Sementara kalangan nasionalis dan ultranasionalis di Israel melalui Ben Gvir menginginkan bahwa mereka orang Arab-Palestina itu sebaiknya  enyah secara sukarela dari tanah legacy Israel yang telah diubah namanya oleh kolonialis Romawi sebagai tanah Palestina, padahal itu semuanya, menurut kaum ultranasionalis ini, adalah tanah nenekmoyang mereka yang disebut tanah Israel.
Pendapat yang menyuarakan ide agar orang Arab-Palestina enyah secara sukarela dari tanah Israel seperti yang diungkapkan oleh tokoh seperti Itamar Ben Gvir, mencerminkan pandangan dan aspirasi dari sebagian masyarakat Israel. Ini adalah perspektif yang kontroversial dan bertentangan dengan pendekatan solusi dua negara yang telah menjadi landasan bagi beberapa upaya perdamaian.
Dalam konteks konflik Israel-Arab Palestina, upaya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan tetap harus mempertimbangkan hak-hak dan aspirasi kedua belah pihak. Menekankan supremasi atau mengusir satu kelompok etnis atau agama dari tanah tersebut mungkin tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan.
Pendapat seperti ini tidak selalu mencerminkan pandangan mayoritas di Israel atau di seluruh dunia. Ada berbagai pandangan dan sikap di kalangan masyarakat Israel, termasuk kelompok yang mendukung solusi dua negara yang damai dan berkelanjutan.
Dalam mencari solusi untuk konflik yang kompleks ini, dialog, pengertian, dan penghargaan terhadap hak-hak semua pihak menjadi kunci untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di middle-east.
Sementara dunia Arab sendiri selalu menghubung-hubungkan Yerusalem adalah tanah suci mereka, sementara secara historis Yerusalem adalah ibukota Israel sejak zaman King David. Pertanyaannya, apakah karena orang Kristen di dunia barat sudah menjadi sekuler semua hingga tidak ada pembelaan tentang hak historis Israel di tanah legacy-nya sendiri. Sementara kalangan evangelis di Amerika pun terhalang untuk membela Israel karena standar ganda politik luar negeri Amerika.
Permasalahan Yerusalem dan tanah suci memiliki dimensi religius, sejarah, dan politik yang kompleks. Yerusalem memiliki signifikansi religius bagi tiga agama besar dunia : Kristen, Islam, dan Yahudi. Klaim atas Yerusalem dan tanah sekitarnya seringkali menciptakan ketegangan dan konflik.
Sejarah Yerusalem mencakup berbagai periode, termasuk masa kejayaan di bawah pemerintahan Raja David dan Salomo di Kerajaan Israel kuno. Namun, dalam perjalanan sejarah, kota tersebut juga dikuasai oleh berbagai kekuatan, termasuk Romawi dan Bizantium, sebelum akhirnya menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam dan kemudian Kekaisaran Ottoman.
Pandangan tentang Yerusalem dan Israel dapat bervariasi di antara berbagai kelompok dan individu di seluruh dunia. Orang Kristen di dunia Barat, termasuk evangelis, memiliki sudut pandang khusus terhadap konflik Israel-Arab Palestina. Cukup banyak yang mendukung hak Israel berdasarkan keyakinan agama dan pandangan eschatologi, sementara yang lain mungkin memiliki pendekatan yang lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel.
Tidak semua orang Kristen atau orang Barat bersikap sekuler atau memiliki pandangan yang sama terkait hak-hak Israel. Ada spektrum pandangan yang luas di antara masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat.
Dalam politik luar negeri Amerika Serikat, ada berbagai faktor yang mempengaruhi pendekatan terhadap konflik Israel-Arab Palestina, termasuk pertimbangan keamanan nasional, hubungan dengan sekutu regional, dan kebijakan global. Standar ganda politik bisa menjadi faktor, tetapi hal ini kompleks dan melibatkan berbagai pertimbangan geopolitik.