Risiko dan tantangan bagi Indonesia
Bergabung dengan BRICS dapat memicu tekanan politik dan ekonomi dari Barat, termasuk sanksi tidak langsung atau hambatan perdagangan.
Indonesia harus berhati-hati untuk tidak terlihat terlalu berpihak pada BRICS sehingga kehilangan fleksibilitasnya dalam bernegosiasi dengan Barat, termasuk AS dan Uni Eropa.
Jika BRICS semakin dianggap sebagai blok anti-Barat, Indonesia berisiko terjebak dalam persaingan geopolitik besar yang tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan nasional.
Pendekatan pragmatis Prabowo
Presiden Prabowo tampaknya ingin menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan BRICS. Kehadiran Menlu Sugiono di KTT BRICS Plus 2024 adalah sinyal keterlibatan strategis tanpa langsung menjadi bagian penuh dari blok tersebut. Ini mencerminkan langkah pragmatis untuk mengevaluasi manfaat dan risiko sebelum membuat keputusan final.
Langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS sejalan dengan tujuan memperkuat kedaulatan ekonomi dan politik di tengah tatanan dunia multipolar. Namun, tantangan baru seperti kembalinya Donald Trump dan perubahan geopolitik middle-east menuntut Indonesia untuk bersikap lebih hati-hati.Â
Pendekatan terbaik adalah memanfaatkan keanggotaan BRICS sebagai alat diplomasi ekonomi tanpa mengorbankan hubungan strategis dengan Barat. Fleksibilitas dan pragmatisme adalah kunci untuk memastikan kepentingan nasional tetap terjaga.
Lihat:
https://www.tempo.co/politik/prabowo-ungkap-keseriusan-indonesia-gabung-brics-saat-di-brasil-1169675