Mendekati pandangan kritis di atas, tidaklah semudah membalik telapak tangan kita. Ini tentu memerlukan pendekatan yang kritis dan berbasis data. Status terbaru Meilanie mencerminkan pandangan skeptis dan emosional terhadap situasi politik dan hukum di Indonesia, terutama terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengaruh kekuasaan politik.
Konteks Independensi KPK
Perubahan Undang-Undang KPK yang memperkenalkan Dewan Pengawas, kewajiban pegawai KPK menjadi ASN, dan penghapusan kewenangan penyadapan tanpa izin dianggap sebagai pelemahan lembaga tersebut. Banyak pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan pegiat antikorupsi, mengkritik revisi ini sebagai langkah yang mengurangi independensi KPK.
Setelah revisi UU KPK, persepsi masyarakat terhadap independensi KPK menurun. Lembaga ini dinilai lebih rentan terhadap intervensi politik, seperti terlihat dari kasus-kasus besar yang tidak tersentuh dibandingkan kasus kecil yang disorot.
Tudingan "Alat Penguasa"
Tuduhan bahwa KPK dijadikan alat politik bukanlah hal baru. Namun, ini perlu dianalisis lebih dalam dengan melihat data konkret tentang pola penegakan hukum, apakah ada indikasi bahwa target penindakan selektif atau tergantung pada kedekatan dengan kekuasaan.
Jika benar KPK menjadi alat politik, ini mencerminkan kelemahan sistemik dalam pemisahan kekuasaan dan penegakan hukum yang independen.
Tinjauan terhadap Kritik pada Jokowi dan Prabowo
Kritik terhadap pemerintahan Jokowi, terutama soal penggergajian KPK, cukup beralasan bila dikaitkan dengan revisi UU KPK yang terjadi pada masa pemerintahannya. Namun, menilai seluruh kebijakan dan dinamika politiknya sebagai bagian dari upaya mempertahankan kekuasaan, ini tentu memerlukan bukti lebih spesifik.
Sebagai penerus Jokowi, Prabowo dihadapkan pada ekspektasi publik untuk memperbaiki kelemahan pemerintahan sebelumnya. Namun, hingga saat ini belum ada indikasi bahwa ia akan melakukan langkah besar untuk mengembalikan independensi KPK atau melakukan reformasi hukum.
Dua sisi dari mata uang yang sama