Mohon tunggu...
Evangeli
Evangeli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hiduplah sesuai dengan tujuan keberadaan kita yang sesungguhnya di dunia.

Hidupku memang belum sempurna, tetapi aku selalu berusaha untuk mengejar kesempurnaan itu. Peziarahan untuk meraih kesempurnaan adalah perjuangan kita seumur hidup.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus dan Penilaian Moral dalam Film "Eye in The Sky"

28 April 2021   10:33 Diperbarui: 28 April 2021   10:47 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Damian N. R.

I.               PENGANTAR

Berbuat atau bertindak merupakan ciri khas semua makhluk hidup salah satunya adalah manusia dan merupakan cetusan dirinya. Mengapa demikian? Karena suatu tindakan tersebut tidak hanya melukiskan eksistensi dirinya secara mendalam sebagai makhluk hidup (manusia) tetapi juga mencetuskan nilai-nilai manusiawi karena dalam bertindak memuat kriteria normatif tertentu. Tindakan manusia bukanlah suatu perbuatan tunggal melainkan kompleks.

Dalam dunia terbatas ini kerap kali manusia terbentur pada situasi-situasi yang membatasi kemungkinannya misalnya terjalinnya hal-hal positif dan negatif yang tak dapat dipisahkan. Pertanyaan moralnya adalah apakah kita boleh melakukan perbuatan yang seperti dan sejauh yang dapat kita lihat terlebih dahulu tidak hanya mempunyai akibat positif melainkan juga akibat negatif. Bila boleh, sejauh mana dapat dikatakan salah dan yang harus kita pertanggungjawabkan? Dalam tulisan ini akan menguraikan mengenai hal ini atau yang sering dikenal dengan kasus double effect dan juga the theory off double effect serta pemecahannya. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan diktat moral fundamental yang ditulis oleh Romo Piet Go, O.Carm dan buku "Filsafat Moral-Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia" yang ditulis oleh Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M. Hum, sebagai sumber utama atau sebagai bahan refrensi untuk analisis kasus dan penilaian moral tindakan pelaku dalam film "EYE IN THE SKY".                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     

II.              ISI

2.1.            SINOPSIS FILM EYE IN THE SKY

Di Nairobi, Kenya, seorang gadis kecil bernama Alia Mo'Allim sedang bermain di halaman belakang rumah. Ditempat lainnya, Dari markas Northwood, Kolonel Katherine Powell dari Angkatan Darat Inggris mendengar kabar bahwa seorang agen ganda, Inggris-Kenya, yang ditugaskan menyamar telah dibunuh kelompok teroris Al-Shabaab. Kolonel Katherine Powell, atas insiden ini kemudian mengambil komando untuk misi menangkap 3 dari 10 pemimpin Al Shabaab yang bertemu di tempat persembunyian mereka di Nairobi. Tim multinasional yang bekerja di misi penangkapan, dihubungkan bersama sistem video dan suara lewat drone atau pesawat tanpa awak. Misi yang semula adalah misi penangkapan ini segera menjadi misi untuk membunuh karena pada saat yang sama berkumpul beberapa tokoh penting teroris yang diketahui sedang mempersiapkan pengeboman bunuh diri. Untuk itu, disiapkanlah drone USAF MQ-9 Reaper yang dikendalikan satuan Creech Air Force Base di Nevada oleh Letnan Steve Watts. Selain itu, seorang agen lapangan Kenya yang menyamar, Jama Farah, memanfaatkan ornithopter jarak pendek dan kamera insectothopter yaitu drone berbentuk serangga untuk masuk ke rumah teroris dan menghubungkannya dengan pihak intelijen.

Pasukan khusus Kenya diposisikan di dekatnya guna melakukan penangkapan seandainya kerahsiaan terbongkar dan teroris melarikan diri. Pengenalan wajah yang dilakukan mengidentifikasi bahwa target mereka benar-benar serius dan itu dilakukan di Joint Intelligence Center Pacific di Pearl Harbor. Sekedar catatan, misi ini diawasi dari Inggris oleh pertemuan COBRA mencakup Letnan Jenderal Frank Benson, 2 menteri dan seorang menteri sekretaris. Kelanjutan cerita setelah Farah si agen lapangan menemukan bahwa 3 target kini mempersenjatai pembom bunuh diri semakin menambah ketegangan. Pemboman bunuh diri berarti sebuah serangan terhadap warga sipil dengan perkiraan korban jiwa yang banyak. Karena hal ini, Powell memutuskan pengemboman terhadap teroris sebagai satu-satunya jalan. Kolonel Powell kemudian meminta Watts yang mengendalikan drone bersenjata untuk menyiapkan serangan rudal Hellfire presis di rumah tempat teroris tersebut. Setiap tembakan rudal memerlukan konfirmasi dari atasan.

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah ketika hendak menembakkan rudal, Watts bimbang karena Alia berada dalam jangkauan ledakan karena sedang menjual roti tepat di samping rumah teroris tersebut. Benson sebagai atasannya kemudian meminta izin dari anggota COBRA, yang gagal mencapai keputusan karena dilemma. Mereka kemudian merujuk pertanyaan tersebut kepada Menteri Luar Negeri Inggris yang kini dalam misi perdagangan menuju Singapura. Dia tidak memberikan jawaban pasti tetapi membela Sekretaris Negara AS dengan pernyatannya bahwa teroris adalah musuh. Menteri Luar Negeri selanjutnya menegaskan COBRA melakukan uji tuntas guna meminimalkan kerusakan atau collateral damage.

