Israel Vs Arab-Palestina menunggu Trump dan Abraham Accord
Israel memulai serangan militernya di Gaza setelah Hamas menyerbu Israel selatan, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 253 orang di Israel selatan pada 7 Oktober 2023.
Hingga kini konflik di Gaza telah berlangsung selama empat setengah bulan. Mengapa selama itu hanya untuk menghancurkan Hamas. Jawaban dari semua jawaban yang tersedia untuk ini saya pikir bukan karena Hamas dahsyat tak terkalahkan. Bukan, melainkan mereka masih menguasai sandera Israel sepenuhnya. Inilah tameng Hamas sekarang di terowongan terakhir mereka di Khan Younis. Ini yang membuat IDF tak bisa berbuat banyak. Bagi kalangan teroris nyawa manusia tak ubahnya sepotong kerupuk yang tak ada harganya. Tapi bagi tentara profesional seperti IDF tentu tidak. Berbagai cara sudah diusahakan IDF untuk menyelamatkan sandera. Sejauh membahayakan, IDF berhenti, Â mengaso dulu dan besok atau lusa dilanjut lagi dst. Intinya sandera first, dan lainnya terserah.
Semua upaya telah dilakukan komunitas internasional, termasuk Afrika Selatan yang bangga telah mengajukan Israel ke Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi. Meski tudingan genosida tak ada dalam keputusan Mahkamah tsb, kecuali Israel harus menghentikan aksi militernya di Gaza. Sayang, aksi gagah-gagahan Afsel inipun tak mendukung, malah membuat marah PM Israel Benyamin Netanyahu.
Upaya menghentikan Perang Gaza sejauh ini gagal, dan Israel malah bersikukuh bahwa ia harus menang mutlak, Hamas harus hancur dan tak ada ancaman lagi dari Gaza. Silakan dunia berkaok-kaok siapapun itu. Israel baru dapat berpikir hanya setelah ia menang mutlak di Gaza.
Belum lama ini Hamas mengusulkan rencana gencatan senjata yang akan menenangkan konflik bersenjata di Gaza atas proposal dari Qatar dan Mesir yang didukung AS. Usulan Hamas meliputi tiga fase yang masing-masing berlangsung selama 45 hari.
Â
Usulan tersebut akan memungkinkan Hamas menukar sisa sandera Israel yang mereka tangkap pada 7 Oktober dengan tahanan Arab-Palestina. Ketika rekonstruksi Gaza dimulai, pasukan Israel akan ditarik sepenuhnya, dan terjadi pertukaran jenazah antara Israel dan Hamas. Tapi apa lacur, Â Israel menertawakan usul ini.
Dalam merespon usulan gencatan senjata dari Hamas, pilihan terbaik pilihan internasional tetaplah melibatkan dialog yang lebih lanjut antara pihak-pihak terlibat, termasuk Israel dan Hamas. Meskipun Israel mungkin menertawakan usulan terbaru Hamas, upaya diplomasi dan negosiasi tetap merupakan jalan yang dapat dijelajahi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Keterlibatan pihak internasional, seperti mediator dari Qatar dan Mesir, dapat membantu memfasilitasi pembicaraan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Lalu bagaimana soal Hamas yang tetap ngotot dengan ideologinya bahwa Israel harus dihapuskan dari peta middle-east. Ini jelas tantangan yang harus bisa diatasi dalam penyelesaian konflik Israel Vs Arab-Palestina. Posisi ideologis nan kaku seperti itu membuat negosiasi menjadi sulit, bertentangan dengan keberadaan negara Israel itu sendiri. Tapi dalam situasi apapun upaya-upaya diplomatik tetap harus fokus pada usaha menemukan solusi damai melalui dialog dan mediasi internasional. Melibatkan pemain kunci di middle-east dan komunitas internasional sangatlah penting untuk mendorong proses perdamaian yang berkelanjutan.
Sementara kalangan nasionalis dan ultranasionalis di Israel melalui Ben Gvir menginginkan bahwa mereka orang Arab-Palestina itu sebaiknya  enyah secara sukarela dari tanah legacy Israel yang telah diubah namanya oleh kolonialis Romawi sebagai tanah Palestina, padahal itu semuanya, menurut kaum ultranasionalis ini, adalah tanah nenekmoyang mereka yang disebut tanah Israel.
