Kasus Hasto : Pertikaian Politik atau Demokrasi Bermasalah
Â
Meilanie Buitenzorgie di laman facebooknya belum lama ini : Kasus Hasto Kristiyanto memang sangat diterima. Yang receh dikejar, yang kakap diabaikan, sudah jadi SOP di KPK. Makin tak terkendali sejak independensi KPK dicabut. Dicabut oleh siapa? Ya duet maut partainya Hasto dan pemerintahan Jokowi.
Waktu politikus-politikus ini menggergaji KPK lewat revisi UU KPK, mereka pikir akan berada di puncak kekuasaan selamanya. Mereka pikir mereka yang menjadi pengontrol KPK selamanya.
Saat mereka pecah kongsi, yang terlempar dari kekuasaan mesti siap kena garuk. Karenanya, nggak penting juga sih meratapi Hasto. Warga yang dulu gotongroyong dengan Denny Siregar cs memvalidasi penggergajian KPK oleh Jokowi, PDIP, Gerindra cs. Hasilnya ya KPK cuma jadi alat penguasa menebang siapa-siapa yang perlu ditebang.
Natal 2024 menjadi momen meratapi makin parahnya ketidakpastian hukum di negeri ini. Anak-mantu mantan Presiden Jokowi, para Menteri yang merugikan Negara hingga trilyunan, namanya bolak-balik diadukan ICW dan disebut-sebut di pengadilan, semua aman tak tersentuh KPK. Sementara dugaan suap Hasto, kebijakan impor Tom Lembong sampai pencurian kakao oleh nenek-nenek yang kelaparan, dikejar sampai lubang semut. Itulah buah yang dipanen sekarang. Akibat kebodohan para pembela rezim, baik yang sudah insyaf maupun yang masih denial.
Natal 2024 ini juga mesti menjadi momen kebangkitan rakyat negeri ini. Lawan pembodohan masif di Tiktok. Lawan buzzer-buzzer rezim yang digaji pakai duit pajak rakyat. Lawan PPN 12% yang diusulkan Jokowi yang terus divalidasi PDIP, Gerindra dan hampir semua partai. Lawan kebijakan ngawur memaafkan koruptor. Lawan manipulasi hukum oleh para penegak hukum, tambah Meilanie.
Tidak ada damai dan keadilan sosial di bumi ini selama duit Freeport, Batubara dlsb nggak sampai ke tangan rakyat jelata.
.
Bagaimana kita membaca, menjelaskan dan/atau menganalisis hal ini secara professional. Apakah memang Prabowo dan pendahulunya Jokowi adalah 2 sisi dari mata uang yang sama atau bagaimana.
Mendekati pandangan kritis di atas, tidaklah semudah membalik telapak tangan kita. Ini tentu memerlukan pendekatan yang kritis dan berbasis data. Status terbaru Meilanie mencerminkan pandangan skeptis dan emosional terhadap situasi politik dan hukum di Indonesia, terutama terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengaruh kekuasaan politik.
Konteks Independensi KPK
Perubahan Undang-Undang KPK yang memperkenalkan Dewan Pengawas, kewajiban pegawai KPK menjadi ASN, dan penghapusan kewenangan penyadapan tanpa izin dianggap sebagai pelemahan lembaga tersebut. Banyak pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan pegiat antikorupsi, mengkritik revisi ini sebagai langkah yang mengurangi independensi KPK.
Setelah revisi UU KPK, persepsi masyarakat terhadap independensi KPK menurun. Lembaga ini dinilai lebih rentan terhadap intervensi politik, seperti terlihat dari kasus-kasus besar yang tidak tersentuh dibandingkan kasus kecil yang disorot.
Tudingan "Alat Penguasa"
Tuduhan bahwa KPK dijadikan alat politik bukanlah hal baru. Namun, ini perlu dianalisis lebih dalam dengan melihat data konkret tentang pola penegakan hukum, apakah ada indikasi bahwa target penindakan selektif atau tergantung pada kedekatan dengan kekuasaan.
Jika benar KPK menjadi alat politik, ini mencerminkan kelemahan sistemik dalam pemisahan kekuasaan dan penegakan hukum yang independen.
Tinjauan terhadap Kritik pada Jokowi dan Prabowo
Kritik terhadap pemerintahan Jokowi, terutama soal penggergajian KPK, cukup beralasan bila dikaitkan dengan revisi UU KPK yang terjadi pada masa pemerintahannya. Namun, menilai seluruh kebijakan dan dinamika politiknya sebagai bagian dari upaya mempertahankan kekuasaan, ini tentu memerlukan bukti lebih spesifik.
Sebagai penerus Jokowi, Prabowo dihadapkan pada ekspektasi publik untuk memperbaiki kelemahan pemerintahan sebelumnya. Namun, hingga saat ini belum ada indikasi bahwa ia akan melakukan langkah besar untuk mengembalikan independensi KPK atau melakukan reformasi hukum.
Dua sisi dari mata uang yang sama
Jokowi dan Prabowo sama-sama beroperasi dalam sistem politik yang didominasi oleh partai besar dengan kepentingan ekonomi dan politik yang kuat. Keduanya juga bekerja di bawah struktur yang membatasi independensi institusi penegak hukum.
Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinan populis yang fokus pada pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi, sementara Prabowo cenderung mengedepankan isu kedaulatan nasional dan keamanan. Namun, bagaimana Prabowo akan menghadapi tantangan seperti reformasi hukum masih perlu diamati.
Kritik terhadap Sistem Hukum
Kritik Meilanie soal ketidakpastian hukum dan penanganan kasus kecil yang lebih menonjol dibanding kasus besar mencerminkan keresahan publik yang luas.
Reformasi hukum yang komprehensif diperlukan, termasuk penguatan independensi lembaga penegak hukum dan transparansi dalam pengelolaan kasus-kasus besar.
Keresahan seorang Meilanie yang dikenal kritis mencerminkan frustrasi publik terhadap pelemahan lembaga antikorupsi dan ketidakadilan hukum. Namun, narasi seperti ini perlu ditanggapi secara hati-hati agar tidak hanya memperkeruh suasana tetapi juga mendorong diskusi konstruktif tentang reformasi sistem.
Prabowo dan Jokowi memang beroperasi dalam sistem yang sama, tetapi masa depan pemerintahan Prabowo akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu mengatasi masalah-masalah yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya.
Masyarakat perlu terus mengawal isu ini melalui partisipasi aktif, terutama dalam mendesak reformasi hukum, mendorong transparansi, dan mengawasi pemerintah dengan kritik berbasis fakta. Selain itu, penting untuk membangun gerakan masyarakat sipil yang lebih kuat untuk memastikan institusi negara kembali melayani kepentingan rakyat.
Demokrasi Ancaman : Fenomena atau Kebiasaan Baru
Kalau dilihat dari nada bicara Hasto, Connie dan Megawati yang malah mengancam akan mendatangi KPK terkait ditahannya Hasto, bahkan Hasto sendiri sempat melontarkan ancaman bahwa dokumen yang sekarang dititipkannya pada Connie yang saat ini adalah Dosen di Universitas Negeri St Petersburg Rusia. Dokumen tersebut tak ubahnya bom nuklir.
Apakah ini memang pertikaian politik, atau inikah budaya politik negeri ini sekarang yaitu ancam-mengancam sebagaimana pernah saya tulis di Kompasiana beberapa waktu lalu sebagai demokrasi ancam-mengancam.
Penggunaan ancaman sebagai alat negosiasi politik menunjukkan pola yang semakin sering terlihat dalam politik Indonesia. Ini bisa mencerminkan lemahnya kepercayaan terhadap proses hukum dan politik formal, sehingga aktor-aktor politik merasa perlu menggunakan retorika kekuatan untuk mempertahankan posisi mereka.
Ancaman semacam ini biasanya muncul ketika pihak yang bersangkutan merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem, atau ketika mereka ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki "senjata" yang bisa digunakan untuk melawan pihak lain.
Dokumen sebagai "Bom Nuklir"
Pernyataan Hasto tentang dokumen yang disebut sebagai "bom nuklir" yang dititipkan pada Connie menunjukkan bahwa ia ingin menonjolkan adanya "aset" yang bisa digunakan untuk menekan lawan politik atau membela dirinya.
Jika dokumen tersebut benar-benar sensitif dan strategis, pernyataan ini dapat dilihat sebagai bentuk ancaman tidak langsung terhadap pihak-pihak yang berperan dalam kasusnya, termasuk KPK. Ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk mempengaruhi opini publik dan membangun narasi bahwa dirinya adalah korban dalam permainan politik yang lebih besar.
Budaya politik ancaman
Dalam sejarah politik Indonesia, ancam-mengancam bukanlah hal baru. Pada masa Orde Baru, retorika ancaman sering digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau menekan oposisi. Namun, pola ini tampaknya berlanjut dalam era reformasi, meskipun bentuknya lebih halus atau terbuka tergantung pada konteks.
Ancaman seringkali muncul sebagai pengganti dialog atau negosiasi berbasis argumen, terutama ketika rasa percaya antaraktor politik rendah dan proses hukum dipersepsikan tidak adil.
Pertikaian politik atau demokrasi bermasalah
Ancaman dari Hasto dan respons dari tokoh-tokoh lain dapat dilihat sebagai bagian dari pertikaian politik yang lebih besar, terutama antara kubu PDIP dan pihak-pihak lain yang mungkin mengambil keuntungan dari kasus ini. Ancaman tersebut bisa jadi merupakan taktik untuk mengamankan posisi mereka dalam peta kekuasaan.
Di sisi lain, jika ancam-mengancam menjadi cara utama untuk menyelesaikan konflik atau memperjuangkan kepentingan, ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami masalah serius. Demokrasi seharusnya mendorong transparansi, dialog, dan penghormatan terhadap hukum, bukan retorika intimidasi.
Apa yang bisa dilakukan
Untuk meminimalkan penggunaan ancaman dalam politik, sistem hukum harus benar-benar independen, transparan, dan dapat dipercaya oleh semua pihak. Jika hukum berjalan adil, aktor politik tidak akan merasa perlu menggunakan ancaman untuk melindungi diri.
Pendidikan politik yang mendorong dialog, toleransi, dan penghormatan terhadap proses hukum perlu terus dikembangkan. Media dan masyarakat sipil juga berperan dalam memantau dan mengkritik retorika ancaman yang tidak produktif.
Fenomena ancam-mengancam yang saya istilahkan beberapa waktu lalu sebagai demokrasi ancam-mengancam mencerminkan kelemahan dalam budaya politik Indonesia saat ini. Ini adalah gabungan dari sistem hukum yang dipersepsikan tidak adil, rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi negara, dan warisan budaya politik otoriter. Jika ancaman terus menjadi alat utama dalam politik, maka ini akan merusak fondasi demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Patriot, Medan Satria, Bks utara, Mon', Dec' 30, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H