Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

China Menuju Sistem Ekonomi Sosialis Termaju

6 September 2024   16:35 Diperbarui: 6 September 2024   16:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 The China (Degrowth) Syndrome. (Sumber : aei.org).

Populasi China pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 1.419.3 juta atau 1,419 miliar orang. China terus mengalami penurunan populasi, dengan penurunan tahunan sekitar -0,224% pada tahun 2024 (Statistics Times).

Populasi AS pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 339,5 juta orang. Populasi negara ini terus bertumbuh, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 0,5% (World Population Review).

Populasi Jepang pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 122,5 juta orang. Jepang juga mengalami penurunan populasi dengan tingkat penurunan tahunan sekitar -0,6%(Worldometer).

Populasi di ketiga negara ini mencerminkan tren demografis yang berbeda: China dan Jepang menghadapi tantangan penurunan populasi, sedangkan AS masih mengalami pertumbuhan populasi yang positif.

Pendorong Inovasi Teknologi

Membaca tulisan Jacob Dreyer dalam NOEMA edisi 11 Juni 2024 dengan topik deglobalisasi, urbanisasi yang cepat di China telah membawa perubahan besar dalam struktur demografis dan sosial. Kaum muda di China semakin banyak bergerak ke kota-kota besar, yang menyebabkan perubahan gaya hidup, pola konsumsi, dan dinamika ekonomi. Mereka menjadi pendorong inovasi teknologi dan perubahan ekonomi, namun juga menghadapi tantangan seperti ketidakstabilan pekerjaan, tekanan biaya hidup, dan degradasi lingkungan.

Seiring dengan meningkatnya tingkat urbanisasi, China juga menghadapi tantangan penuaan populasi, mirip dengan apa yang dihadapi Jepang selama beberapa dekade terakhir. Penuaan populasi ini membawa risiko penurunan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan biaya perawatan kesehatan. Kombinasi ini dapat menyebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, mengurangi daya saing global negara tersebut.

Jepang, pada masa keemasannya, mengalami booming ekonomi yang sangat cepat, seperti yang dialami China saat ini, dengan pengaruh besar dalam pendidikan, industri, dan pembangunan infrastruktur. Jepang pun menjadi pusat perhatian di dunia internasional, terutama sebagai pemasok utama mahasiswa ke universitas di AS. Namun, setelah "gelembung" ekonomi meledak, Jepang mengalami "dekade yang hilang," di mana pertumbuhan ekonomi stagnan.

Dalam periode ini, Jepang berhasil beralih dari ekonomi pertumbuhan cepat menuju ekonomi yang lebih stabil dan fokus pada kualitas hidup, dengan kota seperti Tokyo yang menjadi salah satu kota besar paling terjangkau dan layak huni di dunia. Transformasi ini juga ditandai oleh pergeseran fokus dari pembangunan ekonomi berbasis utang dan pembangunan infrastruktur besar-besaran ke pemeliharaan budaya, inovasi kreatif, dan kualitas hidup.

Skenario "Degrowth"

Berdasarkan pengalaman Jepang, ada kemungkinan China juga akan menuju fase "degrowth" atau pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di masa yad. Di bawah skenario ini, kita bisa melihat kota-kota China yang saat ini berkembang pesat mungkin mengalami transformasi menuju model yang lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini bisa pengembangan ruang yang lebih fokus pada komunitas, kreativitas, seni, dan budaya, serta peningkatan kualitas hidup, mirip dengan apa yang dialami Jepang pasca-booming.

Perspektif orang Jepang pada masa booming tentang masa depan mereka yang dipenuhi oleh kota besar yang kacau dan kejahatan tidak menjadi kenyataan. Sebaliknya, kota-kota Jepang berubah menjadi tempat yang lebih tenang dan menarik bagi seniman dan individu yang mengejar kepentingan pribadi. Ini menunjukkan pandangan masa depan kita seringkali merupakan refleksi dari keadaan saat ini dan bisa meleset dari kenyataan yang akan datang.

Seiring dengan penuaan populasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, China kemungkinan besar akan mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan dan fokus pada kualitas hidup, belajar dari pengalaman Jepang dalam menavigasi masa pasca-booming.

