Saat itu, saya memberikan banyak kesempatan untuk teman yang sangat pendiam untuk berbicara. Jika satu berbicara yang lain mendengarkan dan menyamakan frekuensi. Tidak ada istilah saling rebutan pembicaraan, memotong pembicaraan bahkan sempat menghakimi.Â
Ketika mendengar, buang campur tangan pikiran untuk menilai, fokuskan pandangan pada segitiga pada kening bukan pada mata lawan bicara.
Manusia diberi 2 telinga untuk mendengar dan 1 mulut untuk berbicara.
Mendengarkan secara historis dan konseptual telah menjadi seni yang terlupakan dalam proses komunikasi yang masuk akal.
Mengapa banyak bicara sedikit mendengar?
Pertama, tradisi komunikasi barat, berbicara adalah hal yang paling ditekankan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, berbicara lebih mencolok dibanding mendengar.Â
Kedua, berbicara dapat diterjemahkan dalam bentuk tekstual dan kontekstual yang menunjang kebermanfaatan lain.Â
Seperti dosen dan guru yang mengajar, ucapannya bisa diterjemahkan dalam bentuk tugas bagi mahasiswa.Â
Ketiga, mendengarkan merupakan dimensi reseptif yang melibatkan bagaimana cara pikiran menafsirkan pesan yang disampaikan.
Dewasa ini, dimensi mendengar dan berbicara integral dalam proses komunikasi utamanya penafsiran. Mendengarkan dan berbicara merupakan proses berkesinambungan dalam intersubjektivitas manusia.Â