Pendapat yang menyuarakan ide agar orang Arab-Palestina enyah secara sukarela dari tanah Israel seperti yang diungkapkan oleh tokoh seperti Itamar Ben Gvir, mencerminkan pandangan dan aspirasi dari sebagian masyarakat Israel. Ini adalah perspektif yang kontroversial dan bertentangan dengan pendekatan solusi dua negara yang telah menjadi landasan bagi beberapa upaya perdamaian.
Dalam konteks konflik Israel-Arab Palestina, upaya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan tetap harus mempertimbangkan hak-hak dan aspirasi kedua belah pihak. Menekankan supremasi atau mengusir satu kelompok etnis atau agama dari tanah tersebut mungkin tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan.
Pendapat seperti ini tidak selalu mencerminkan pandangan mayoritas di Israel atau di seluruh dunia. Ada berbagai pandangan dan sikap di kalangan masyarakat Israel, termasuk kelompok yang mendukung solusi dua negara yang damai dan berkelanjutan.
Dalam mencari solusi untuk konflik yang kompleks ini, dialog, pengertian, dan penghargaan terhadap hak-hak semua pihak menjadi kunci untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di middle-east.
Sementara dunia Arab sendiri selalu menghubung-hubungkan Yerusalem adalah tanah suci mereka, sementara secara historis Yerusalem adalah ibukota Israel sejak zaman King David. Pertanyaannya, apakah karena orang Kristen di dunia barat sudah menjadi sekuler semua hingga tidak ada pembelaan tentang hak historis Israel di tanah legacy-nya sendiri. Sementara kalangan evangelis di Amerika pun terhalang untuk membela Israel karena standar ganda politik luar negeri Amerika.
Permasalahan Yerusalem dan tanah suci memiliki dimensi religius, sejarah, dan politik yang kompleks. Yerusalem memiliki signifikansi religius bagi tiga agama besar dunia : Kristen, Islam, dan Yahudi. Klaim atas Yerusalem dan tanah sekitarnya seringkali menciptakan ketegangan dan konflik.
Sejarah Yerusalem mencakup berbagai periode, termasuk masa kejayaan di bawah pemerintahan Raja David dan Salomo di Kerajaan Israel kuno. Namun, dalam perjalanan sejarah, kota tersebut juga dikuasai oleh berbagai kekuatan, termasuk Romawi dan Bizantium, sebelum akhirnya menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam dan kemudian Kekaisaran Ottoman.
Pandangan tentang Yerusalem dan Israel dapat bervariasi di antara berbagai kelompok dan individu di seluruh dunia. Orang Kristen di dunia Barat, termasuk evangelis, memiliki sudut pandang khusus terhadap konflik Israel-Arab Palestina. Cukup banyak yang mendukung hak Israel berdasarkan keyakinan agama dan pandangan eschatologi, sementara yang lain mungkin memiliki pendekatan yang lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel.
Tidak semua orang Kristen atau orang Barat bersikap sekuler atau memiliki pandangan yang sama terkait hak-hak Israel. Ada spektrum pandangan yang luas di antara masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat.
Dalam politik luar negeri Amerika Serikat, ada berbagai faktor yang mempengaruhi pendekatan terhadap konflik Israel-Arab Palestina, termasuk pertimbangan keamanan nasional, hubungan dengan sekutu regional, dan kebijakan global. Standar ganda politik bisa menjadi faktor, tetapi hal ini kompleks dan melibatkan berbagai pertimbangan geopolitik.
Secara umum, isu Yerusalem dan Israel-Arab Palestina tetap menjadi fokus perhatian internasional, dan penyelesaiannya memerlukan dialog, negosiasi, dan kompromi di antara semua pihak yang terlibat.
Soal klaim tanah. Katakanlah Danau Toba diklaim oleh orang Jawa sebagai miliknya. Apakah orang Batak akan diam saja. Tentu tidak, karena Danau Toba adalah tanah legacy-nya dan bukan tanah legacy orang Jawa.
Ini adalah perbandingan yang relevan untuk menyoroti sensitivitas klaim terhadap warisan budaya atau tanah. Klaim atas tanah atau warisan budaya dapat menimbulkan ketegangan dan konflik, dan dalam beberapa kasus, masyarakat yang merasa memiliki hak historis terhadap suatu wilayah dapat menentang klaim dari kelompok atau individu lain.
Danau Toba yang disebutkan di atss sebagai contoh, masyarakat yang merasa memiliki hubungan historis atau budaya dengan wilayah tersebut mungkin tidak akan diam saja jika ada klaim atau tindakan yang dianggap merugikan atau melanggar hak mereka. Hal ini dapat memicu perdebatan, ketegangan, atau konflik, tergantung pada kompleksitas situasinya dan respons masyarakat yang terlibat.
Analogi ini membantu memahami bahwa klaim terhadap tanah atau warisan budaya dapat menciptakan ketegangan di mana pun di dunia, termasuk di antara kelompok etnis atau budaya yang memiliki sejarah dan hubungan khusus dengan suatu wilayah. Dalam konteks konflik Israel-Arab Palestina, tantangan terletak pada bagaimana menemukan solusi yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat, dengan mempertimbangkan hak-hak dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan.
Last but not least, mengapa tanah Arab yang begitu luas mulai dari Mesir sampai Arab Saudi tidak bisa menjadi tanah resettlement orang Arab yang tinggal di tanah legacy Israel sekarang. Mengapa Mesir begitu teganya menutup perbatasan mereka untuk orang Arab yang mengaku bernama Palestina itu.
Pertanyaan ini mencerminkan kompleksitas dan sensitivitas dari isu konflik Israel-Arab Palestina. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan termasuk sejarah konflik, identitas nasional, dan ketegangan geopolitik di middle-east.
Beberapa poin yang dapat menjelaskan mengapa solusi seperti "resettlement" tidak selalu mudah diimplementasikan :
1. Orang Arab-Palestina memiliki identitas nasional dan budaya mereka sendiri, terlepas dari wilayah geografis. Mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan memiliki tanah air yang diakui sebagai Arab-Palestina.
2. Meresetel orang Arab-Palestina ke negara Arab lain mungkin menimbulkan konflik identitas dan kemanusiaan baru, serta dapat dianggap sebagai tindakan pelepasan tanggungjawab terhadap situasi konflik yang sebenarnya.
3.Sejarah konflik ini melibatkan klaim tanah oleh kedua belah pihak dan upaya untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.
4. Pada tingkat internasional, banyak upaya dilakukan untuk mencapai perdamaian, termasuk proposal solusi dua negara dengan pembentukan negara Arab-Palestina yang diakui.
4. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah melibatkan banyak aktor, termasuk negara-negara Arab dan Israel. Beberapa negara memiliki hubungan diplomatik yang tegang dengan Israel, dan solusi resettlement dapat dianggap sebagai langkah yang tidak dapat diterima politiknya.
Hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih tempat tinggalnya. Memaksa orang untuk pindah ke negara lain tanpa persetujuan mereka dapat dianggap melanggar hak ini.
Pada tingkat internasional, banyak pihak mendukung penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan, dan solusi pemukiman dapat menghadirkan tantangan di tingkat diplomasi dan hukum internasional.
Konflik Israel-Arab Palestina terus berputar-putar dalam "lingkaran setan" tak terpecahkan. Israel semakin bertsikukuh bahwa tak boleh ada Arab-Palestina di sebelahnya. Dan Hamas berkeyakinan sama bahwa tak ada lagi Israel di peta middle-east.
Setidaknya ini warning bagi semua pihak bahwa pelurusan sejarah harus ada dan pelurusan HAM juga harus ada. Ini poin krusial yang boleh jadi hanya Trump yang dapat mengatasinya apabila dia terpilih nanti jadi Presiden baru AS menggantikan Joe Biden. Bukankah sudah ada Abraham Accord untuk itu, termasuk solusi dua negara dan ibukota Arab-Palestina yang bukan lagi di Yerusalem melainkan di salah kota di tepi barat.
Lihat :
https://www.reuters.com/world/middle-east/hamas-ceasefire-proposal-details-2024-02-07/
https://en.wikipedia.org/wiki/Two-state_solution
Joyogrand, Malang, Thu', Febr' 08, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H