Perdebatan mengenai keputusan menembakkan rudal karena keterlibatan Alia Mo'Allim yang menjual roti bersebelahan menjadi semakin larut. Politisi dan pengacara terlibat dalam rantai komando. Mereka memperdebatkan manfaat, pembenaran pribadi, hukum dan politik untuk melancarkan serangan rudal di negara tersebut yang tidak berperang dengan Amerika atau Inggris, dengan risiko kerusakan kolateral signifikan. Mereka akhirnya berusaha menunda penembakkan rudal hingga Alia pindah. Farah kemudian diarahkan untuk membeli semua roti Alia agar Alia pergi dari target. Usaha ini gagal karena Farah dikejar tentara setempat dan meniggalkan roti yang kemudian dujual lagi oleh Alia. Karena merasa bahwa penembakkan tidak bisa ditunda berhubung drone serangga yang mengintai kehabisan daya baterai, Powell memerintahkan petugas penaksiran untuk mengkalkulasi risikonya guna menemukan parameter 45 %  di mana resiko kematian warga sipil lebih rendah.

Dia mengevaluasi titik pemogokan dan menilai probabilitas kematian Alia dengan presentase 45-65%. Karena dianggap cukup rendah resikonya COBRA menyetujui penembakkan. Selanjutnya Watts menembakkan rudal dan ledakan tersebut menghancurkan bangunan dan juga melukai Alia. Karena 1 teroris masih selamat, Watts diperintahkan menembakkan rudal kedua yang menyerang situs tersebut tepat saat orang tua Alia mencapai Alia. Alia kemudian di bawa ke rumah sakit dimana ia akhirnya meninggal. Di tempat lain, pertemuan COBRA di London, Sekretaris dengan air mata menghujat Benson sebab keputusannya untuk menembakkan rudal. Benson dianggapnya telah membunuh karena tidak mengindahkan nyawa seorang anak dan itu karena kepentingan jabatannya. Benson membantah dengan mengatakan dia telah berada di 5 tempat pemboman bunuh diri di mana ada banyak penderitaan dan kematian mengerikan. Sekertaris tidak pernah terjun langsung ke lapangan tetapi memaksakan pemikirannya. Benson menambahkan dengan mengatakan bahwa "jangan pernah mendiktekan seorang prajurit tentang harga sebuah peperangan".

2.2.            PERBUATAN SUSILA DAN PENILAIAN MORAL

2.2.1.         TINDAKAN MORAL MERUPAKAN TINDAKAN PERSONAL

      Perbuatan manusia dalam bidang susila bukanlah sesuatu yang mati atau terisolasikan dari keseluruhan pribadi, melainkan, suatu proses dinamis dalam hubungannnya dengan keseluruhan pribadi manusia yang berkaitan dengan kesadaran dan kehendak bebas seseorang. Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan susila menuntut segi personal sebagai titik tolaknya. Jadi, perbuatan susila ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia sejauh ia berkehendak bebas dan mengetahui norma moral. Ini berkaitan dengan manusia yang tahu dan mau secara bebas. Perbuatan yang dilakukan dengan kehendak bebas itu disebut actus humanus. Karena unsur tahu dan kehendak bebas inilah maka pribadi itu harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

2.2.2.         PRINSIP-PRINSIP KESUSILAAN PERBUATAN KONKRET

Untuk mengatakan atau menilai suatu perbuatan atau tindakan bahwa suatu tindakan atau perbuatan tersebut termasuk tindakan yang secara moral baik atau tidak, ada tiga hal yang perlu dilihat yaitu obyek, keadaan-keadaan dan maksud atau finis operantis.

2.2.2.1.      OBYEK

Objek moral (moral object) merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat. Dalam arti luas atau umum: Obyek ialah sasaran perbuatan atau tindakan. Dalam arti sempit: Obyek yang dimaksud ialah salah satu unsur dari perbuatan sejauh dibedakan dari dua unsur lainnya. Jadi, Obyek di sini berarti: sasaran pertama dan utama dari perbuatan manusia (sebelum ditentukan oleh kedua prinsip atau unsur yang lainnya). Contoh: Perbuatan "mencuri". Secara teoretis, obyek dari mencuri ialah pengambilan barang orang lain tanpa ijin pemilik. Tetapi kesusilaan perbuatan ini masih dapat ditentukan oleh unsur-unsur yang lain seperti keadaan-keadaan dan maksud pelaku. Contoh misalnya mencuri makanan milik orang lain karena takut mati kelaparan. (bdk. Kasus Robin Hood).

