Kasus pagar laut di Tangerang telah menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan sengit. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, kasus ini mengungkap potensi ancaman serius terhadap kedaulatan negara.
Pembangunan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang ini menyimpan banyak misteri. Siapa dalang di balik proyek masif ini? Mengapa pemerintah seolah-olah tidak tahu menahu tentang keberadaan pagar laut tersebut?
Kronologi Ringkas Kasus Pagar Laut Tangerang
Kasus pagar laut di Tangerang mencuat ke publik pada pertengahan tahun 2024. Pagar bambu yang membentang di sepanjang pesisir Kabupaten Tangerang ini dilaporkan telah merugikan nelayan setempat karena membatasi akses mereka ke laut.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyelidiki klaim Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengaku telah membangun pagar tersebut. KKP juga menyelidiki kelompok lain yang mungkin terlibat. Menteri KKP, Wahyu Sakti Trenggono, kemudian memerintahkan penyegelan pagar laut dan menyatakan bahwa pembangunannya tidak berizin.
TNI AL, atas perintah Presiden Prabowo Subianto, akhirnya turun tangan membongkar pagar bambu tersebut pada Januari 2025. Namun, pembongkaran ini sempat tertunda karena adanya koordinasi antara TNI AL dan KKP. Polemik ini berlanjut dengan gugatan praperadilan terhadap KKP oleh Boyamin Saiman dkk. yang mempertanyakan tindakan KKP yang tidak kunjung menetapkan tersangka dan dianggap mengulur waktu.
Identitas pelaku utama atau dalang di balik pembangunan pagar laut ini masih menjadi misteri. Meskipun beberapa nama perusahaan dan individu telah disebut-sebut, belum ada bukti konkret yang mengarah pada dalang sebenarnya.
Analisis Peraturan dan Perundang-undangan
Pembangunan pagar laut di Tangerang telah melanggar sejumlah peraturan dan perundang-undangan terkait kepemilikan lahan di pesisir dan laut.
Beberapa peraturan yang dilanggar antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam di dalamnya.
Pembangunan pagar laut melanggar ketentuan tentang pemanfaatan ruang laut dan perlindungan ekosistem pesisir.
2. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai
Menetapkan batas sempadan pantai yang harus dijaga dan tidak boleh dialihfungsikan.
Pagar laut dibangun di area sempadan pantai yang seharusnya dilindungi.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
Mengatur tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara, termasuk di wilayah pesisir.
Pemberian HGB di atas lahan yang dipagari diduga melanggar peraturan ini.
4. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir
Memberikan pedoman dalam penataan pertanahan di wilayah pesisir, termasuk pemberian hak atas tanah.
Pembangunan pagar laut tidak sesuai dengan pedoman penataan pertanahan di wilayah pesisir.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010
Membatalkan konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang memungkinkan swasta menguasai wilayah pesisir.
Pemberian HGB di atas perairan laut bertentangan dengan putusan MK ini.
Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan di wilayah pesisir. Individu atau entitas yang terbukti melanggar peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pencabutan izin dan denda, bahkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kasus Serupa di Indonesia
Kasus pagar laut di Tangerang bukanlah kasus pertama di Indonesia. Beberapa kasus serupa, di mana pelaku utama di balik pelanggaran sulit diidentifikasi, juga pernah terjadi. KKP sendiri menyatakan bahwa pelanggaran seperti pemagaran laut ini bukan yang pertama kali ditemukan.
Contoh kasus serupa:
1. HGB di Perairan Surabaya: Sebuah lahan seluas 656 hektar di perairan Surabaya terdaftar sebagai HGB, memicu kekhawatiran akan terulangnya kasus pagar laut Tangerang.
2. Reklamasi Teluk Benoa, Bali: Proyek reklamasi ini menuai kontroversi dan penolakan dari masyarakat karena dianggap merusak lingkungan dan merugikan nelayan.
3. Reklamasi Teluk Jakarta: Proyek reklamasi yang juga memicu kontroversi karena dampaknya terhadap lingkungan dan nelayan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya pola pelanggaran di wilayah pesisir yang melibatkan pengusaha dan potentially oknum pejabat.
"Negara dalam Negara": Ancaman Kedaulatan
Ketidakjelasan mengenai dalang di balik kasus pagar laut Tangerang menimbulkan pertanyaan serius tentang keberadaan "negara dalam negara".
Istilah "negara dalam negara" mengacu pada situasi di mana individu atau kelompok tertentu memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar, sehingga mampu beroperasi di luar kendali negara. Mereka memiliki otonomi dan kekuatan yang memungkinkan mereka untuk bertindak independen, bahkan melanggar hukum dan aturan yang berlaku, tanpa takut akan konsekuensi.
Dalam konteks kasus pagar laut Tangerang, "negara dalam negara" terlihat dari kemampuan pelaku untuk:
a. Menguasai wilayah pesisir secara ilegal: Membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tanpa izin dan sepengetahuan pemerintah.
b. Mengabaikan hukum dan peraturan: Melanggar berbagai peraturan terkait kepemilikan lahan di pesisir dan laut.
c. Menghindari identifikasi dan penindakan: Menghilangkan jejak dan menyembunyikan identitas pelaku utama.
Keberadaan "negara dalam negara" ini merupakan ancaman serius bagi kedaulatan negara karena:
1. Merongrong kewibawaan negara: Negara tidak mampu mengontrol dan menegakkan hukum di wilayahnya sendiri.
2. Melemahkan sistem hukum: Hukum dan peraturan tidak dipatuhi dan ditegakkan.
3. Menciptakan ketidakadilan: Masyarakat, khususnya nelayan, dirugikan oleh tindakan sepihak dari individu atau kelompok yang berkuasa.
PENUTUP
Kasus pagar laut di Tangerang bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Misteri di balik kasus ini mengungkap potensi ancaman serius terhadap kedaulatan negara, yaitu keberadaan "negara dalam negara".
Ketidakmampuan pemerintah untuk mengidentifikasi dan menindak pelaku utama menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan.
Oleh karena itu, pengungkapan dalang di balik kasus pagar laut Tangerang menjadi sangat penting untuk menjaga kedaulatan negara, menegakkan hukum, dan melindungi kepentingan negara.
Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk:
a. Mengusut tuntas kasus ini dan mengungkap pelaku utama.
b. Memperkuat penegakan hukum dan pengawasan di wilayah pesisir.
c. Mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Rekomendasi untuk berbagai pihak:
Pemerintah: Melakukan investigasi yang menyeluruh dan transparan, menindak tegas pelaku pelanggaran, dan memperkuat koordinasi antar instansi terkait.
Lembaga Penegak Hukum: Menjalankan proses hukum secara adil dan profesional, memastikan pelaku pelanggaran hukum dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat Sipil: Aktif mengawasi dan melaporkan pelanggaran di wilayah pesisir, serta mendukung upaya penegakan hukum.
Media Massa: Memberikan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik, serta melakukan investigasi jurnalistik untuk mengungkap fakta-fakta terkait kasus ini.
Masyarakat: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian wilayah pesisir dan melawan segala bentuk pelanggaran hukum.
Hanya dengan tindakan tegas dan komitmen yang kuat dari semua pihak, kedaulatan negara dapat dijaga dan masyarakat dapat terlindungi dari ancaman "negara dalam negara".
#PagarLautTangerang
#KedaulatanNegara
#NegaraDalamNegara
#HukumHarusTegak
#ReformasiAgraria
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H