Pernyataan Germano menunjukkan pendekatan yang kontroversial terhadap penggusuran warga di Tasitolu. Dia menekankan penduduk sudah diberitahu sejak tahun lalu untuk meninggalkan area tersebut dan kembali ke desa asal mereka, dan mengklaim negara berhak "mengambil kembali propertinya." Cara pemerintah mengkomunikasikan dan melaksanakan kebijakan ini pastilah menimbulkan pertanyaan serius tentang pemahaman mereka terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
Implikasi sosial-politik
Mengambil tindakan tegas seperti penggusuran tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat dapat menyebabkan alienasi sosial dan memicu konflik politik. Ini dapat memperburuk kesenjangan antara elite pemerintah dan warga negara biasa, dan menciptakan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat Timor Leste.
Jika pemerintah Timor Leste ingin dianggap sebagai pemerintahan yang demokratis dan matang, diperlukan kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan penegakan hak asasi manusia. Meskipun mereka telah melakukan pemilu dan reformasi institusional, masih ada tantangan dalam bagaimana mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi ini dalam kebijakan sosial dan ekonomi yang adil dan inklusif.
Tasitolu akan dibanjiri 700.000 warga
Diperkirakan 700.000 orang akan menghadiri misa terbuka Paus Fransiskus di Tasitolu, di mana area seluas 23 hektar, setara dengan sekitar 40 lapangan sepak bola, sedang dipersiapkan.
Selain rencana kontroversial pemerintah untuk mengusir warga, para kritikus juga mempertanyakan keputusan untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk kunjungan tersebut - termasuk US $ 1 juta untuk altar baru Paus Fransiskus.
Sementara menurut PBB, hampir separuh penduduk Timor Leste saat ini hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
"Anggaran tahunan untuk meningkatkan produksi pangan di negara ini hanya sekitar US $ 4,7 juta," kata Mariano Fereira, seorang peneliti di Institut Pemantauan dan Analisis Pembangunan Timor-Leste, kepada UCA News. "Semua pengeluaran ini hampir tidak ada gunanya bagi ketersediaan pangan," tambahnya.
Ini tentu dilema besar dalam kebijakan pemerintah Timor Leste. Kritik terhadap pengeluaran yang berlebihan dan kurangnya perhatian terhadap masalah kemiskinan dan kebutuhan dasar rakyat menggarisbawahi tantangan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya negara.
Gereja Katolik, di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus, sering menekankan pada isu keadilan sosial, kemiskinan, dan hak asasi manusia. Pengeluaran besar untuk altar dan persiapan kunjungan ini, sementara banyak warga Timor Leste hidup dalam kemiskinan, bisa menarik kritik dari komunitas Katolik global dan mengundang pertanyaan tentang prioritas etika pemerintah Timor Leste.