2.2.2.2.      KEADAAN-KEADAAN

Keadaan (circumstances) yaitu situasi atau keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut. Ada berbagai jenis keadaan. Rinciannya sebagai berikut:

1. Quis (siapa): pelaku (misalnya: kedudukan jabatan, contoh: menteri korupsi, pastor korupsi).

2. Quid (apa): apa yang dilakukan (misalnya: mencuri uang orang miskin)

3. Ubi (di mana): tempat perbuatan itu dilakukan (misalnya: pembunuhan di gereja)

4. Quibus auxiliis (dengan apa): misalnya: pembunuhan dengan racun atau  pisau tumpul)

5. Cur (mengapa, untuk apa): maksud pelaku. Keadaan ini punya peran istimewa dalam penilaian.

6. Quomodo (bagaimana): misalnya:  dengan sembrono, dengan kejam, pelan-pelan

7. Quando (bilamana): bisa menyangkut kapan dan lamanya. Misalnya: Marah lama sekali waktu misa.

2.2.2.3.      MAKSUD ATAU FINIS OPERANTIS

Maksud/tujuan, finis operantis, intention yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut. Tetapi maksud suatu perbuatan konkret tidak dapat disamakan begitu saja dengan maksud perbuatan dari dirinya sendiri karena dapat dimasuki oleh maksud pelaku.

Misalnya: memberi sedekah kepada orang miskin -- tujuan seharusnya ialah membantu orang, tetapi ini hal bisa dibarengi dengan maksud pelaku untuk  yaitu mengharapkan suara orang yang dibantu pada saat PEMILU, menyogok, atau hanya untuk meraih keuntungan. Jadi, finis operantis bisa jadi sama dengan finis operis; namun bisa juga finis operantis (maksud pelaku) berbeda dengan finis operis atau maksud perbuatan.  Secara teoretis  perbuatan susila ditentukan oleh obyek-nya  atau sasaran perbuatan. Secara konkret (menyangkut perbuatan konkret), perbuatan susila ditentukan oleh finis operantis. Tetapi perlu ditegaskan bahwa betapapun besar peranan maksud pelaku, keburukan perbuatan tak dapat dilenyapkan oleh finis operantis yang baik.

2.3.            STRUKTUR TINDAKAN MANUSIA

Perbuatan atau tindakan manusia merupakan eksekusi dari kehendak. Thomas Aquinas mengklasifikasikannya menjadi dua yaitu tindakan yang dikehendaki (voluntary, voluntarium) dan tindakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Mengenai eksekusi kehendak bebas (voluntary) ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu: directly voluntary artinya apa yang langsung dikehendaki dari keputusan perbuatan itu dan indirectly voluntary artinya apa yang merupakan konsekuensi tindakan tetapi tidak dikehendaki. Suatu keutamaan dari sendirinya merupakan suatu produksi dari aktivitas yang berulang-ulang directly voluntary. Direct voluntary adalah kehendak si pelaku itu sendiri. Dengan demikian direct voluntary adalah cetusan dari manusia sebagai subjek dari tingkah lakunya. Suatu perbuatan yang buruk (seperti membunuh, mencuri, memperkosa, abosrsi, dsb.) dalam pertimbangan moral atau etis, tidak pernah boleh merupakan direct voluntary atau apa yang dikehendaki secara langsung oleh pelaku.

Dari sebab itu pula, nanti dalam kasus aborsi, misalnya, tindakan membunuh atau mematikan janin tak pernah boleh merupakan yang langsung dihendaki. Tindakan aborsi untuk membela keselamatan jiwa ibu pun tak boleh langsung menempatkan kehendak langsung pada pembunuhan janin. Tujusn ysng bsik tidak boleh dicapai dengan sarana yang buruk. Contoh lain: Semua mahasiswa pasti ingin mendapat nilai A, lulus ujian, dan menjadi mahasiswa favorit. Hal ini baik. Akan tetapi tujuan yang baik ini harus pula diperjuangkan dengan cara-cara yang baik. Artinya, tujuan baik untuk mendapat nilai A, tidak begitu saja menolerir cara-cara yang tidak baik seperti menyontek, minta bantuan dukun, menyingkirkan teman seangkatan, dst.

Lantas, apa yang membedakan Indirectly voluntary dan directly voluntary .  keduanya sama-sama masih dalam lapangan kehendak manusia. Yang berbeda adalah  yang satu tak langsung (indirectly) dan yang satunya langsung dikehendaki (directly). Yang membedakan adalah soal konsekuensi atau keputusan tindakan. Dalam kasus direct voluntary, jelas baik keputusan tindakan maupun konsekuensi-konsekuensi yang menyertai dari keputusan tersebut menjadi milik pelaku, dan dengan demikian menjadi tanggung jawab penuh dari pelaku. Sedangkan dalam kasus indirect voluntary, keputusan tindakan ada pada subjek pelaku, tetapi akibat atau kemungkinan dari konsekuensi yang menyusul dari tindakan itu berada di luar kehendaknya. Pembedaan penting, karena tanggung jawab moral manusia tidak serentak sama dalam suatu tindakan yang sekaligus dikehendaki dan diperhitungkan konsekuensinya dengan suatu tindakan yang dikehendaki, tetapi ternyata melahirkan konsekuensi yang berada di luar kehendaknya. Dalam kasus yang kedua (indirect voluntary), besarnya tanggungjawab dari pelaku berbeda dengan pada kasus yang pertama (direct voluntary).

Tentu saja nanti dalam jalinan tindakan semacam ini berperan pula pertanyaan, sejauh mana suatu akibat dari perbuatan yang tidak dikehendaki itu terjadi dan lantas menjadi tanggung jawabnya sangat bergantung pada lingkungan atau kondisi di dalam konteks perbuatan tersebut. Misalnya: seseorang mencampurkan racun ke dalam minuman temannya dan setelah ia meminumnya, ia mati. Pelau idak mungkin mengelak bahwakematian temannya tidak dikehendaki. Karena ia tahu bahwa racun itu memiliki akibat (baik itu dikehendaki/tidak) kematian dari orang yang meminum, memakannya. Indirectly voluntary terjadi apabila suatu keputusan atau tindakan yang dikehendaki menghasilkan suatu akibat yang tidak langsung berada dalam kehendaknya. Dikatakan "tidak langsung" karena akibat negatif dari perbuatan itu tidak dikehendaki oleh pelaku.

Dengan demikian, keutamaan tak pernah merupakan indirectly voluntary. Keutamaan selalu harus merupakan tindakan yang sepenuhnya berada dalam kuasa sang pelaku sebagai subjek tindakan. Keutamaan tak pernah merupakan tindakan tidak sengaja, atau apalagi tidak dalam kehendaknya. Keutamaan mengandaikan manusia sebagai tuan atas tindakannya. Perbuatan moral adalah tindakan manusia sebagai manusia dan merupakan mencetuskan kodrat manusiawi dan sekaligus mulia yang adalah ciptaan Tuhan.

2.4.            PERBUATAN DENGAN AKIBAT GANDA (DOUBLE-EFFECT)

Prinsip di mana tindakan manusia memiliki dua efek: (1) sasaran atau akibat langsung dan tindakan; dan (2) sasaran sampingan atau akibat yang keluar bersama tindakan itu dan yang tidak dikehendaki atau yang tidak langsung. Manusia biasanya menghendaki efek dari suatu tindakan yang langsung berhubungan dengan tindakan itu sendiri. Tetapi efek dari suatu tindakan tidak tunggal, melainkan ganda. Paling sedikit demikian dan sudut pandang sejauh akibatnya dikehendaki atau tidak, sejauh akibatnya baik atau buruk. Prinsip ini menyentuh realitas perbuatan sehari-hari, jadi merupakan salah satu perkara etika sangat aktual.

Syarat-syarat penilaian moral prinsip tindakan dengan akibat ganda adalah sebagai berikut:

(1). Akibat buruk dari suatu tindakan tidak pernah boleh dikehendaki secara langsung. Misalnya, dalam rangka menyelamatkan nyawa ibu, kematian janin yang ada di dalam rahimnya kita kehendaki. Atau, kita menghendaki kematian janin supaya ibu bisa diselamatkan. Dengan kata lain, keburukan tidak pernah boleh atautidak pernah bisa menjadi sasaran atau objek tindakan secara langsung.

        (2). Tujuan yang baik tidak menghalalkan atau membenarkan segala cara. Misalnya, mematikan janin sebagai cara untuk menyelamatkan jiwa ibu. Keburukan tidak pernah diperbolehkan sebagai sarana untuk suatu tujuan, betapa pun tujuan itu baik sekalipun. Tujuan yang baik harus diraih juga dengan sarana yang baik pula.

(3). Perbuatan yang dilakukan itu harus didasarkan pada pertimbangan dan alasan yang seimbang (recta ratio). Misalnya ada kehidupan dari dua manusia yang sedang bersaing, dalam suatu tindakan yang tidak suksesif (karena suksesif mengandaikan tindakan mematikan janin se-bagai cara untuk menyelamatkan jiwa ibu), melainkan harus serentak (artinya, akibat buruk, yaitu kematian janin, sungguh merupakan akibat sekaligus dalam arti sebagai yang tidak dikehendaki). Di sini, dalam pertimbangan suksesif atau serentak/simultan bukan pertama-tama menyentuh proses tindakan fisiknya, melainkan pertimbangan moralnya. Mengapa? Karena seluruh proses tindakan fisik seorang dokter tidak mungkin direduksi dalam pertimbangan-pertimbangan spekulatif moral sebagai demikian. Maksudnya, tidak mungkin dokter melakukan aktivitasnya yang sekaligus, yaitu sekaligus menyelamatkan jiwa ibu sekaligus dengan akibat yang tidak dikehendaki mematikan janinnya. Kesekaligusan suatu tindakan, di sini, jelas bukan memaksudkan proses kronologis tindakan seorang dokter, melainkan mengatakan pertimbangan moral.

Dari pertimbangan ini, kita hendak menegaskan bahwa realitas perbuatan manusiawi memiliki karakter dua sekaligus: realitas fisik dan realitas moral yang keduanya tidak bisa dipisahkan tetapi bisa dibedakan. Realitas fisik artinya perbuatan manusia merupakan rentetan gerakan tubuh manusia. Realitas moral memaksudkan bahwa perbuatan itu tidak hanya sekadar gerakan badan manusia, melainkan juga mencetuskan kemanusiaannya. Sama halnya dengan ibu yang mengandung. Ibu yang mengandung adalah realitas fisik dan realitas moral sekaligus. Realitas fisik sudah jelas. Realitas moral artinya fakta bahwa ibu itu mengandung mencakup aneka elemen pertimbangan moral yang akan menyertai setiap pemikiran dan keputusan tindakan yang mungkin berkenaan dengan pengandungannya.

        (4). Jadi, prinsip tindakan dengan akibat ganda sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan soal bahwa suatu perbuatan itu memiliki dimensi akibat buruk atau baik, melainkan juga mengungkapkan realitas moral dari suatu perbuatan manusia. Dalam artian bahwa kita harus berkata bahwa realitas moral dalam hidup manusia itu diandaikan karena kebebasannya. Artinya, setiap tindakan manusia sebagai manusia dalam kualifikasi moral memiliki karakter langsung, yaitu kebebasan. Karena kebebasan, realitas fisik gerakan tubuh manusia memiliki moralitas. Karena kebebasan, realitas fisik suatu perbuatan manusia langsung mengajukan nilai-nilai yang dalam kesempatan-kesempatan tertentu saling bersaing. Francesco Suarez berkata bahwa tindakan manusia punya nilai moral karena secara bebas dikehendaki.

Jadi, kehendak bebaslah yang merupakan sumber penilaian moral tindakan manusia. Kebebasan manusia itu terletak pada akal budinya. Dari sebab itu, menurut Aquinas, hanya tindakan yang lahir dari akal budi yang bebas saja yang masuk dalam kualifikasi moral.

 

2.5.            PRINSIP-PRINSIP REFLEKSIF  DARI HATI NURANI YANG BENAR 

1.    Recta rasio: menggunakan akal budi secara sehat dan jernih. Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan, buku-buku, hasil studi, dll. Memilih nilai-nilai yang baik berdasarkan alasan atau pertimbangan budi dengan seimbang.

2.    Kaidah kencana: memperhatikan orang lain dalam mengambil keputusan. "Apa yang aku inginkan supaya orang lain perbuat untuk aku, demikian juga aku bertindak."

3.    Bonum communae bono privato praeferri debet: kepentingan umum lebih penting atau harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi

4.    Principium totalitatis: totalitas lebih penting daripada partikular misalnya: amputasi kaki yang kena kanker lebih baik daripada seluruh tubuh terkena kanker.

5.    Occasio proxima peccati evitanda: kesempatan yang paling dekat dengan dosa harus dihilangkan.

6.    Prinsip teleologis: tujuan tindakan harus selalu masuk akal, benar, dan terarah kepada kepada kebaikan (meski menghadapi risiko yang sulit).

7.    Minus malum: memilih "kejahatan yang kurang jahat" daripada "kejahatan yang lebih jahat". (Tujuan tetap terarah demi yang baik).

8.    Ultra posse non obligat: sesuatu yang melampaui kemampuan kita tidak-lah mengikat (pembatalan sesuatu yang melampaui kemampuan kita). Jika ada sesuatu yang di atas jangkauan kita (dan tidak mampu kita atasi), kita tidak perlu merasa bersalah (meski untuk itu kita harus menerima hukuman).

9.    Lex dubia non obligat: hukum yang diragukan tidaklah mengikat. Kalau ada satu alasan yang tepat untuk meragukan suatu hukum, maka hokum. tersebut tidak mengikat. Oleh karena itu, kata-kata dalam hukum tidak boleh multitafsir yang bisa menimbulkan keraguan.

10.  In dubio via tutior eligenda est: harus memilih jalan yang lebih alamiah/ aman jika manusia ada dalam keraguan (penghormatan keselamatan manusia dalam keraguan).

11.  Pemecahan atas double effect:

a.  perbuatan harus sekaligus menghasilkan yang baik dan yang jahat;

b.  akibat negatif tidak boleh mendahului akibat positif; dan

c.  tidak ada cara lain.

12.  Epikeia (prinsip kemerdekaan): manusia harus bertanggung jawab atas tindakannya, meskipun tidak ada hukum.

13.  Ab usus non tollit usum: penyalahgunaan tidak membatalkan sahnya tindakan. Artinya, kita tidak bisa melarang suatu tindakan oleh karena ada penyalahgunaan tindakan tersebut.

14. Bonum faciendum, malum vitandum: kebaikan harus dilakukan dan keburukan harus dihindari.

2.6.            ANALISIS KASUS DAN PENILAIAN MORAL DALAM FILM EYE IN THE SKY

Kasus penembakan rudal oleh Letnan Steve Watts yang diperintahkan oleh Kolonel Katherine Powell dalam film "EYE IN THE SKY" merupakan kasus double effect atau akibat ganda. Penilaian moral kasus ini dapat dilakukan dengan "theory off double effect". Mengapa dikatakan double effect? Karena akibat positif yang dikehendaki oleh pelaku dalam hal ini Kolonel Katherine Powell dan pilot Steve Watts bersama rekannya, keluar bersama-sama akibat negatif. Pelaku tidak dapat menghindari akibat negatif yang tidak dikehendaki tersebut. Pilot Steve Watts dan rekan pilot lainnya diperintahkan untuk menembakkan rudal Hellfire presisi tepat digedung di mana target berada yaitu teroris. Tetapi pada saat yang sama, ia melihat seorang anak kecil yang bernama Alia, gadis yang tidak berdosa dan bersalah, tidak jauh dari tepat target yang ingin dihancurkan. Alia sedang menjual roti ibunya. Jika Steve Watts tidak menembakan rudal hellfire ke arah teroris kemungkinan besar teroris tersebut akan meledakkan bom di tengah kerumunan orang dan pastinya menewaskan banyak orang. Demikian pula sebaliknya, jika dia menembakkan rudal hellfire tersebut untuk mematikkan teroris tersebut, pastinya seorang anak kecil yang sedang menjual roti ikut menjadi korban.

Jadi, dalam perisriwa tersebut pelaku tidak punya pilihan lain, selain harus ada yang menjadi korban. Mengorbankan satu orang ataukah mengorbankan banyak orang; menyaksikan bom bunuh diri yang dilakukan teroris dengan memakan korban kurang lebih delapan puluh orang warga sipil atau menyaksikan seorang gadis kecil Alia yang tidak berdosa kehilangan nyawanya. Hal ini menjadi pilihan yang sangat sulit yang harus diambil Steve Watts dan Katherine Powell. Watts pun menunda untuk menembakkan rudal hellfire. Ia meminta pendapat dan keputusan dari atasannya, dari Powell, Benson dan para petinggi. Tetapi dari para petinggi belum menghasilkan keputusan yang tepat, masih banyak pertimbangan dan keadaan semakin gawat, semakin tegang. Berbagai usaha pun dilakukan oleh Powell  untuk membuat Alia pindah, supaya rudal hellfire segera diluncurkan. Ia memerintahkan Farah untuk mengusir gadis tersebut dengan cara membeli semua roti bermaksud agar Alia pergi dari target, namun usai membayarnya sampulnya hancur dan dia terpaksa kabur tanpa membawa roti. Alia pun mengambil kembali roti dan menjualnya. Situasi semakin tegang. Akhirnya, Kolonel Katherine Powell mengambil keputusan untuk menembak  rudal hellfire. Ia kemudian memerintahkan pilot Steve Watts meluncurkan rudal hellfire dan dengan berat hati sang pilot menembakkan rudal tersebut. Alia pun menjadi korban. Presentase kematiannya 45-65%, tetapi satu konspirator teroris masih selamat dan rudal kedua pun diluncurkan tepat saat orang tua Alia mencapai Alia. Alia kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak terselamatkan. Siapa yang harus disalahkan dalam peristiwa ini? bagaimana penilain moral terkait dengan peristiwa tersebut?

Perbuatan manusia itu tidak tunggal, melainkan kompleks. Maksudnya, tindakan membunuh, misalnya, jelas bukan hanya merupakan tindakan menghilangkan nyawa orang lain begitu saja. Tindakan membunuh terdiri atas elemen-elemen perbuatan yang kompleks. Tindakan itu mengalir dari rentetan motivasi untuk melakukan pembunuhan. Dalam menegaskan motivasi, terdapat pula preferensi nilai atau gradasi pertimbangan baik buruk sampai kemudian tercetus keputusan untuk membunuh. Tetapi, keputusan membunuh belum merupakan perbuatan pembunuhan. Keputusan menjadi suatu perbuatan pada waktu kehendak mengeksekusinya dalam tindakan. Jadi, dalam tindakan membunuh, ada banyak elemen perbuatan yang berpartisipasi di dalamnya: motivasi, kehendak, eksekusi kehendak dalam perbuatan.

Karena kompleksitas perbuatan manusia, penilaian moralnya juga kompleks. Artinya, tidak setiap tindakan membunuh dipandang salah. Ada banyak faktor yang memengaruhi kita dalam melihat tindakan pembunuhan dan menghasilkan penilaian moral yang beragam. Demikian pula dengan kasus yang lain, misalnya pencurian. Orang yang mencuri karena terpaksa (misalnya karena tidak memiliki apa pun untuk dimakan) jelas berbeda dengan orang yang mencuri karena rakus (misalnya para koruptor--yang hasil pencuriannya untuk berfoya-foya atau untuk membiayai wanita-wanita simpanannya).

Orang yang hanya berniat membunuh atau mencuri jelas tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang membunuh atau mencuri. Penilainnya berbeda. Misalnya Memnunuh karena dendam yang lama, berbeda dengan membunuh dalam situasi khusus seperti untuk meyelamatkan diri, dalam perang atau seperti terjadi dalam perbuatan yang ditunjukkan dalam film "EYE IN THE SKY" atau kasus aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Demikian pula sebaliknya, pencurian atas harta karun negara dan tindakan pencurian ayam tetangga juga jelas memiliki konsekuensi penilaian yang tidak seragam. Keanekaragaman penilaian ini menunjukkan bahwa perbuatan manusia itu kompleks. Mengenai perbuatan manusia, kita bisa membedakan antara volition dan action. Volition berarti kehendak dalam artian tegas yang dapat masuk dalam kualifikasi baik buruk secara moral; dan action memaksudkan eksekusi/pencetusan kehendak yang kita tampilkan di bawah kontrol kita.

Kehendak dan perwujudannya memang tidak bisa dipisahkan apabila suatu tindakan manusia dapat disebut sebagai tindakan lengkap. Tetapi, keduanya bisa dibedakan. perbuatan yang diambil dalam situasi khusus seperti diterangkan di atas dapat diterima jika ada alasan besar yang seimbang. Hal ini mengandung arti bahwa mengandung syarat atau tidak ada jalan lain untuk mencapai akibat positif yang dituju. Tetapi, harus dibedakan antara (a) menyebabkan suatu bahaya sebagai akibat sampingan untuk mencapai tujuan yang baik dan (b) menyebabkan suatu bahaya sebagai suatu cara untuk mendapatkan tujuan yang baik. Point terakhir (point b) tidaklah pernah dibenarkan. Penerapan point (b) dapat mengakibatkan seseorang tidak lagi melihat obyek moral dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh: seorang pelajar tidak dapat menyontek, walaupun dengan tujuan yang baik, yaitu mendapatkan nilai yang baik dan menyenangkan orang tua. Contoh yang lain, adalah tindakan pembunuhan bayi (aborsi) dengan alasan bahwa keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sang bayi. Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa cara yang diambil adalah suatu hal yang buruk, walaupun mempunyai tujuan yang baik. Dan hal ini tidak dapat ditolerir dan secara moral tidak dapat dibenarkan.

Dalam point pertama (point a), maka seseorang diijinkan untuk menjalankan cara tersebut, walaupun menimbulkan bahaya. Perbedaaannya dengan point (b) adalah bahaya tersebut adalah bukanlah cara yang dipilih, namun merupakan akibat samping, yang tidak disengaja atau yang tidak diinginkan, yang dilakukan setelah mempertimbangkannya secara proposional. Dari prinsip di atas, maka seseorang tidak akan pernah diijinkan untuk mempunyai kehendak jahat secara langsung, baik sebagai suatu tujuan maupun sebagai cara. Seseorang yang mencuri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya adalah contoh cara yang jahat, karena obyek moral "mencuri" adalah sesuatu yang jahat. Seseorang mafia yang memberikan sumbangan sosial yang begitu besar dengan tujuan untuk menutupi perbuatannya yang jahat adalah contoh dari tujuan yang jahat.

Ada hal lain juga yang harus diperhatikan (seperti yang sudah diterangkan sebelumnya) bahwa untuk menentukkan tindakan secara moral baik, bermoral atau tidak/dosa, ada tiga hal yang perlu dilihat yaitu obyek moral, keadaan dan maksud pelaku. Mengenai hal ini, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik atau  sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan "dosa", sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas. Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak/ dosa.

Di bawah ini kita akan melihat perbuatan yang dilakukan oleh Kolonel Katherine Powell dan pilot terutama Steve Watts dalam hubungan dengan prinsip penilaian moral di atas.

1). Kolonel Katherine Powell

Maksud atau kehendak dari Powell adalah baik karena tidak mengandung voluntarium directum. Hal ini dapat dilihat dari perbuatannya yaitu misinya untuk menangkap tiga dari sepuluh pemimpin All Shabaab di tempat persembunyian Nairoby. Tetapi tujuannya misinya berubah karena Orang suruhannya yaitu Farah mendapati tiga orang teroris telah siap melakukan aksi bom bunuh diri. Karena situasi terdesak, ia pun memerintahkan untuk meluncurkan rudal hellfire guna mencegah tindakan bom bunuh duri yang akan membawa banyak korban jiwa. Jadi, kematian Alia merupakan sesuatu yang terjadi diluar perencaan Powel, bukan merupakan tujuan utama Powel. Hal ini pun bukanlah sarana yang dipakai Powel untuk mencapai misinya. Kematian Alia adalah indirect voluntarium. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Powell  untuk membuat Alia pindah, supaya rudal hellfire segera diluncurkan. Ia memerintahkan Farah untuk mengusir gadis tersebut dengan cara membeli semua roti bermaksud agar Alia pergi dari target, namun usai membayarnya sampulnya hancur dan dia terpaksa kabur tanpa membawa roti. Alia pun mengambil kembali roti dan menjualnya.  Usaha  Powel gagal. Situasi semakin tegang. Dari usaha Powel ini menunjukkan bahwa ia tidak punya maksud direct untuk membunuh Alia.

2). Pilot Steve Watts

Maksud yang terkandung dalam diri pilot pun baik. Ia tidak menghendaki kematian gadis tak berdosa Alia. Kematian Alia adalah indirect voluntarium arti kematian yang tidak dikehendaki secara langsung oleh Steve Watts. Hal ini bisa dilihat dari tindakannya untuk menahan tembakan rudal hellfire ke situs yang dituju, karena ia melihat ada seorang anak kecil yang berada dekat dengan target. Ia meminta atasanya terkait dengan keputusan apa yang harus ia ambil. Rasa kemanusiaanlah yang membuat dia tidak segera meluncurkan rudal hellfire. Terlepas dari perintah yang dikehendaki Powel, dengan pertimbangan yang begitu berat, ia akhirnya meluncurkan rudal hellfire yang menewaskan Alia. Bukan karena apa-apa, tapi itulah keputusan yang lebih baik dari pada membiarkan para teroris melakukan aksinya.

 Fungsi sumber-sumber kesusilaan masing-masing menentukkan kesusilaan dengan cara-caranya sendiri yang berlainan, misalnya sebagai obyek atau sebagai keadaan. Demikianlah apabila "akibat" berfungsi sebagai obyek, maka inilah pengaruhnya dalam menentukan kesusilaan dari pada apabila berfungsi sebagai keadaan. Misalnya suatu akibat negatif: kematian Alia dalam kasus di atas. Sebagai "obyek": bila kematian Alia dimaksudkan secara direct, sehingga perbuatan itu disebut "occisio directa". Sebagai "keadaan": bila kematian Alia itu tidak dimaksudkan secara langsung, jadi hanya indirect. Kesusilaan occisio indirecta dinilai menurut prinsip voluntarium indirectum: dalam rangka penembakan teroris yang akan melakukan bom bunuh diri (akibat baik yaitu keamanan dan keselamatan orang banyak. Kematian Alia dalam EYE IN THE SKY (sebagai akibat negatif) hanya dikehendaki indirect, dalam rangka fungsi sumber-sumber kesusilaan hanya bertindak sebagai keadaan dan tidak sebagai obyek artinya tidak dikehendaki sebagai tujuan atau pun jalan untuk mencapai tujuan. Kematian Alia tidak hanya dibiarkan atau tidak dihindari, melainkan sungguh-sungguh ikut disebabkan tetapi secara indirect atau secara tak langsung.

Cara penentuan kesusilaan berbeda-beda tergantung dari masing-masing sumber kesusialaan terutama keadaan. Jika obyek dan keadaan dapat diselaraskan karena ada alasan yang seimbang, maka perbuatan tersebut dapat dibenarkan oleh alasan seimbang yang masuk akal seperti mencegah aksi bom bunuh diri yang mengorbankan Alia. Tetapi, alasan seimbang tidak hanya berarti penting atau asal sembarang alasan melainkan betul-betul seimbang dalam arti memerlukan perbandingan antara akibat jelek dan akibat baik dalam perspektif luas. Artinya nilai yang sekarang direalisir atau akibat positif dengan kurban nilai lain atau akibat negatif yang tidak dimaksudkan secara langsung, harus dipandang dalam keseluruhannya dan dalam jangka waktu yang panjang.

 Dari perbuatan dan keputusan yang diambil oleh pelaku dalam film EYE IN THE SKY adalah perbuatan yang tepat. Mengapa dikatakan tepat? Karena dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan mereka mempertimbangkan banyak hal yaitu menyangkut keamanan dan keselamatan orang banyak. Kita tidak tahu pasti apa yang bakal terjadi seandainya Watss dan atasannya tidak memutuskan untuk menembakkan rudal hellfire yang mematikaa teroris tersebut, pastinya teroris tersebut akan melakukan aksinya yang memakan korban lebih banyak dan bahkan bukan hanya delapan puluh korban yang diperkirakan meninggal saat itu, melainkan akan ada korban selanjutnya selama teroris itu masih ada.

Meskipun akhirnya gadis kecil Alia meninggal, Katherine Powell dan pilot telah berhasil meminimalisir korban dengan berjuang keras . Pertimbangan-pertimbangan mereka pastinya keluar dari hati nurani yang bersih serta akal budi yang sehat (bdk. Prinsip-prinsip refleksif dari hati nurani yang benar) jika tidak keputusan yang mereka ambil pasti akan keliru dan menimbulkan banyak korban. Syukurlah bahwa mereka dapat meminimalisir korban meskipun rasa kemanusiaan meliputi hidup mereka saat itu.

Perbuatan tersebut pun dilihat dari norma obyektif tidak dapat di salahkan karena ada alasan yang seimbang yang selaras dengan tujuan hukum itu sendiri. Perbuatan tersebut dapat disalahkan jika obyeknya: membunuh akibat dengki atau keluar dari hati nurani yang sesat atau hal itu dijadikan sarana untuk suatu maksud yang baik.

 

III.             PENUTUP

Perbuatan manusia sebagai manusia senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai. Artinya, perbuatan manusialah (dalam arti "perbuatan" yang mencakup aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan, menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara dengan suatu nilai yang merujuk pada kehidupan itu sendiri. Secara sangat umum nilai dapat dibedakan dalam dua kategori: baik dan buruk. Nilai inilah yang mengerakkan kehendak manusia untuk berbuat. Jika nilai itu baik, nilai itu menggerakkan manusia untuk mengejarnya; jika buruk atau jahat, nilai itu menggerakkan manusia untuk menghindarinya. Suatu keburukan dalam dirinya sendiri tak pernah merupakan suatu nilai yang dikejar. Sebaliknya, kebaikan merupakan itu yang memikat siapa pun untuk meraihnya. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, nilai-nilai tersebut (baik atau buruk) terkadang keluar secara bersamaan. Hal ini yang sering disebut dengan kasus double effect. Apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan situasi ini?

Ketika berhadapan dengan situasi ini, kita perlu memperhatikan prinsip-prinsip penilaian perbuatan moral serta prinsip-prinsip refleksif dari hati nurani, seperti yang sudah diterangkan di atas. Yang paling penting adalah kita harus memilih nilai-nilai yang baik berdasarkan pertimbangan atau alasan budi serta hati yang seimbang. Misalnya dalam kasus yang terdapat dalam film " EYE IN THE SKY", berusaha meminimalisir dampak negatif, yang tidak dikehendaki secara langsung.  Itulah nilai moral kita. Nilai moral yang baik bukanlah opsional melainkan sesuatu yang wajib kita lakukan, kita buktikan dalam fenomen peristiwa-peristiwa kehidupan konkret. Prinsip utamanya adalah "bonum faciendum et malum vitandum" artinya kebaikan harus dilakukan dan keburukkan harus dihindari. Mengapa kebaikan harus kita lakukan? Karena menurut Aristoteles, kebaikan itu menjanjikan kebahagiaan. Perlu diingat bahwa kebahagiaan itu tidak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan adalah itu yang harus dikejar, diperjuangkan dan diraih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun