Bicara masalah rasa memang tak cukup hanya dirasa-rasa. Terkadang "rasa" perlu diterjemahkan dalam kata bahkan mencari orang yang tepat untuk sekedar didengar.Â
Menumpahkan emosi positif dan negatif yang memunculkan ripple effect. Menerima beasiswa pendidikan, dengan bahagia menceritakan pada orang terdekat.Â
Mendapat rezeki yang melimpah, berbagi pada orang terkasih. Sedang bersedih karena dihina, putus cinta, dikhianati curhat kepada teman berharap tumpah ruah rasanya menjadi lega.
Sayangnya, setelah bercerita bukannya lega malah penghakiman baik disengaja maupun tidak disengaja. Mungkin teman yang diajak curhat tidak ada maksud menghakimi tapi cara penyampaian dan interprestasi pikiran berbeda-beda. Bisa jadi orang yang curhat dan dicurhati salah penafsiran.Â
Akhirnya bukan kenyamanan malah uncomfortable nambah stres. Beda kepala, beda pemikiran. Malah terkadang dilahirkan dari rahim yang sama, tetap ada perbedaan.Â
Si kembar identik yang sama, tetap ada perbedaan pemikiran. Bagaimana caranya ketika menyimak tak kan melibatkan etnosentrisme dan egosentris? Gampang! Begini caranya :
1. Beri Ruang Orang Lain Untuk Bicara
Saya memiliki teman yang sangat sangat sangat pendiam. Inisial namanya YA. Ia cenderung orang yang kurang ekspresif tapi pintar dan cerdas. Mukanya flat saja, bahagia dan sedih ya begitu-begitu saja. Sampai-sampai teman sekantor kurang bisa memprediksi apa yang sedang dia rasakan.Â
Bahkan dikagetkan saja, ia hanya diam tidak teriak atau menunjukkan ekspresi apapun. Sumpah, mempunyai teman seperti ini memang ngeri-ngeri sedap. Saya belajar berhati-hati untuk berbicara, mengekspresikan sesuatu dan tidak sembarangan curhat ke orang.
Belakangan ini, kami sering terlibat dalam karya-karya tulisan, keuangan dan perpajakan. Bahkan beberapa ide tulisan saya tentang PPN, Machiavelli dan lain sebagainya berasal dari dia. Akhir-akhir ini ia ditugasi dengan projek pelaporan SPT tahunan beberapa grup perusahaan.
Entah ada angin badai atau angin topan dari mana, tiba-tiba dia datang ke ruangan kerja saya, mengajak pulang bersama, makan bareng dan lain-lain. Sewajarnya interaksi dengan teman yang lain, ia bercerita tentang kehidupan pribadi sampai keluhan tentang pekerjaan. Sampai-sampai saya juga heran, ternyata bisa ngomong ya orang ini.
Saat itu, saya memberikan banyak kesempatan untuk teman yang sangat pendiam untuk berbicara. Jika satu berbicara yang lain mendengarkan dan menyamakan frekuensi. Tidak ada istilah saling rebutan pembicaraan, memotong pembicaraan bahkan sempat menghakimi.Â
Ketika mendengar, buang campur tangan pikiran untuk menilai, fokuskan pandangan pada segitiga pada kening bukan pada mata lawan bicara.
Manusia diberi 2 telinga untuk mendengar dan 1 mulut untuk berbicara.
Mendengarkan secara historis dan konseptual telah menjadi seni yang terlupakan dalam proses komunikasi yang masuk akal.
Mengapa banyak bicara sedikit mendengar?
Pertama, tradisi komunikasi barat, berbicara adalah hal yang paling ditekankan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, berbicara lebih mencolok dibanding mendengar.Â
Kedua, berbicara dapat diterjemahkan dalam bentuk tekstual dan kontekstual yang menunjang kebermanfaatan lain.Â
Seperti dosen dan guru yang mengajar, ucapannya bisa diterjemahkan dalam bentuk tugas bagi mahasiswa.Â
Ketiga, mendengarkan merupakan dimensi reseptif yang melibatkan bagaimana cara pikiran menafsirkan pesan yang disampaikan.
Dewasa ini, dimensi mendengar dan berbicara integral dalam proses komunikasi utamanya penafsiran. Mendengarkan dan berbicara merupakan proses berkesinambungan dalam intersubjektivitas manusia.Â
Tanpa proses mendengar dan memahami informasi dari luar, besar kemungkinan terjadi distorsi. Penafsiran yang kurang baik saat mendengar, menyebabkan breakdown communication saat berbicara.
2. Jangan Menarik Kesimpulan Sendiri dan Cepat Menarik Kesimpulan
Setelah mendengarkan dengan seksama, jangan serta merta menarik kesimpulan sendiri. Fakta sepenggal tak kan menghasilkan informasi yang integral. Menjadi seorang pendengar yang baik harus mengesampingkan bias pikiran dan prasangka didalam diri.Â
Godaan inilah yang paling sulit di atas oleh sebagian besar listener. Mengetahui busuk dan boroknya orang lain akan memunculkan sikap paling benar sendiri dan kehidupan orang lain paling salah.Â
Saat mendengar ada baiknya untuk tidak melibatkan kendali pikiran dan berbicara di dalam hati untuk memastikan diri hadir bersama si pembicara.
Salah satu cara untuk tidak memihak, menghakimi dan menarik kesimpulan sendiri adalah mendengar dengan empati. Hal ini bertujuan untuk memasuki pola pikir si pembicara dan pemahaman yang lebih baik.Â
Berempati bukan perkara setuju atau tidak setuju terhadap pandangan orang lain. Empati itu berusaha mengetahui apa yang sedang dirasakan melalui sudut pandang orang yang merasakan.
Mendengar dengan empati akan membuat orang merasa nyaman untuk bercerita bahkan tanpa ditutup-tutupi. Berbeda dengan ilustrasi contoh seperti ini:
"Saya kemarin menang lomba menulis. Itu pertama kalinya aku merasakan kemenangan dalam hidupku".
"Sama, kemarin aku juga menang. Setelah itu, pialanya juga cuma jadi pajangan aja".
Dari ilustrasi ini, menandakan jika si pendengar hanya fokus pada diri sendiri dan bukan orang sedang berempati.Â
Setelah itu, interaksi akan terhenti karena merasa tidak dihargai. Proses menyimak tanpa menghakimi ini jelas berisiko. Tidak ada jaminan manusia tidak akan berubah.
Pendengar yang memiliki empati dan tulus akan lebih mampu mengendalikan diri untuk mengevaluasi atau mengkritik orang yang sedang berbicara. Di sinilah tantangan masuk dalam ranah masalah pribadi tanpa bermaksud menghakimi.
Dengan dalih tidak ingin terpengaruh oleh si lawan bicara, akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Contoh sederhana seperti ini, menyalahkan orang lain karena teledor menaruh kunci mobil.Â
Berdasarkan fakta sepenggal orang tersebut pernah menghilangkan kuncinya, lalu memarahi orang lain. Setelah dicari-cari dengan seksama, ternyata kunci itu ada di kantong celananya sendiri.
Tentunya hal seperti akan membuat tidak nyaman. Bukan berfokus pada penyelesaian masalah, malahan menghakimi dan jadi ribut dengan sanak keluarga.
Untuk menghindari menarik kesimpulan sendiri dan terlalu cepat, lakukan langkah berikut:
- Ketika diri sendiri menyadari sedang menarik kesimpulan sendiri, tahan sejenak, calm down, perhatikan lagi pada informasi yang disampaikan bukan pada "apa yang sedang diduga/prasangka sendiri"
- Lihat lagi kualitas informasi yang disampaikan
- Lebih baik memastikan daripada berasumsi atau berprasangka
- Gali informasi yang relevan sesuai dengan kondisi sebelum berbicara
3. Pastikan Kondisi Mereka Butuh Solusi atau Hanya Ingin Didengar Saja
Setelah menyimak begitu lama, tentu setiap perkataan menandakan adanya sinyal ingin didengar atau ingin minta solusi. Jika masih ragu, pastikan kembali dukungan apa yang dapat diberikan kepadanya. Jika sudah waktunya berbicara dan lawan bicara membutuhkan solusi, sampaikan dengan bahasa yang tidak menghakimi.Â
Sampaikan solusi seperti Anda sedang berada pada posisinya. Jadi, lawan bicara akan merasa sedang melakukan positive self talk dan merasa aman serta nyaman bersama Anda. Hindari penggunaan kalimat-kalimat:
"Seharusnya kamu bisa melakukannya" dengan "Ini pasti sulit bagi Anda"
Mendengarkan butuh seni dan peran yang cukup luwes, fleksibel dan hanya dapat dilakukan oleh orang luar biasa seperti kita semua.Â
Jakarta Selatan, 12 Mei 2022Â
Salam,Â
Sri PatmiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H