“Sorry.. Loe
jemput gue di ragunan aja, gimana?!”.
“Ya..Nanti gue
jemput loe disana?!”
Siang
hari itu merupakan siang terindah dalam hidupku. Tidak pernah aku bayangkan
sebelumnya, dia mau untuk menemuiku. Meski aku sadari pertemuan itu hanya akan
satu kali dan tidak akan pernah berlanjut ke pertemuan berikutnya.
H
Kemacetan
sudah terlihat di mana-mana. Padahal hari ini adalah hari libur Nasional.
Klakson milik para pengumudi terdengar di setiap ruas jalanan. Tidak ada lagi
tempat bagi pejalan kaki. Para penguasa jalanan merenggut paksa lahan para
pejalan kaki. Setiap waktu adalah uang. Tanpa pernah tergesa-gesa, aku kendarai
laju sepeda motor pada kecepatan biasa.
Rasanya
pertemuan ini teramat berat di lakukan. Pikiran seakan melayang-layang membelah
dinding keramaian. Berkilo-kilo meter sudah jalan yang aku susuri. Aku
sepertinya tersesat di tengah kemacetan. Jarum jam tepat menunjukkan pukul lima
sore. Semua jalanan tampak bagaikan sebuah labirin yang berputar melingkar.
Begitu sulitnya untuk dapat sampai ke tempat resepsi pernikahan temanku.
Berkali-kali aku tanyakan alamat pada setiap orang. Beberapa kali telepon cellularku
sempat berdering. Sengaja tidak kujawab panggilan darinya. Karena aku ingin
mencari sebuah tempat yang tidak bising oleh lalu-lalang kendaraan bermotor.
Dengan
jerih payah bertanya ke setiap orang, akhirnya aku temui tempat acara resepsi
pernikahan temanku. Secepatnya jaket serta berbagai aksesori yang melekat
hangat di tubuh aku lepas serta ku taruh pada sebuah box yang tertanam di badan motor. Sekali lagi handphone berbunyi. Aku putuskan agar menjawab panggilan darinya.
“Ada apa, An?”
“Lagi ada dimana
sekarang?”
“Oh. Gue lagi di
acara resepsi teman gue dulu nih! Memangnya kenapa?”.
“Ternyata kita
ketemu-nya, jam enam! Bisa,kan?”