Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

China Menuju Sistem Ekonomi Sosialis Termaju

6 September 2024   16:35 Diperbarui: 6 September 2024   16:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 The China (Degrowth) Syndrome. (Sumber : aei.org).

Berdasarkan pengalaman Jepang, ada kemungkinan China juga akan menuju fase "degrowth" atau pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di masa yad. Di bawah skenario ini, kita bisa melihat kota-kota China yang saat ini berkembang pesat mungkin mengalami transformasi menuju model yang lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini bisa pengembangan ruang yang lebih fokus pada komunitas, kreativitas, seni, dan budaya, serta peningkatan kualitas hidup, mirip dengan apa yang dialami Jepang pasca-booming.

Perspektif orang Jepang pada masa booming tentang masa depan mereka yang dipenuhi oleh kota besar yang kacau dan kejahatan tidak menjadi kenyataan. Sebaliknya, kota-kota Jepang berubah menjadi tempat yang lebih tenang dan menarik bagi seniman dan individu yang mengejar kepentingan pribadi. Ini menunjukkan pandangan masa depan kita seringkali merupakan refleksi dari keadaan saat ini dan bisa meleset dari kenyataan yang akan datang.

Seiring dengan penuaan populasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, China kemungkinan besar akan mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan dan fokus pada kualitas hidup, belajar dari pengalaman Jepang dalam menavigasi masa pasca-booming.

Japanifikasi

"Japanifikasi" bagi China mengimplikasikan stagnasi ekonomi seperti yang dialami Jepang, di mana pertumbuhan ekonomi melambat dan harga aset, terutama real estat, tetap tertekan selama beberapa dekade. Jepang mengalami krisis "gelembung" aset di tahun 1990-an, yang menyebabkan stagnasi pertumbuhan ekonomi dan masalah struktural yang terus berlanjut hingga hari ini. China juga berisiko menghadapi tantangan serupa dengan beban utang yang tinggi di sektor real estat dan perusahaan.

China, seperti Jepang, menghadapi masalah demografis berupa populasi yang menua dengan cepat dan penurunan angka kelahiran. Ketika tenaga kerja yang lebih muda menyusut dan populasi yang lebih tua meningkat, beban pada sistem pensiun dan perawatan kesehatan akan meningkat, mengurangi konsumsi dan produktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Pengalaman Jepang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dapat mengakibatkan pesimisme di kalangan masyarakat dan menurunnya kepercayaan diri ekonomi. Dalam konteks China, hal ini bisa menyebabkan ketidakpuasan sosial, terutama jika harapan akan kemajuan ekonomi yang cepat tidak terpenuhi.

Ekonom China Justin Yifu Lin berpendapat "Japanifikasi" tidak mungkin terjadi di China karena beberapa faktor unik seperti ukuran pasar domestiknya, kontrol atas mata uangnya sendiri, dan kemampuan untuk mendorong perkembangan teknologi. Strategi China di sini adalah memastikan teknologi dan inovasi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi berikutnya, bukan hanya konsumsi domestik atau ekspor seperti sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari fokus mereka pada AI, informasi kuantum, teknologi biologi, dan lainnya.

Meskipun Jepang mengalami "dekade yang hilang" secara ekonomi, negara ini tetap menjadi salah satu negara paling maju dengan standar hidup tinggi, infrastruktur yang sangat baik, dan lingkungan sosial yang stabil. Jika China bisa mencapai keseimbangan seperti ini, stabilitas ekonomi dan sosial yang datang bersamanya bisa jadi lebih diinginkan ketimbang pertumbuhan pesat namun tidak stabil.

Perubahan dalam arah kebijakan ekonomi China menuju "pembangunan berkualitas tinggi" menunjukkan pemerintah berusaha menyesuaikan prioritas mereka. Pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada kualitas hidup, pendidikan, dan kesehatan mungkin tidak mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang mengesankan tetapi bisa menghasilkan masyarakat yang lebih stabil dan puas, serupa dengan apa yang terjadi di Jepang.

Skenario "Japanifikasi" juga bisa berarti China berkembang menjadi ekonomi yang lebih seimbang dengan distribusi kekayaan yang lebih merata dan fokus pada inovasi dan teknologi. Pemerintah China tampaknya mengarah ke arah ini dengan rencana mereka untuk "kemakmuran bersama" dan membangun "ekonomi berbentuk buah zaitun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun