Setiap telah kembali. Menenggelamkan
Kelahiran baru telah hadir
Disapa angin Sepoi pagi sekali
Jarak pandang jauh melampaui
Disudut. Menanya pertanyaan lama
Waktu berubah. Jangan menimbang aku dalam-dalam dengan sama
AkhhhÂ
Tentu saja. Bukankah putaran waktu tak pernah kembali
Hanya ruang sempit memaksa kembali menengok
Berdamai. Dipaksa untuk menarik nafas dalam
Duri yang meluka hanya rasa
Kenapa kamu ingkari
Lihatlah matamu. Mampukah
Jangan kau anggap terlelap lamaÂ
Itu tak sama dengan pengap
Apalagi berlari darinya
Bibirmu sayang
Berkata terbata
Aku bukan obat yang kau cari
Peganglah erat. Kau cukup percaya saja
Hanya itu
Kenapa tanganmu bergetar puisiku
Diamlah aku angkat. Kau cukup diam dan dekap aku saja
Tenangkan dirimu aku disini
Jangan ditengok lagi malam kemarin. Itu berlalu
Lihat saya kedepan apa yang ku pandang
Itulah istana puisiku
Baringkan disana leluhmu
Keluarkan kesahmu yang kamu simpan
Aku disini mendekapmu erat. Rasakanlah
Jemari lentikmu biarkan menggores mentari pagi lagi
Alis tebalmu menyirat Mega yang menghias biru langit
Kamu puisiku. Rumah sampai akhir ku
Merekalah kembali bibirmu yang mungil
Langkahkan lagi kaki di sana
Aku temani kamu kemanapun
Jangan biarkan duri menyakitimu selalu
Lepas dan terimalahÂ
Tak apa apa. Jangan khawatirÂ
Genggam tanganku. Lakukanlah
Soal esok kita lukis bersama disana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H