Di Jepang, terutama di kota-kota yang lebih kecil seperti Onomichi, ada fenomena di mana rumah-rumah tua yang ditinggalkan bisa diambil oleh siapa saja yang bersedia merenovasi dan tinggal di sana. Hal ini memungkinkan komunitas kreatif dan alternatif untuk berkembang tanpa perlu khawatir tentang biaya sewa atau tekanan keuangan yang sering kali membebani warga di kota-kota besar seperti New York atau London. Eksperimen hidup komunal oleh Sam Holden dan teman-temannya di Onomichi adalah contoh nyata dari pendekatan ini, di mana mereka bisa fokus pada kegiatan-kegiatan seperti memasak, membangun, dan belajar bersama, tanpa tekanan ekonomi yang berlebihan.
Yang menarik, banyak juga orang yang tinggal di kota-kota besar seperti Tokyo tidak merasa terlalu khawatir tentang membayar sewa karena faktor-faktor seperti stabilitas pekerjaan dan harga sewa yang relatif terkendali. Hal ini menciptakan lingkungan di mana butik dan restoran unik dapat tumbuh subur, berlawanan dengan kota-kota di negara maju lain yang dikuasai oleh jaringan bisnis besar dan generik. Ini mencerminkan cara Jepang melawan pola kapitalisme yang cenderung menghomogenkan kehidupan perkotaan di negara-negara maju lainnya.
Setelah dekade pertumbuhan ekonomi yang rendah dan peristiwa traumatis seperti gempa bumi Kobe dan serangan Aum Shinrikyo, masyarakat Jepang beralih dari antusiasme ekonomi yang tinggi ke kehidupan yang lebih reflektif. Ini juga berarti bahwa Jepang mengembangkan cara hidup yang lebih berkaitan dengan komunitas dan hubungan antarindividu, di mana kegiatan sehari-hari, seperti perawatan diri, hubungan keluarga, dan pengembangan pribadi, dianggap lebih penting dibandingkan akumulasi kekayaan.
Jepang menawarkan gaya hidup yang lebih fokus pada pengalaman dan kualitas hidup daripada konsumsi materialistis yang biasa ditemukan di negara-negara dengan ekonomi pertumbuhan tinggi. Produksi semen dan pembangunan infrastruktur mungkin tidak lagi menjadi prioritas, tetapi kesejahteraan individu melalui seni, kuliner, dan rekreasi justru mendapat perhatian lebih besar.
Dalam konteks ini, perubahan di Jepang dapat dibandingkan dengan transformasi urbanisasi di China. Di China, urbanisasi yang agresif masih menjadi agenda utama, dengan proyeksi bahwa 75% populasi akan tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2035. Namun, beberapa bagian dari China seperti Dalian mengalami perubahan sosial yang mirip dengan "de-growth" Jepang. Misalnya, kota seperti Dalian telah beralih dari pusat industri menjadi tempat dengan gaya hidup yang lebih santai dan konsumtif, mengindikasikan adanya potensi paralel dalam perjalanan "de-growth" di masa depan China.
Dengan demikian, "de-growth" Jepang tidak hanya menjadi model alternatif bagi negara-negara yang menghadapi tantangan demografis dan ekonomi serupa tetapi juga memberikan pandangan berbeda tentang apa yang dimaksud dengan "kemajuan" dan "kesejahteraan."
Kiong Hii China ....
Lihat :
https://www.noemamag.com/china-in-2035/
https://www.aei.org/articles/the-china-degrowth-syndrome/
https://asia.nikkei.com/Economy/Asia-develops-an-appetite-for-degrowth-doughnut-economics