Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Putihnya Cintamu Seputih Jubahku

22 Juli 2020   19:51 Diperbarui: 22 Juli 2020   19:53 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga

 Angela si Gadis Populer

Angie, anak yang lahir dari keluarga berada, didikan rendah hati dan terbuka tidak mentang-mentang banyak harta. Anak tunggal di tengah kemewahan yang jauh lebih mandiri dari kebanyakan teman gadisnya. Ia selalu menggunakan angkot meski hadiah kelulusan SMP-nya ia dihadiahi mobil dengan sopir sekaligus yang akan mengantar jemput ke manapun ia inginkan. Ia tidak begitu.

Di sekolah ia gadis cerdas yang selalu masuk dua besar paling buruk di kelas dan paralel. Kami lah yang saling bergantian di peringkat terbaik. Persaingan yang kami nikmati. Rivalitas tidak hanya dalam ranah pengetahuan akademik, kami juga bersaing di dalam berorganisasi. Setiap hari bersama, duduk bersama, eh kali ini menjadi perwakilan kelas untuk menjadi ketua OSIS, per kelas dua orang putra dan putri yang nantinya para guru dengan pembimbing OSIS memilih  tiga besar, dan dari sana tiga besar akan dipilih seluruh siswa di sekolah kami. Tiga itu, aku, Angie, dan  Dany dari kelas sosial.

Kami bertiga membuat komitmen informal. Kalau di antara kami ada yang menang, dua di antara yang memang tetap menjadi pengurus. Angie memilih menjadi ketua PMR kalau aku yang menang, dan jika Dany yang meraih suara terbanyak, ia akan menjadi sekretaris. Aku pun demikian, akan memilih menjadi koordinator kerohanian, soal siapun yang menang. Dany memilih menjadi koordinator ekskul olahraga sebagai pilihan jika tidak mendapatkan jabatan ketua OSIS. Soal wakil biar kami bertiga bicarakan, seperti formatur, umumnya kan menjadi wakil yang mendapat suara terbanyak kedua, ini bukan.

Ketahuan kan Angie memilih untuk menjauh dari aku, jika aku menang, beda pilihannnya jika  Dany yang jadi ketua. Kedekatan ketua dan sekretaris tentu sangat erat. Sama sekali aku tidak sakit hati dengan pilihannya itu.  Dalam pemilihan akhirnya aku yang menang, aku tahu, Angie pun memilih aku, tidak akan dia memilih dia sendiri, sejatinya dia tidak suka memimpin di depan begitu.

Sentuhan tangan dinginnya membuat ia mampu membawa PMR menjadi ekskul yang masuk level atas. Bisa promosi di masa MOS dengan tegak setara dengan olimpiade sekolah yang sering menang di ajang level nasional, regional, bahkan internasional. 

Ini salah satu daya dorong orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah kami. Atau PIR yang mengantar banyak karya siswa di sekolah kami mendapatkan beasiswa. Ekskul basket yang sering juara di mana-mana. PMR yang dulu hanya dikenalkan oleh pengurus OSIS karena minimnya minat, kini membanggakan. 

Bulan kemarin juara di tingkat kota saat lomba HUT PMI dan bulan berikut akan maju tingkat provinsi. Siapa sangka coba, kalau bukan tangan dingin dan ketekunan Angie.

"Arya, pulang, ke taman bentar ya, aku kangen...." tahu tidak kata kangen dibuat mendayu dan centil, pas aku lirik, Dany baru mau masuk kelas dan nyamperin aku.

Ini bukan malaikat, iblis iya. Geleng-geleng saja aku. Paham aku kalau dia serius mengajak ke taman, tapi soal kangen aku juga paham bahkan yakin tambahan sendiri karena ada Dany. Ada-ada saja ulahnya kalau lihat penggemar blingsatan begitu.

"Kamu tahu Kevin?" tanyanya tanpa basa-basi..

Aku godain dia saja, lihat mukanya yang datar dengan bibir mulutnya lurus aku paham dia bete.

"Itu yang bapaknya punya mall?"  Aku hanya senyum-senyum, dia makin marah, mengepal tangannya, hapal aku. Tanda iya yang samar, namun aku tahu.

"Naksir? " candaku makin  menjadi. Buk buk, kepalan karatenya mendarat dengan telak di pundak dan lenganku. Mana aku menghindar, ngakak iya, dan dia makin marah,

"Noh...." diberikannya hape-nya ke tanganku. Aku tidak mau, dan dia hafal kebiasaannya. Dia hanya malas baca sms atau w a biasanya begitu.

"Malaikatq, km tau aq gak bsa tdur nyenyak, terkenang kmu...

Hari2 q sunyi tanpa bsa melihatmu...

Aq tdk enak mkan krn tdk ada kmu....

Aq tdk bsa bljar tanpa memandang mu...

Maukah kmu jdi mimpiq yg menyata?"

"Benar kan apa aku bilang?"  tanyaku

"Kamu tadi ngeledek bukan tanya, tauuuu," sambil dia cubit lenganku dengan sekuat tenaga, aku tahu ini pasti akan hitam dan ada lukanya. Aku diam tidak melawan percuma juga, tambah parah malahan.

"Aku itu mengatakan apa dia naksir, atau menyatakan dia itu naksir."  Aku tahu dia juga paham, mau mengerjain aku saja sebenarnya.

"Kasihan ya, pantes dia oon....gak pernah bisa belajar" mulai ngeledek dia, modelnya kalau ada yang naksir begitu.

"Mulai...." aku mau menghentikan bullyannya, pasti juga akan terus sama.

"Pantes ya dia kurus, kuyu, dan kucel, gak pernah tidur dan makan...." nyinyirnya terus....

"Sebentar, kog paham dan tahu detail begitu, naksir ya? Selamat deh, cocok kog...." aku sudah ngacir duluan. Tas sekolahnya melayang. Aku berkelit sedikit, tas itu melayang ke jalan.  Aku tertawa saja, ia ambil dan langsung ngeloyor pergi. Kaget juga, aku panggil dia diam saja. Aku perhatikan naik angkot, lho kog bukan jurusannya.

Beep beep...

Ada pesan masuk, aku buka ternyata dari dia.

"Aku ke rumah Linda"

Anak yang luar biasa. Ia bercerita kemarin, teman itu sudah beberapa hari ini tidak masuk. Teman lain tidak ada yang peduli, dia melangkahkan kaki mencari. Dia tidak mengajak aku, jalan begitu saja. Satu yang ia akan ajak jika terlalu menyedihkan dia akan paksa aku ikut. Lihat bagaimana sucinya hati gadis itu. Perhatiannya memperlihatkan sosok ibu yang mengayomi, melindungi, merawat, bukan hanya organisasi melalui PMR, ini temannya juga ia datangi.

Kejelekannya itu pada para fansnya, istilah kami untuk penggemarnya. Ia akan beritahukan aku apapun yang diberikan para fans itu, mau surat, mau puisi, atau sms dan pesan via media sosial. Aku tidak tahu apa maksudnya. Kalau mau mancing-mancing aku jeles, jelas tidak, dia tahu persis aku mau jadi apa. Dia tidak pernah juga bicara mengarah hal yang sangat pribadi atau percintaan.

Kebaikan Angie yang lain itu pada kebaikan hatinya, royal pada orang yang kekurangan. Tiap hari uang sakunya ia pergunakan untuk teman yang tidak punya uang saku. Atau ia bagikan pada anak-anak yang ada di jalanan. 

Bekal dari mamanya ia bagikan ke teman-teman yang tidak sempat sarapan, ia membawa bukan hanya satu atau dua, bahkan sampai lima segala. Anak-anak cowok yang mampu, jangan harap bisa menikmati bekalnya. Ia tahu persis siapa yang patut mendapatkan bagian bekalnya.

Angie si gadis smart, dia rajin nangkring di peringkat satu atau dua kelas dan kelas paralel. Selalu bersaing sengit dengan aku. Rivalitas dalam banyak hal. Kecuali dalam bidang ekskul dan aktivitas luar sekolah. Salah satu pembuat ia tenar adalah suara emasnya. Ia suka menyanyi. Acara sekolah atau sekolah menerima tamu, ia pasti menyumbang lagu. Mana tidak seluruh sekolah kenal dia. Dia juga tidak merasa tenar dan tinggi hati.

Pendidikan di rumah yang memang sangat demokratis, hangat, dan bebas membuat ia yang anak tunggal itu sangat mandiri. Panjat tebing, karate, dia juga memaksa aku ikut futsal, hanya aku memang tidak begitu suka. Ketrampilanku dalam olah raga tidak baik. Jangan kaget kalau dia mampu banting pencopet yang mau macam-macam, atau cowok iseng yang main colek padanya.

Lemari piala dan piagamnya bertambah dengan menang dalam bidang yang sangat beragam itu, mulai debat Bahasa Inggris, essai soal Pancasila, ikut lomba panjat tebing, juara di mana-mana untuk kontes menyanyi dan kecantikan. Aku sendiri bingung kapan dia tidur atau belajar. Seminggu penuh ia ikut les ini itu, ekskul yang ia ikuti atau sambangi karena tugasnya.

Aku makin kagum padanya, sudah pinter,  rendah hati, terbuka, dan penuh perhatian. Luar biasa gadis cantik luar dalam.  Selalu di sampingku dalam banyak hal, namun jalan kami berbeda jauh, ia tahu dengan baik akan hal ini tentunya, sama sekali tidak pernah bicara mengenai usai sekolah atau usai SMA mau ke mana. Ia akan ke luar negeri, sebagaimana mamanya katakan pas aku dolan ke sana.

Awalnya dia marah-marah aku panggil Angie, seperti nama boneka saja. Biasanya dia dipanggil Angel, atau Njel saja. Lha dia saja panggil aku Arya, beberapa minggu masih sering bingung dan jadi ribet.  Ternyata baru aku tahu bibir monyongnya di awal perkenalan itu hanya kali itu saja terjadi. Aneh juga ini. Spesialkah, atau apa? Sudahlah,  toh jadi saudari yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun