Buzzers
Hanya saja kalau ditelisik tayangan siaran langsung JTV dan RRI terkait Debat Publik pertama dan kedua, menyusul debat publik ketiga tgl 20 Nopember nanti. ternyata dalam chattingan YouTube banyak postingan yang terkesan kuat seperti bunyi buzzers seperti biasanya. Postingan ini melukai paslon ybs.Â
Misalnya ada postingan yang mengelu-elukan Wali seraya mencemooh Abadi yang dikatakan cacad karena kasus bancakan semasa Anton menjabat Walikota Malang.Â
Ada juga fanatisme daerah, misalnya Ali Muthohirin calon wakil walikota malang yang disebut adalah warga Genteng asal Lamongan. Tiba-tiba ada suara sebaiknya kita dukung Muthohirin dan kita Lamongankan Malang. Yang tak disinggung oleh para buzzers ini adalah HC-Ganis. So, dapat dilihat secara hidden sepertinya ada paslon tertentu yang sangat bersemangat mengerahkan segala cara asalkanmenang dalam pilkada kali ini.
Fenomena tentang komentar di platform seperti YouTube selama debat publik Pilkada Malang memang mengindikasikan adanya strategi kampanye yang agresif, terutama melalui penggunaan buzzers. Aktivitas ini terlihat dari beberapa komentar yang berulang kali menonjolkan pasangan tertentu atau menjatuhkan pasangan lainnya, yang sering kali terkesan sistematis dan berlebihan.
Penggunaan Buzzers sebagai strategi kampanye
Memanfaatkan buzzers atau akun-akun yang secara intens mendukung atau menyerang pasangan calon adalah strategi yang kerap dilakukan di era digital.Â
Hanya saja, ini bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun tujuannya adalah untuk membangun citra positif bagi calon tertentu, penggunaan bahasa yang kasar, negatif, atau menyerang cenderung justru dapat merusak citra pasangan yang didukung. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan sentimen negatif terhadap pasangan calon yang diasosiasikan dengan buzzer-buzzer ini.
Dampak pada persepsi publik dan polaritas masyarakat
Komentar-komentar yang terlalu fanatik atau bernada ofensif dapat meningkatkan polarisasi di masyarakat. Misalnya, pernyataan terkait fanatisme daerah yang berbunyi "Lamongankan Malang" bukan hanya dapat mengurangi dukungan bagi calon tersebut, tapi juga bisa menciptakan resistensi dari warga Malang asli yang merasa bahwa kampanye itu kurang menghormati identitas lokal. Pendekatan berbasis fanatisme daerah semacam ini berisiko tinggi dan bisa memperlebar jarak antara pemilih.
Ketidakseimbangan dalam kritik paslon