nanti aku ke rumah, gak ganggu kan?"
Â
"Ganggu kalau kamu gak datang....he...he...."
Â
"Gak berubah ya, hanya soal kualitas mulai menurun, dan jumlah pendaftar tidak seperti dulu lagi..."
Â
"Jelas soal sekolah yang menjamur turut berperan. Kedatanganmu sungguh tepat, setahun cukup di tanganmu Bro...." aku suka Dany makin cair.
Â
"Lebih top lagi jika Angela ikut ya? Dia kan tangan dingin tuh, ingat PMR yang tidak dikenal jadi jawara, sekarang masih lho, apa gak hebat..."
Â
"Kamu tambah semangat ya? Kamu masih sendiri kan?" ledekku.
Â
"Kamu itu di bawahku, aku sudah kaul kekal ya...." balasnya telak,
Â
"Beneran?"
Â
"Kalau di benakmu tidak hanya Angela, kamu akan tahu ada salib begini besar di dadaku, aku ikut ordo ketiga..." semburnya sengaja meledek.
Â
Aku tidak dengarkan juga tidak menanggapi, daripada aku makin malu, aku terus saja berjalan dan melanjutkan.
Â
"Dan, kamu tidak usah khawatir soal kedekatan kita, mereka akan diubah, bekerja bukan bersaing, maju mundurnya sekolah itu hidup mereka. Tidak suka model dan kerja keras bukan bersaing, silakan cari sekolah lain." mulai aku katakan rencanaku.
Â
"Kamu masih sama Gab... jempol deh, aku dukung penuh..."
Â
"Kami prihatin, memang kita masih unggul, cuma itu semua tidak cukup menghadapi model persaingan yang tidak sehat dalam pendidikan ini. Jika  kita isi dengan orang-orang yang mental kepiting, kita habis. Yayasan kita mengalami di sebuah kota kog. Dulu berjaya kini merana. Aku tidak akan rela almamaterku begitu."
Â
 "Kog bisa jadi guru  Dan? Rasa-rasanya tidak ada guru-gurunya deh kamu itu?" tiba-tiba aku berbelok arah pembicaraan.
Â
"Itulah Gab, aku kuliah mau mulai, baru cari-cari fakultas yang menrik, kan aku galau gegara Angela pergi, akhirnya karena aku suka olah raga masuklah ke FPOK. Suatu hari aku  dolan ke sini, mereka perlu guru olah raga. Guru kita dulu memasuki masa pensiun, nah aku ditarik ke sini,  sekalian ngajar dan kuliah, sejak semester satu lho...."
Â
"Lama banget itu, sudah lulus tentunya?"
Â
"Jelas lah, usai kuliah kelar, kaul kekal itu."
Â
"Aku masuk kelas dulu, nanti sambung lagi, makasih ya, banyak hal bisa aku pelajari darimu..."
Â
"Sama-sama Bro, aku belajar darimu juga....."
Â
Masuk kantor, ada video di layar laptopku....
Â
Wajah Angie di sana.....harapanku....aku tidak akan pangling
Â
Aku pilih jawab, dan yang aku harapkan terpampang di sana...si murai itu menangis, air matanya tidak lagi tertahankan.
Â
"Arya betapa aku kangen dan menahan diri untuk tidak mengingatmu, makanya aku minta Papa dan Mama untuk  ikut pindah ke sini sekalian." Di antara sengau tangis dan derai air mata.
Â
Aku masih diam saja belum bisa memilih kata yang pas untuk menjawabnya, dia sudah jadi barat banget, syock juga aku. Dia melanjutkan.
Â
"Tadi, sebelum kamu mengirim surel itu, Dany sudah kirim aku pesan singkat, mengatakan surprise....apa pikirku, ternyata kalian berpelukan sambil tangis-tangisan seperti anak kecil. Bener aku surprise banget, pas aku vidcall, gak jawab, Dany beri tahu aku, kalau kalian sedang bersama, minta vidcall dia gak mau kurang personal ledeknya...."
Â
"Arya i love u, aku kangen kamu, ini gak dosa kan buat kamu? " Murai  itu mulai lagi...kapan aku omong.
Â
"Coba kamu pakai jubah, tambah cute pasti.....ayo dong, kamu ada kan, coba pakai, sekarang, ganti dan live biar aku tahu tampannya kamu...."
Â
Aku ambli jubah di tas dan aku kenakan di luar baju ku, kembali dia protes bukan begitu memakai jubah, aku buka, dan buka  bajuku dan aku kenakan jubah....
Â
"Oh My God.....kamu cantik banget Arya, jadi tambah kangen......apa tugasmu di sekolah kita Aryaku?"
Â
Tangisnya sudah hilang, tinggal binar mata yang  selama ini tidak pernah aku tahu, begitu indah. Di balik air mata yang belum kering benar. Ia tidak malu-malu tetap begitu. "Aku mau tanya dulu, " desakku.
Â
"Iya boleh, silakan, aku gak bisa mukul kamu kog?"
Â
"Iya sudah dihajar Dany tadi, karena aku culik dari lapangan pas anak-anak belajar...."
Â
"Ha....ha...nanti aku akan berterima kasih dan nitip gebuk tiga kali  lagi...tanya apa?"
Â
"Kenapa kamu menghilang begitu saja?"
Â
"Tahukah kamu Arya, aku tidak berani berebut dengan Tuhan, aku ini siapa sih? Bener kan?"
Â
Aku tidak bisa menjawab, aku diam saja. Â
Â
"Aku bawa hatiku yang patah bersama lagu Aku Abdi Tuhan yang selalu menemani jika aku ingat kamu....kamu dengar kan itu lagu apa, di kamar dan kantorku Aryaku?"
Â
"Angie...kau tahu apa yang aku inginkan saat berangkat ke seminari, siapa yang melihat aku berjubah, dan  berkaul? Tentu kamu akan menjawab, kamu ingin menyakiti aku?" Memang hanya kamu yang sakit nGie? Aku juga mengalami yang sama...."
Â
"Siapa sih yang tidak mau menjadi pendamping cewe sesempurna kamu?"
Â
"Gak ada kan?"
Â
Dia menangis lagi, kini bahagia....
Â
"Tapi, aku tidak bisa menjadi pendampingmu, karena Tuhan menghendakiku mengabdi pada-Nya. Aku sempat protes pas retret agung nGie, ingat kamu, bukan Tuhan yang memanggilku...tahu apa yang aku rasakan? Darah nGie....perih, Tuhan hadir, tersenyum dan mengulurkan tangan-Nya dan membawa aku ke mana di sana begitu banyak orang memerlukan aku...".
Â
"Aku menangis menyesal demi kesenanganku sendiri aku protes pada Tuhan. Kalau kamu pasti akan banyak yang akan bisa membahagiakanmu, kalau mereka, siapa? Mereka yang kelaparan, mereka yang terasing di antara bangsanya, mereka yang putus harapan, mereka banyak, dan ke sana Tuhan mengutusku...."
Â
"Kini di sekolah kita, ternyata mengalami kemunduran....belum parah sih, tetapi potensi itu perlu dihentikan agar tidak menjadi faktual....."
Â
"Malah aku ngoceh terus, gimana kuliahmu, kapan berkeluarga, atau sudah?"
Â
"Heemmmm..." sambil ia pamerkan cincin di jari manisnya.
Â
Sangat indah dan cantik. Luka hatiku? Iya lah, Tuhan biarkan dia jadi milikkku.....
Â
"Selamat ya, aku ikut bahagia....." asli ini bohong yang Tuhan pun tertawa. Di atas tadi semua jujur, kini?
Â
"Makasih Arya Sayang, sebentar lagi kami balik ke Indonesia, nanti aku kenalin dengan John. Dia cakep, pinter, dan lembut, persis kamu...." tawanya penuh binar itu.
Â
Tuhan binar itu biar milikku, ini aku jujur...
Â
"Aku bahagia banget ketemu dia Arya, aku tidak berdosa memaksamu mengingkari jalanmu...." ini aku gak setuju, jujur atau tidak Tuhan?
Â
"Kerja malah vidcall, Arya, sudah dulu ya met berkarya, dan I love U.... bye...." ia tutup begitu saja.
Â
Setahun sebelum tahbisan aku diwisuda sebagai sarjana di universitas, legalitas negara di antara banyak temanku jarang yang datang ikut. Aku sendiri, tidak ada bapak dan ibu, kasihan terlalu jauh dan ini hanya antara, yang utama adalah tahbisan.
Â
Aku kirimkan photo  itu ke alamat email Angie...
Â
Aku buka Hape, ternyata ada nomer menghubungi via media sosial.
Â
Hiii Arya Sayang....
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H