Japanifikasi

"Japanifikasi" bagi China mengimplikasikan stagnasi ekonomi seperti yang dialami Jepang, di mana pertumbuhan ekonomi melambat dan harga aset, terutama real estat, tetap tertekan selama beberapa dekade. Jepang mengalami krisis "gelembung" aset di tahun 1990-an, yang menyebabkan stagnasi pertumbuhan ekonomi dan masalah struktural yang terus berlanjut hingga hari ini. China juga berisiko menghadapi tantangan serupa dengan beban utang yang tinggi di sektor real estat dan perusahaan.

China, seperti Jepang, menghadapi masalah demografis berupa populasi yang menua dengan cepat dan penurunan angka kelahiran. Ketika tenaga kerja yang lebih muda menyusut dan populasi yang lebih tua meningkat, beban pada sistem pensiun dan perawatan kesehatan akan meningkat, mengurangi konsumsi dan produktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Pengalaman Jepang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dapat mengakibatkan pesimisme di kalangan masyarakat dan menurunnya kepercayaan diri ekonomi. Dalam konteks China, hal ini bisa menyebabkan ketidakpuasan sosial, terutama jika harapan akan kemajuan ekonomi yang cepat tidak terpenuhi.

Ekonom China Justin Yifu Lin berpendapat "Japanifikasi" tidak mungkin terjadi di China karena beberapa faktor unik seperti ukuran pasar domestiknya, kontrol atas mata uangnya sendiri, dan kemampuan untuk mendorong perkembangan teknologi. Strategi China di sini adalah memastikan teknologi dan inovasi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi berikutnya, bukan hanya konsumsi domestik atau ekspor seperti sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari fokus mereka pada AI, informasi kuantum, teknologi biologi, dan lainnya.

Meskipun Jepang mengalami "dekade yang hilang" secara ekonomi, negara ini tetap menjadi salah satu negara paling maju dengan standar hidup tinggi, infrastruktur yang sangat baik, dan lingkungan sosial yang stabil. Jika China bisa mencapai keseimbangan seperti ini, stabilitas ekonomi dan sosial yang datang bersamanya bisa jadi lebih diinginkan ketimbang pertumbuhan pesat namun tidak stabil.

Perubahan dalam arah kebijakan ekonomi China menuju "pembangunan berkualitas tinggi" menunjukkan pemerintah berusaha menyesuaikan prioritas mereka. Pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada kualitas hidup, pendidikan, dan kesehatan mungkin tidak mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang mengesankan tetapi bisa menghasilkan masyarakat yang lebih stabil dan puas, serupa dengan apa yang terjadi di Jepang.

Skenario "Japanifikasi" juga bisa berarti China berkembang menjadi ekonomi yang lebih seimbang dengan distribusi kekayaan yang lebih merata dan fokus pada inovasi dan teknologi. Pemerintah China tampaknya mengarah ke arah ini dengan rencana mereka untuk "kemakmuran bersama" dan membangun "ekonomi berbentuk buah zaitun."

Kendati ada ketakutan terhadap "Japanifikasi," beberapa elemen dari transformasi Jepang sebenarnya dapat menjadi contoh positif bagi China dalam hal stabilitas, fokus pada kualitas hidup, dan inovasi. Namun, tantangan utama bagi China adalah mengelola transisi ini tanpa terjebak dalam stagnasi ekonomi yang berkepanjangan dan ketidakpuasan sosial, seperti yang dikhawatirkan oleh para ekonom seperti Magnus dan Dalio. Pembangunan masa depan China, yang didorong oleh teknologi dan inovasi, bisa jadi memungkinkannya untuk menghindari jebakan "Japanifikasi," tetapi tetap saja, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dampak krisis demografi di China

Fenomena menurunnya angka kelahiran di China dan peningkatan populasi lansia telah menjadi isu krusial dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik negara tersebut. Dengan transisi cepat dari masyarakat pedesaan ke masyarakat perkotaan, dan kebanyakan keluarga kelas menengah yang memilih untuk memiliki lebih sedikit anak, China menghadapi tantangan demografis yang signifikan. Jika situasi ini berlanjut tanpa ada perubahan besar, China pada tahun 2035 bisa menjadi negara dengan mayoritas penduduk lansia yang mengutamakan stabilitas dan mempertahankan status quo.

Populasi China diproyeksikan turun dari 1,4 miliar menjadi sekitar 1,3 miliar pada tahun 2050. Tren ini akan menyebabkan peningkatan proporsi populasi lansia yang secara signifikan akan mengubah dinamika sosial dan ekonomi. Situasi ini sudah terlihat di beberapa kota besar seperti Shanghai, di mana jalanan lebih sepi dibandingkan kota-kota seperti New York. Banyak warga lanjut usia yang tetap tinggal di rumah mereka karena aturan properti yang kompleks, dan tidak banyak yang pindah ke tempat lain untuk menikmati masa pensiun.

Seiring dengan meningkatnya populasi lansia, akan ada peningkatan permintaan untuk layanan perawatan lansia. Ini termasuk munculnya kelompok perawat yang membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari seperti mandi, memasak, dan kegiatan lainnya. Kota-kota di China mungkin akan semakin tenang dan cenderung lebih mengutamakan kenyamanan dan stabilitas daripada perubahan atau perkembangan yang cepat.

Kota-kota yang didominasi oleh populasi lansia cenderung lebih konservatif dan kurang terbuka terhadap perubahan. Masyarakat yang menua cenderung lebih fokus pada pelestarian barang-barang lama, nilai-nilai tradisional, dan kenangan masa lalu. Situasi ini bisa menimbulkan frustrasi bagi kaum muda yang merasa bahwa struktur sosial dan politik tidak memberi ruang bagi ide-ide baru dan perubahan yang lebih progresif. Jepang saat ini merupakan contoh nyata di mana masyarakat yang menua sering kali dianggap konservatif dan kurang dinamis.

Dalam masyarakat di mana sebagian besar populasi adalah lansia, mereka cenderung memiliki pengaruh politik yang signifikan. Kaum muda di China, seperti di negara-negara lain dengan populasi lansia yang besar, mungkin mengeluhkan dominasi kekuasaan politik oleh generasi yang lebih tua. Hal ini dapat mengarah pada monopoli kebijakan yang lebih berfokus pada kebutuhan lansia daripada investasi di bidang-bidang seperti pendidikan, teknologi, atau infrastruktur yang lebih relevan bagi generasi muda.

Dengan perubahan demografi ini, kota-kota di China mungkin tidak akan lagi menjadi pusat aktivitas dinamis yang sama seperti yang kita lihat saat ini. Sebaliknya, mereka mungkin menjadi tempat di mana pensiunan menghabiskan hari-hari mereka dengan kegiatan yang lebih santai, seperti bermain mahjong, berjalan di taman, atau menonton TV. Ini mungkin membuat kota-kota tersebut menjadi lebih mirip dengan daerah perumahan yang tenang di negara-negara Barat yang juga mengalami penuaan populasi.

Implikasi bagi masa depan China

Fenomena menurunnya angka kelahiran dan penuaan populasi ini membawa implikasi besar bagi masa depan China. Jika China tidak mampu menyesuaikan kebijakannya untuk mengatasi masalah demografis ini - seperti meningkatkan angka kelahiran, menarik imigran muda, atau berinvestasi besar-besaran dalam teknologi dan produktivitas - negara ini mungkin akan menghadapi stagnasi ekonomi dan sosial yang berkepanjangan. Dalam hal ini, perbandingan dengan Jepang adalah signifikan. Jepang telah berhasil mempertahankan stabilitas sosial dan kualitas hidup meskipun ekonominya stagnan, dan ini bisa menjadi model bagi China untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup.

Namun, pada saat yang sama, tantangan untuk mempertahankan dinamika dan inovasi tetap nyata. Masyarakat yang menua, yang cenderung konservatif dan berorientasi pada stabilitas, mungkin tidak cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat, dan ini bisa menjadi hambatan bagi ambisi China untuk menjadi pemimpin global di berbagai bidang teknologi dan ekonomi.

Strategi China menghadapi tantangan Demografis

Menghadapi tantangan demografis yang serius akibat penurunan angka kelahiran dan penuaan populasi, China tampaknya beralih ke otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan inovasi teknologi untuk mempertahankan dan meningkatkan ekonominya, terutama di sektor manufaktur. Ini adalah respons terhadap perubahan struktur tenaga kerja, yang kini lebih sedikit jumlahnya dan lebih terdidik.

Dengan jumlah tenaga kerja yang semakin menurun dan semakin terdidik, China fokus pada otomatisasi dan penggunaan AI untuk meningkatkan produktivitas di sektor manufaktur. Contohnya adalah pabrik tanpa lampu (lights-out factories) seperti milik Foxconn di Shenzhen, yang meskipun tidak umum, menggambarkan tren penggunaan robot dan otomatisasi dalam pabrik-pabrik China. Otomatisasi ini memungkinkan manufaktur untuk tetap beroperasi efisien meskipun dengan tenaga kerja manusia yang lebih sedikit.

China telah menjadi pemain utama dalam adopsi teknologi hijau seperti kendaraan listrik, di mana mereka telah mengurangi biaya produksi hingga di bawah US D 10.000 per unit melalui inovasi di sektor manufaktur dan kebijakan subsidi pemerintah. Selain itu, jaringan kereta api berkecepatan tinggi di China menggunakan AI untuk mengelola jadwal keberangkatan dan memitigasi penundaan karena cuaca buruk, menunjukkan bagaimana teknologi cerdas diterapkan untuk mengoptimalkan infrastruktur transportasi.

Dengan populasi lansia yang semakin besar, sistem kesehatan China sedang bertransformasi menjadi salah satu yang paling canggih di dunia, menggunakan data besar dan AI untuk menghasilkan terobosan di bidang kesehatan. Pada tahun 2023, China telah melampaui AS dalam jumlah uji klinis untuk obat baru. Hal ini didorong oleh kebutuhan populasi yang menua dan tingginya angka kasus penyakit seperti kanker, yang mencapai 4,6 juta diagnosis baru setiap tahunnya.

Seiring waktu, sektor bioteknologi China yang selama ini berkinerja kurang baik mulai berkembang. Dengan basis data besar tentang penuaan dan masalah kesehatan lainnya, serta pasar yang sangat besar, China diperkirakan akan menciptakan perusahaan-perusahaan bioteknologi terkemuka dunia, seperti Huawei di bidang teknologi. Perusahaan seperti Insilico Medicine, yang menggunakan teknologi canggih Amerika untuk penelitian medis di China, menunjukkan bagaimana integrasi teknologi global dapat memacu inovasi lokal.

Implikasi ekonomi dan sosial

China tampaknya bersiap untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun dalam dekade mendatang meskipun terjadi penuaan populasi. Ini akan dicapai melalui ekosistem manufaktur berteknologi tinggi yang digerakkan oleh AI. Namun, ekonomi yang semakin terotomatisasi ini akan ada berdampingan dengan masyarakat yang terasa stagnan, di mana kaum lansia mendominasi lanskap sosial dan budaya. Kaum lansia di China, yang dipantau melalui sistem perawatan kesehatan canggih, akan menjadi bagian dari eksperimen panjang dalam studi penuaan dan perawatan kesehatan.

Pada akhirnya, China mungkin akan terus menjadi kekuatan ekonomi global melalui pengembangan teknologi hijau, otomatisasi manufaktur, dan inovasi dalam perawatan kesehatan, meskipun demografi dan dinamika sosialnya berubah. Kombinasi antara masyarakat yang menua dan terobosan teknologi dapat menghasilkan kontradiksi yang menarik, yi ekonomi yang maju secara teknologi tetapi sosial yang lebih konservatif dan stabil.

Metafora "De-Growth" di Jepang

Metafora "de-growth" yang digunakan untuk menggambarkan Jepang merujuk pada cara negara ini telah beradaptasi dengan dekade pertumbuhan ekonomi yang lambat dan penurunan angka kelahiran. Jepang telah mencapai keseimbangan yang unik di mana pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi tujuan utama, tetapi kehidupan sehari-hari, komunitas, hubungan antarindividu, dan hobi justru menjadi pusat perhatian. Konsep "de-growth" ini bukan berarti stagnasi dalam pengertian negatif, tetapi lebih pada fokus terhadap kualitas hidup dan keberlanjutan sosial daripada akumulasi kapital.

Di Jepang, terutama di kota-kota yang lebih kecil seperti Onomichi, ada fenomena di mana rumah-rumah tua yang ditinggalkan bisa diambil oleh siapa saja yang bersedia merenovasi dan tinggal di sana. Hal ini memungkinkan komunitas kreatif dan alternatif untuk berkembang tanpa perlu khawatir tentang biaya sewa atau tekanan keuangan yang sering kali membebani warga di kota-kota besar seperti New York atau London. Eksperimen hidup komunal oleh Sam Holden dan teman-temannya di Onomichi adalah contoh nyata dari pendekatan ini, di mana mereka bisa fokus pada kegiatan-kegiatan seperti memasak, membangun, dan belajar bersama, tanpa tekanan ekonomi yang berlebihan.

Yang menarik, banyak juga orang yang tinggal di kota-kota besar seperti Tokyo tidak merasa terlalu khawatir tentang membayar sewa karena faktor-faktor seperti stabilitas pekerjaan dan harga sewa yang relatif terkendali. Hal ini menciptakan lingkungan di mana butik dan restoran unik dapat tumbuh subur, berlawanan dengan kota-kota di negara maju lain yang dikuasai oleh jaringan bisnis besar dan generik. Ini mencerminkan cara Jepang melawan pola kapitalisme yang cenderung menghomogenkan kehidupan perkotaan di negara-negara maju lainnya.

Setelah dekade pertumbuhan ekonomi yang rendah dan peristiwa traumatis seperti gempa bumi Kobe dan serangan Aum Shinrikyo, masyarakat Jepang beralih dari antusiasme ekonomi yang tinggi ke kehidupan yang lebih reflektif. Ini juga berarti bahwa Jepang mengembangkan cara hidup yang lebih berkaitan dengan komunitas dan hubungan antarindividu, di mana kegiatan sehari-hari, seperti perawatan diri, hubungan keluarga, dan pengembangan pribadi, dianggap lebih penting dibandingkan akumulasi kekayaan.

Jepang menawarkan gaya hidup yang lebih fokus pada pengalaman dan kualitas hidup daripada konsumsi materialistis yang biasa ditemukan di negara-negara dengan ekonomi pertumbuhan tinggi. Produksi semen dan pembangunan infrastruktur mungkin tidak lagi menjadi prioritas, tetapi kesejahteraan individu melalui seni, kuliner, dan rekreasi justru mendapat perhatian lebih besar.

Dalam konteks ini, perubahan di Jepang dapat dibandingkan dengan transformasi urbanisasi di China. Di China, urbanisasi yang agresif masih menjadi agenda utama, dengan proyeksi bahwa 75% populasi akan tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2035. Namun, beberapa bagian dari China seperti Dalian mengalami perubahan sosial yang mirip dengan "de-growth" Jepang. Misalnya, kota seperti Dalian telah beralih dari pusat industri menjadi tempat dengan gaya hidup yang lebih santai dan konsumtif, mengindikasikan adanya potensi paralel dalam perjalanan "de-growth" di masa depan China.

Dengan demikian, "de-growth" Jepang tidak hanya menjadi model alternatif bagi negara-negara yang menghadapi tantangan demografis dan ekonomi serupa tetapi juga memberikan pandangan berbeda tentang apa yang dimaksud dengan "kemajuan" dan "kesejahteraan."

Kiong Hii China ....

Lihat :

https://www.noemamag.com/china-in-2035/

https://www.aei.org/articles/the-china-degrowth-syndrome/

https://asia.nikkei.com/Economy/Asia-develops-an-appetite-for-degrowth-doughnut-economics

Joyogrand, Malang, Fri', Sept' 06, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun