Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Konten Lokal SSJ Televisi Nasional Ditonton "Hantu"?

15 Desember 2020   21:46 Diperbarui: 19 Desember 2020   01:02 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana di ruang kontrol (master control) salah satu stasiun televisi (foto: FOX Business Network's control room via wikipedia)

BETAPA mubazir, berjibaku memproduksi program lokal dari stasiun televisi nasional, tapi sangat minim pemirsanya. Slot tayangnya antara jam 02.00-04.00, alias pada jam-jam hantu.

Produksi program lokal oleh stasiun televisi nasional atau dikenal dengan nama Sistem Siaran Jaringan (SSJ), diprakarsai oleh Viva Group lewat Anteve untuk program jenis feature bertajuk Panorama pada 2017. 

Beberapa bulan kemudian, Tv One, masih dari grup Viva, latah membesut program Apa Kabar dalam bentuk talkshow lokal, yang disesuaikan dengan nama ibu kota provinsi. Misalnya, Apa Kabar Padang, Apa Kabar Medan, Apa Kabar Manado, Apa Kabar Palu, atau Apa Kabar Makassar.

Pihak PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek) pun tak mau kalah. Beberapa bulan kemudian, masih pada tahun yang sama, di sejumlah provinsi yang memiliki stasiun lokalnya, semisal di Pangkalpinang, Ibu Kota Provinsi Bangka Belitung, muncul Galeri Nusantara. Inilah program feature alias non-news sehingga tidak menganggu kinerja dan 'jatah' kalangan koresponden atau stringer di daerah. 

Pembesutan program siaran lokal dari stasiun televisi nasional ini, persentasenya adalah 10 persen dari total siaran televisi nasional di suatu provinsi, di mana stasiun televisi ini mengantungi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) di wilayah terkait.

SSJ merupakan kewajiban penyelenggara penyiaran nasional, sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 6 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Perintah tentang SSJ siaran stasiun televisi nasional -yang merupakan wujud dari desentralisasi penyiaran yang menjadi mandat regulasi penyiaran- diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50/2005 dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 43/2009.   

Aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sistem penyiaran yang tak lagi sentralistik, namun desentralisasi, di mana siaran televisi yang dipancarkan dari stasiun induk di Jakarta, dapat diterima di daerah dengan cara berjaringan bersama stasiun lokal. 

Stasiun televisi lokal ini, sebagian besar adalah stasiun televisi independen milik warga lokal yang diakuisisi, alias dibeli sahamnya oleh stasiun televisi nasional. Misalnya, Kompas TV mengaukusisi Pacific Tv di Manado, Sulawesi Utara menjadi Kompas Tv Manado, atau Net Tv mengakusisi Manado Televisi menjadi Net Tv Manado.

Dengan SSJ, sesuai UU Penyiaran, maka demokratisasi dan desentralisasi penyiaran dimulai melalui pemerataan kepemilikan (diversity of ownership) dan pemerataan informasi (diversity of content). 

Menyitir pernyataan Ade Armando, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (sebagaimana termuat dalam situs Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri dari arsip perpustakaan DPR RI), perbedaan sistem penyiaran berjaringan dengan sistem penyiaran sentralistis, adalah kewenangan masyarakat untuk memilih.

Sedangkan dalam sistem sentralistis, stasiun televisi Jakarta akan mengirimkan dan memaksakan masyarakat di luar Jakarta dengan isi siaran, yang sepenuhnya didikte dari Jakarta. 

Dalam sistem berjaringan, masyarakat bisa memilih untuk meminta stasiun televisi menampilkan materi sesuai kebutuhan setempat, serta menolak jika ada siaran yang bertentangan dengan budaya setempat.

Memang, sebagaimana dilansir situs KPI, pemenuhan infrastruktur dan penyediaan konten lokal sebanyak 10 persen dalam SSJ lembaga penyiaran nasional, ternyata  belum optimal, alias belum sepenuhnya terealisasi. Untuk menggenjot pemenuhan kedua aspek itu, pihak KPI terus melakukan evaluasi yang mendalam.

Di Indonesia, stasiun televisi nasional yang serius dan tidak main-main dalam menaati UU Penyiaran, adalah pihak Kompas Tv dan INews. Terbukti, mereka tidak tanggung-tanggung: mendirikan stasiun televisi lokal  di daerah-daerah, kendati lebih banyak program rilei dari pusat ketimbang lokal. 

Bandingkan dengan stasiun-stasiun televisi nasional besar lainnya, yang 'merasa cukup' menggunakan jasa rumah produksi dalam membuat konten SSJ lokal. Artinya, bukan benar-benar membuat stasiun televisi lokal.  

Wacana tentang SSJ sendiri muncul pada awal dekade 2000-an. Kemudian pada 2013, Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Bali dengan lembaga-lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), di mana pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merekomendasikan waktu pada lembaga penyiaran yang melakukan siaran secara berjaringan, untuk memenuhi perintah regulasi atas konten lokal sebesar 10 persen. Durasinya rata-rata 30 menit per episode setiap program.

SSJ sesuai perintah UU Penyiaran, diproduksi oleh mitra stasiun televisi nasional, yakni rumah produksi lokal. Dengan demikian, SSJ menjadi peluang bagi industri terkait di tingkat lokal dan juga sumber daya manusia (SDM) setempat. Dan, lebih menggembirakan lagi bagi SDM penyiaran lokal, persentase 10 persen ini ditengarai bakal naik, menjadi 20 persen pada tahun 2021.

Kini pemerintah sedang menggodok regulasi atau aturan baru, perihal industri penyiaran dalam negeri. Regulasi baru tersebut, merupakan langkah penyesuaian dari salah satu opsi pemerintah mengenai aturan baru tersebut. 

Dengan kata lain, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) atau stasiun televisi swasta akan diwajibkan menayangkan 20 persen konten lokal dari total jam tayang per hari yang sebelumnya hanya 10 persen.

Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ahmad M Ramli, sebagaimana dilansir dari situs KPI, menyebutkan bahwa opsi tersebut masih relevan diterapkan oleh setiap LPS. Namun dalam pertemuan dengan pemerintah ini, opsi menaikkan persentase SSJ tersebut, tidak disetujui oleh Ketua ATVSI, Syafril Nasution.

Nasution berdalih, persentase 20 persen itu tidak relevan karena sangat merugikan pihak LPS. Menurutnya, persoalan dari konten lokal adalah materinya. 

Sebab, materi konten lokal tidak mampu menarik pengiklan. "Iklan itu tergantung dari konten tadi, itu kan timbul atau didapatkan dari konten. Kalau memang ada pemain baru atau pemain yang ada memiliki konten tidak menarik, iklan juga 'nggak' ini," ujarnya.

Hanya Program 'Basa-basi'

Opsi pemerintah mengusulkan kenaikan persentase SSJ dari 10 ke 20 persen dari total siaran suatu stasiun televisi nasional ini, terkait dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law khususnya untuk industri penyiaran di Indonesia. Kabar ini, sangat menggembirakan kalangan rumah produksi.

Namun permasalahan sekarang, menurut kalangan pemain SSJ yang dihubungi terpisah, bukan hanya naik atau tidak persentase konten lokal. Masalahnya, tetap saja slot tayang program lokal ini adalah pada jam-jam hantu. Slot-slot ini berlakukan pada jam-jam manusia normal lagi bermimpi alias tertidur pulas.

Jika pun stasiun televisi nasional belum memberlakukan SSJ, maka siarannya pada jam-jam itu bakal diisi dengan siaran-siaran, yang gambar (stockshot)-nya, dimutilasi dari Youtube. Hanya naskah yang ditulis sendiri dan juga narasinya. Tinggal mencari topik apa saja yang diinginkan dengan mengandalkan mesin pencari Google. 

Membuat program yang unik-unik, semisal rumah berhantu di dunia, tinggal ketik kata kunci 'rumah berhantu', maka akan muncul cerita terkait di Google. 

Tinggal naskahnya 'diotak-atik sedikit' kemudian disesuaikan dengan video dari Youtube, diisi narasi, diedit, kemudian ditayangkan. Program semacam ini sifatnya non-budget lantaran sekadar mengisi slot atau menambah durasi, serta kurang diminati oleh pengiklan

Andaikan toh suatu stasiun televisi nasional memberlakukan SSJ, maka pasti pihak rumah produksi selaku mitranya, mengelus dada. Bayangkan, sudah capek-capek memproduksi, bahkan masuk-keluar hutan, toh saat tayang, hanya ditonton oleh 'hantu'. 

Jika koresponden atau stringer stasiun televisi nasional cukup syuting dan bikin naskah berita kemudian diedit di Jakarta, maka beda dengan cara kerja rumah produksi dalam membesut program SSJ. 

Betapa tidak, rumah produksi sendiri yang mencari kru baik jurukamera, editor, atau presenter. Setelah selesai diproduksi alias diedit,  masih harus dikirim lagi ke Jakarta untuk di-'preview'. 

Jika gambar agak buram narasinya, agak nggak nyambung antara narasi dan stockshot misalnya, maka urusannya bisa repot. Disuruh produksi ulang, walaupun hanya untuk beberapa scene. Setelah dianggap layak, barulah dikirim ke sasiun lokalnya untuk disiarkan.

Kalangan komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di mana sebuah stasiun televisi nasional di wilayahnya  mengantungi IPP lokal, umumnya tidak memiliki inisiatif  untuk membangkitkan kebanggaan akan daerah sendiri. 

"Tidak ada pressure dari mereka ke pihak stasiun televisi nasional, agar konten lokal ditayangkan pada jam 'normal', walaupun tentunya juga  tidak harus pada jam-jam utama (prime time)," kata Cornelis Oktaf, produser SSJ dari sebuah rumah produksi.

Jam-jam 'mustahil iklan' alias 'jam-jam hantu' ini, berubah jadi 'prime time' ketika tiba Bulan Suci Ramadan. Jam-jam dini hari hingga jelang subuh alias menjelang dan selama sahur, berubah jadi 'prime time'. Dan, selama ramadan pula, SSJ ditiadakan, diganti dengan progam nasional, yang 'slot'-nya digeser ke jam-jam tersebut.

KPID sendiri, masih menurut saran dari sejumlah pengelola rumah produksi, seharusnya memediasi pihaknya dengan LPS nasional, terkait peluang diberi kepercayaan mencari  iklan untuk siaran lokal. 

Artinya, 'break' tayangan program, tak hanya diisi dengan promo-promo program dari stasiun televisi nasional yang bersangkutan. Sebab, kewajiban terkait SSJ sesuai UU Penyiaran, pada dasarnya juga untuk memberi peluang hidup bagi pihak lokal yang berkecimpung di industri penyiaran. 

Alih-alih ditayangkan di stasiun televisi nasional (walaupun sebenarnya 'hanya' SSJ), setidaknya konten lokal sanggup bernilai jual dalam menggaet iklan lokal.

Toh menurut Oktaf, semua itu merupakan tugas KPID. Sebab, KPID  merupakan lembaga negara independen, yang dibentuk melalui UU Nomer 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tujuannya, mengatur segala hal mengenai penyiaran di Indonesia.  "Gaji mereka 'gede', dan tidak sedikit masih bekerja di tempat lain. 

Padahal tugas mereka berat, walaupun memang, yang terpilih menjadi komisioner di KPID, rata-rata bukan dari latar belakang dunia 'broadcast'. Tugas dan kewajiban mereka, antara lain, membantu pengaturan infrastruktur di bidang penyiaran; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang; menampung, meneliti dan menindak lanjut aduan, sanggahan serta kritikan dan apresiasi masyarakat.

KPID juga bertugas menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalisme di bidang penyiaran.

Bagi kalangan rumah produksi, betapa bangganya jika hasil kerja keras mereka bisa disaksikan masyarakat, walaupun honor per kontraknya, memprihatinkan. 

Lebih ironis lagi, tak sedikit program yang sudah ditayangkan setahun-dua tahun bahkan lebih, kembali 'on air' di siaran lokal. Episode tentang sebuah rumah makan di suatu daerah, masih saja 'nongol' di layar kaca dalam SSJ, padahal sudah lawas. Bahkan sering terjadi dalam program kuliner yang 'rerun',  rumah makan yang disyuting semisal tahun 2014, sudah tidak ada lagi saat ditayangkan (lagi)  pada 2016.

Selain itu, kualitas konten lokal buatan orang daerah tak seharusnya dilihat  sebelah mata, sebagaimana pernyataan 'tidak laku untuk iklan'. Paling tidak, kualitas kru lokal, semisal mengedit dan membuat animasi, mulai bersaing dengan 'made in Jakarta'. Padahal mereka berproduksi dengan dana yang  serba minimalis.  

Karena itu, 'talkshow' misalnya, kerap disyuting dengan dua kamera. Ketika audio kamera tak memiliki 'port' kabel 'mic', bisa disiasati dengan menggunakan perekam di ponsel.                                                                        

Beginilah  paling tidak, 'akal-akalan' dalam memproduksi konten lokal karena kecilnya honor pembuatan SSJ. "Rata-rata Rp 1,5 juta per episode berdurasi total 24 menit. 

Angka ini harus dibagi lagi oleh rumah produksi buat membayar editor, jurukamera, presenter, atau transportasi, uang makan, 'de el el'. Jadi, janganlah menuntut kualitasnya harus standar sebagaimana produksi kru televisi pusat yang ada dana produksi dari stasiun televisi tempat mereka kerja," tambah Oktaf.

Namun, tak semua daerah minus SDM di bidang penyiaran. Di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau misalnya, terdapat Infinite Studios di kawasan Nongsa Destination. 

Di studio film skala internasional ini, digarap film-film berteknik animasi dengan teknologi tiga dimensi. Di antaranya, Joker Game (2015) di mana penonton seolah terbawa ke masa lampau karena kualitas 'setting' dan animasi dari  film 'buatan lokal' Batam ini. Pun aksi baku tembak di kawasan pecinan dalam film Blackhat (2015). 

Jadi, tak seharusnya konten lokal SSJ di semua daerah disamaratakan sebagai tidak bermutu. Menurut kalangan rumah produksi, SSJ cenderung hanya sebagai program 'basa-basi' alias 'yang penting ada' oleh stasiun televisi nasional ketimbang IPP-nya dicabut oleh pihak Kominfo RI.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun