Kepribadian seseorang itu menurut para ahli berjalan sesuai dengan jenjang usia. Tahap-tahap perkembangan psikologis atau kejiawaan itu bertahap.Â
Dalam salah satu tahap yang penting itu usia pubertas, yang sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Jika gagal dalam menjalani masa ini, orang bisa kacau dalam orientasi seksual, tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan lain-lain.
Salah satu ciri usia ini adalah tokoh idola. Kecenderungan anak perempuan akan memiliki tokoh idola dari dalam rumah atau domestik.Â
Biasanya lawan jenis, bapak, paman, atau orang terdekat yang sangat mempengaruhi. Konteks ini bukan mengenai asmara. Berbeda dengan anak laik-laki yang biasanya mengidolakan toh-tokoh heroik di luar lingkungannya. Bisa saja khayalan seperti superman, atau pahlawan, tokoh-tokoh besar.
Tokoh idola ini akan membuat anak berkembang dengan menjadikan idolanya tersebut sebagai panduan, inspirasi, dan pada awal-awalnya akan menjiplak apapun yang dilakukan.Â
Perkembangan selanjutnya, tidak meniru secara fisik, perilaku lahir, namun lebih gaya hidup dan hal-hal yang lebih mendalam.
Berkaiatan dengan tokoh idola ini, menarik jika melihat apa yang dilakukan salah satu capres, Prabowo.Â
Bagaimana dalam dua kali kontestasi menjadi calon presiden, ternyata mengidentikan diri dengan dua tokoh yang berbeda. Satu tokoh dalam negeri, satunya dari negeri adi daya.
Prabowo dan Sukarno Kecil, pilpres 2014
Permadi, tokoh politik senior memberikan julukan untuk Prabowo sebagai Sukarno Kecil. Tidak heran dalam kampanye 2014 banyak kata-kata Sukarno dipakai dalam spanduk, banner, dan kini hal itu menjadi bertolak belakang.Â
Salah satu yang saya ingat, Inggris dilinggis, Amerika disetrika, itu kata-kata Bung Karno untuk menggelora semangat bangsa menghadapi imperialisme kala itu. Apa relevan dengan kondisi kini?
Pakaian Bung Karno, cara berpidato yang berapi-api, bahkan corong atau mikrofon pun memilih yang era itu. Apa lagi-lagi itu relevan dengan kekinian, ini soal cara, pakaian, dan alat, bukan soal pemikiran dan kualitas pribadi.
Prabowo dan Donald Trump
Perubahan tokoh idola, mengindentikan dengan pendekatan dan jargon, namun lagi-lagi bukan mengenai kualitas pribadi yang mengembangkan bangsa dan negara.Â
Yang terbesar dan paling jelas adalah mengambil tema kampanye, Make Indonesia Great Again, yang jelas indentik dengan apa yang dikampanyekan oleh Trump dengan Make Amerika Great Again.Â
Melihat gelombang penolakan dan kondisi Amerika yang kacau, apa yang diambil Prabowo jelas menggambarkan pribadi yang labil.Â
Belum mampu menampilkan diri apa adanya. Kepribadian orang yang sudah dewasa. Susah melihat prestasi Trump selaku pemimpin negara, apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan Amerika di kancah internasional.
Perselisihan dengan berbagai kepala negara, ide dan wacana pembuatan  tembok pemisah dan akhirnya juga terealisasi, gagasan yang lebih dominan memberikan kecemasan dan ketakutan. Sikap saling curiga satu sama lain. Apakah itu yang hendak  juga diadopsi oleh Prabowo untuk bangsa ini?
Apakah berlebihan jika curiga apa yang terjadi di Amerika itu juga kejadian jika Prabowo menang. Salah satu upaya merebut kemenangan Trump dari Hilarry adalah menebar ketakutan. Trik yang sama diciptakan dalam pilkada DKI Jakarta, siapa pelakunya, jelas sama. Kebersamaan antara DKI dengan koalisi di 2019 identik.
Model fasis yang menggunakan segala cara demi kemenangan jelas terpampang dengan jelas di depan mata. Hampir saja terjadi ketika kisah RS sempat membesar, untuk polisi sigap dan bisa mengatasi dengan baik. Pun begitu masih juga upaya ngeles ke mana-mana masih dilakukan.
Malah jadi bertanya-tanya, jangan-jangan jika menang ataupun kalah, 2024 nanti Prabowo akan menampilkan citra diri sebagai Jokowi. Cara  bicara, blusukan, dan merakyat, serta sederhana. jika itu terjadi, tentu akan heboh dan menarik.
Mengidolakan tokoh besar itu sah-sah saja. Boleh dan wajar, namun hingga usai ABG, jika memasuki usia remaja akhir dan dewasa awal, tokoh idola bukan lagi akan ditiru apalagi duplikasi dalam hal penampilan, dandanan, perilakunya, namun kualitas hidupnya, pemikiran besarnya, tidak lagi pakaian.
Jika orang tua kog masih duplikasi pakaian dan penampilan tokoh idola, apa iya model demikian itu dewasa dan matang secara psikologis? Jelas tidak, kanak-kanak. Kedewasaan dan kematangan jelas belum bisa diharapkan. Tanda-tanda belum matang jelas nampak dalam beberapa hal
Emosional. Lihat bagaimana dalam menyikapi peristiwa, kejadian, isu, lebih cenderung grusa-grusu, pokoknya bertindak soal konsekuensi nanti dulu. Marah ketika kehendaknya terhalang.Â
Beberapa kali hal itu keluar seolah anak baru gede yang ditolak cintanya. Dalam mengeluarkan pernyataan juga cenderung tendensius dan lepas konteks namun dipaksakan. Orang dewasa tidak demikian, lebih bijak dan berimbang.
Bertindak dan bersikap tanpa pertimbangan matang. Ini bukan semata emosional saja, namun juga menunjukkan sikap tidak dewasa.Â
Orang yang dewasa akan menimbang dengan masak baru berbuat dan mengatakan. Tidak akan mengatakan atau berbuat dan baru berpikir setelah heboh dan ramai.
Sikap bertanggung jawab. Jelas sangat lemah, wajar jika masih  anak-anak, karena memang belum bisa diharapkan pertanggungjawaban moral, namun pribadi dewasa akan menyertakan itu sebagai konsekuensi atas pilihan.Â
Menebarkan kebohongan, kepalsuan, dan hoax namun pura-pura tidak bersalah, merasa benar, dan menuding pihak lain sebagai biang keladi.
Menebar kecemasan, ketakutan, dan sikap saling curiga. Rekam jejaknya susah untuk meyakini apa yang diucapkan itu keluar dari nuraninya. Kepentingan lebih kuat dan itu didukung oleh lingkarannya yang memang lebih kuat memberikan gambaran tersebut.Â
Membesar-besarkan masalah kecil ketika berkaitan dengan rival, namun mengerdilkan persoalan besar jika itu berkaitan dengan kelompok sendiri. Lihat bagaimana mereka hendak mereduksi kasus RS sebagai sebuah kekhilafan dan soal peluru di gedung DPR hingga adanya permintaan kaca antipeluru.
Megalomania. Gambaran diri besar, merasa diri sebagai yang besar. Selain kelainan, ini juga milik anak-anak. Bagaimana anak-anak akan menggambarkan dirinya adalah sangat besar, mampu ini dan itu, namun masih sebatas angan dan bukan faktual.
Menggunakan segala cara demi kemenangan dan kekuasaan semata-mata. Esensi berpolitik sejatinya adalah membangun bangsa ini menjadi lebih baik.Â
Pemberian  diri bagi bangsa dan negara, bukan malah mengeruk kekayaan negeri bagi kepentingan sendiri dan kelompok. Tidak kaget, jika fitnah, merusak persepsi, dan kebohongan, serta kepalsuan menjadi senjata untuk meraih kemenangan.
Berkaitan dengan menggunakan segala cara ini, kita bisa bercermin dari katak dan kepiting. Bagaimana perilaku kedua binatang tersebut di dalam mempertahankan hidupnya. Jelas manusia bukan hewan, namun perilaku mereka itu bisa menjadi cerminan kita.
Katak, akan menjilat ke atas. Bagaimana mereka berlaku dalam  mencari makan. Dan tega untuk menginjak apa yang ada di bawahnya untuk mereka bisa leluasa membebaskan diri. Tega atas anak buah, rekan yang lemah dan tersudut.
Kepiting, kebiasaan untuk menekan rekan-rekannya yang lemah, tega untuk menarik yang sudah hampir bisa menyelamatkan diri, dan tidak akan mengingat rekannya yang menjadi korban dan tumbalnya. Fokusnya adalah kesalamatan diri sendiri.
Apakah model pemimpin demikian bisa menjadi rujukan untuk  menjadi kepala negara?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H