Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenang Gustavo Gutierrez : Godfather of Liberation Theology

16 Desember 2023   14:13 Diperbarui: 16 Desember 2023   14:13 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan artis, seorang guru spritual di tengah komunitasnya yg beragam. Foto : Dikolase dari equinasemorythinks.com

Mengenang Gustavo Gutierrez : Godfather of Liberation Theology

Teringat masa studi 50 tahun lalu di kampus Undip. Yang terbayang patung Diponegoro di Jln. Imam Barjo, Student Centre di dekatnya, dan selangkah lagi tinggal masuk Kampus Pleburan, yi sebuah nama jalan yang menjadi panggilan kampus itu sehari-harinya. Agak ke tengah sedikit ada perpustakaan kampus yang ketika itu sudah 2 lantai. Nah disinilah aku sering ketiduran setelah membaca dan membaca. Maklumlah nggak semua buku bisa kubeli. Jadi literature standard aku baca disini semua, ntah itu lokal punya seperti buku-buku yang dipublished Gajahmada University Press, ntah itu dari luar negeri seperti McMillan atau setidaknya Penguins dst.

Itu dulu. Sekarang kampus Undip di Tembalang, titik tengah antara kota Semarang dengan Ungaran. Kampusnya guede dan hijau asri keq Unpad di Jatinangor atau kampus UI di Depok.

Yang sempat kubaca kala itu antara lain buku Teologi Pembebasan karya Gustavo Gutierrez, seorang teolog dan filsuf Mestizo asal Peru, Amerika latin.

Sejak mulai digunakan kl setengah abad lalu, istilah "teologi pembebasan" bersifat provokatif dan rentan dijadikan karikatur oleh kalangan akademisi. Para ideolog sayap kanan dan kiri masing-masing mengecam dan memuji dampaknya terhadap Dunia Ketiga, khususnya terhadap umat Kristiani di Amerika Latin. Teologi pembebasan adalah pilihan preferensi bagi kaum miskin disana untuk menghadapi dan mengubah rezim militer dan struktur ekonomi yang menindas. Suara-suara revolusioner ini seringkali beraliansi dengan kelompok revolusioner bersenjata.

Bahkan ada yang menyatakan teologi pembebasan di Amerika latin adalah alat perjuangan si miskin untuk mencapai kesetaraan ekonomi dan politik, melalui redistribusi kekayaan dengan orang kulit putih.

Itulah buku yang melejit pada tahun 1971 : "A Theology of Liberation : History, Politics, Salvation," karya Gustavo Gutierrez yang secara luas dianggap sebagai ekspresi teologi pembebasan yang paling berpengaruh dan bertahan lama. Aku membaca buku itu sekitar tahun 1979, setelah 2 tahun-an di Undip.

Gutirrez, seorang Mestizo asal Peru, yang gelar akademis resminya adalah Profesor Teologi John Cardinal O'Hara, juga guru besar tamu di Universitas Notre Dame, AS. Teolog sekaligus filsuf ini menyandang gelar tidak resmi yang lebih dikenal luas, yi sebagai "Godfather of Liberation Theology".

Yang aku tahu terlalu banyak orang salah memahami dan salah menafsirkan hubungan antara Gutierrez, teologi pembebasan, dan Marxisme. Beberapa kritikus Gutierrez melihat teologi pembebasan sebagai semacam pemanasan terhadap Marxisme dengan kedok agama. Namun tidak ada yang lebih jauh dari visi Gutirrez sendiri.

Saya dari kenangan puluhan tahun lalu itu mempunyai impresi kuat, yang mendorong teologi Gutirrez, bukanlah ideologi sekuler atau politik, melainkan wawasan spiritual, realisasi kasih Tuhan yang sungguh-sungguh tanpa pamrih bagi seluruh umat manusia. Hanya sedikit orang yang mengetahui spiritualitas mendalam yang telah membentuk visi teologis Gutirrez.

Gutirrez sendiri menggambarkan visi tsb dengan cukup gamblang. Teologi pembebasan adalah tentang Tuhan. Kasih Tuhan dan kehidupan Tuhan, pada akhirnya, adalah satu-satunya tema dari Teologi Pembebasan.

Pendeknya, tema yang membentuk tulisan Gutirrez dari awal hingga akhir adalah kemurahan hati Tuhan. Karunia kasih yang cuma-cuma ini, yang terutama dinyatakan dalam anugerah Yesus Kristus, adalah penerimaan total Allah terhadap setiap umat manusia tanpa memperhatikan kondisi moral atau spiritual mereka.

Tanpa gratifikasi, Alkitab tidak ada artinya, begitu pula tantangan keadilan dan komitmen teguh terhadap masyarakat miskin. Fokus Gutierrez bukanlah kesukarelaan, altruisme, atau humanisme. Baginya iman yang adil adalah respon terhadap Tuhan yang lebih dulu mengasihi kita. Gratifikasi mengungkapkan cinta yang menjadikan manusia utuh, dan tanpa cinta, tidak ada spiritualitas Kristiani, tidak ada kehidupan manusia yang sejati.

Dalam kata-kata Gutierrez "yang terpenting adalah Tuhan mencintai dunia dan mencintai mereka yang paling miskin di dalamnya."

Teologi Pembebasan, seperti yang diungkapkan dalam buku "A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation" karya Gustavo Gutirrez, adalah suatu pendekatan teologis yang berfokus pada kemerdekaan dan pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Gutirrez, seorang teolog Katolik dan filsuf asal Peru, mengembangkan konsep ini terutama dengan merespons ketidaksetaraan sosial dan penderitaan rakyat miskin di Amerika Latin.

Beberapa aspek kunci dari teologi pembebasan Gutierrez terkait pemahaman akan peran pembebasan dalam ajaran Kristen, serta panggilan untuk berpartisipasi aktif dalam perubahan sosial dan politik demi mewujudkan keadilan sosial.

Beberapa poin penting yang bisa dilihat dari perspektif ini antara lain kritik terhadap Struktur Ketidakadilan. Teologi pembebasan menyoroti dan mengkritik struktur ketidakadilan ekonomi dan sosial yang menyebabkan penderitaan dan kesenjangan. Ini adalah kecaman terhadap sistem yang mengeksploitasi orang miskin dan menguntungkan kelompok yang berkuasa. Pentingnya Aksi Sosial, dimana Gutierrez menekankan pentingnya aksi sosial dalam mewujudkan pembebasan. Ini mencakup partisipasi aktif dalam perjuangan untuk keadilan sosial dan politik. Teologi pembebasan mendorong umat Kristen untuk tidak hanya merenungkan iman mereka, tetapi juga mengubah dunia sekitar mereka. Pentingnya Perspektif Orang Miskin. Teologi pembebasan mengambil sudut pandang orang miskin sebagai titik tolak utama. Gutierrez menekankan bahwa Allah memiliki preferensi khusus terhadap orang miskin, dan oleh karena itu, orang Kristen harus mengutamakan pelayanan kepada mereka. Integrasi Agama dan Politik, Gutirrez menyatukan dimensi agama dan politik dalam teologinya. Ia percaya bahwa iman Kristen harus tercermin dalam tindakan politik yang bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Teologi pembebasan, seperti yang diwakili oleh Gutirrez, mendapat dukungan besar di kalangan aktivis sosial dan teolog Kristen yang mendukung upaya pembebasan dan perubahan sosial.

Isu tentang hubungan antara Gustavo Gutierrez, teologi pembebasan, dan Marxisme memang seringkali menjadi sumber kontroversi dan interpretasi yang berbeda. Sejumlah kritikus Gutierrez memandang teologi pembebasan sebagai pandangan yang terlalu dekat dengan Marxisme, bahkan dianggap sebagai bentuk "Marxisme dengan topeng agama." Sementara itu, Gutirrez sendiri telah berulang kali menegaskan bahwa teologi pembebasan bukanlah bentuk agama yang bersifat sekuler atau terkait dengan materialisme dialektis Marxisme.

Untuk meletakkan persoalan ini secara proporsional dalam konteks masyarakat now, sekurangnya ada 4 konteks yang harus dicermati.

Keterkaitan dengan Konteks Sejarah. Gutirrez mengembangkan teologi pembebasan pada era di mana banyak negara di Amerika Latin mengalami ketidaksetaraan sosial yang ekstrem, penindasan politik, dan ketidakadilan ekonomi. Dalam konteks ini, teologi pembebasan muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk memperjuangkan keadilan sosial.

Keterlibatan dalam Konteks Sosial. Teologi pembebasan mengajak orang untuk terlibat secara aktif dalam perubahan sosial dan politik. Dalam masyarakat kontemporer yang masih dihadapkan pada berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan, gagasan ini masih relevan. Namun, implementasinya harus memperhitungkan dinamika dan tantangan kontemporer.

Kritik Terhadap Penyalahgunaan Ideologi. Perlu dibedakan antara inti dari teologi pembebasan, yang menekankan keadilan sosial dan kemanusiaan, dengan penyalahgunaan ideologi untuk kepentingan politik tertentu. Beberapa kritikus mungkin menyalahartikan atau menyalahgunakan prinsip-prinsip teologi pembebasan untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Keanekaragaman Perspektif Teologis. Meski teologi pembebasan menjadi penting di Amerika Latin, gereja-gereja di seluruh dunia memiliki berbagai perspektif teologis terkait dengan pembebasan dan keadilan sosial. Ini menciptakan keanekaragaman pendekatan teologis dalam konteks masyarakat global.

Dalam meletakkan persoalan ini secara proporsional, perlu dihindari generalisasi dan pemahaman yang terlalu sempit. Melibatkan dialog dan pemahaman yang mendalam terhadap konteks sejarah dan ajaran teologis adalah kunci untuk menghargai peran dan relevansi teologi pembebasan tanpa terjebak dalam stereotip atau penilaian yang tidak akurat.

Pemikiran Gustavo Gutirrez dalam teologi pembebasan dapat dirangkum dalam beberapa butir utama.

Pentingnya Pilihan untuk Orang Miskin. Gutirrez menekankan bahwa Allah memiliki preferensi khusus terhadap orang miskin. Teologi pembebasan menyatakan bahwa pelayanan kepada orang miskin adalah ekspresi konkret dari kehadiran Allah di dunia.

Kritik terhadap Ketidakadilan Sosial. Gutirrez mengkritik struktur sosial dan ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan dan penderitaan, khususnya di Amerika Latin pada zamannya. Dia memandang peran gereja dan orang beriman untuk berpartisipasi dalam perjuangan untuk mengubah struktur ini menuju keadilan sosial.

Integrasi Agama dan Keadilan Sosial. Teologi pembebasan menyatukan dimensi agama dan keadilan sosial. Gutierrez memandang bahwa iman Kristen harus mencerminkan dalam tindakan konkrit untuk memerangi ketidakadilan dan memperjuangkan hak asasi manusia.

Partisipasi Aktif dalam Perubahan Sosial. Gutierrez mendorong partisipasi aktif dalam perubahan sosial. Teologi pembebasan bukan hanya tentang refleksi teologis, tetapi juga tindakan konkret untuk merobohkan struktur yang menindas dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Mengenai mengapa banyak kritikus, bahkan teolog, salah dalam menafsirkan pemikiran Gutirrez. Setidaknya ada 4 alasan utama.untuk itu.

Konteks Politik dan Ideologis. Teologi pembebasan muncul dalam konteks politik dan sosial Amerika Latin yang kompleks. Beberapa kritikus mungkin terjebak dalam penafsiran ideologi tertentu, seperti mengaitkannya secara eksklusif dengan Marxisme, tanpa memahami nuansa dan kompleksitas pemikiran Gutierrez.

Kurangnya Pendalaman. Beberapa kritikus mungkin tidak membaca karya Gutirrez secara mendalam atau hanya membaca selektif, sehingga mereka kehilangan konteks dan substansi dari teologi pembebasan.

Ketidaksepakatan Teologis. Beberapa teolog memiliki perbedaan pandangan teologis dasar dengan Gutierrez, yang dapat menyebabkan interpretasi yang tidak akurat atau penolakan terhadap pemikiran tsb.

Penyalahgunaan oleh Pihak Lain. Sometime, ide-ide Gutierrez dapat disalahgunakan atau disalahartikan oleh pihak lain untuk tujuan politik tertentu. Hal ini dapat menciptakan citra negatif terhadap teologi pembebasan secara umum.

Dalam membaca karya-karya Gutierrez, pahamilah konteksnya, dan hargai nuansa dalam teologi pembebasan sebelum membuat penilaian. Melibatkan dialog dan membangun pemahaman yang mendalam dapat membantu mengatasi kesalahpahaman dan meningkatkan apresiasi terhadap kontribusi Gutirrez terhadap pemikiran teologis.

Teologi pembebasan tetap relevan dalam konteks zaman sekarang, terutama di hadapan ketidakadilan ekonomi, konflik sosial, dan kurangnya toleransi. Setidaknya ada 4 alasan mengapa teologi pembebasan masih memiliki relevansi dengan konstelasi global saat ini.

Ketidakadilan Ekonomi. Ketidaksetaraan ekonomi masih menjadi masalah global, dengan sejumlah besar penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan. Teologi pembebasan menyerukan perubahan struktural untuk mencapai keadilan ekonomi dan distribusi sumberdaya yang lebih adil.

Konflik dan Toleransi. Dalam situasi konflik seperti di Timur Tengah atau gerakan yang menolak toleransi seperti yang diusung oleh beberapa kelompok di middle-east (lih Hamas, Al Qaeda dll), Indonesia (lih FPI, Hizbut Tahrir dll), teologi pembebasan dapat memberikan landasan teologis untuk mendorong dialog antaragama, penghargaan terhadap kebebasan beragama, dan upaya rekonsiliasi.

Rasisme dan Diskriminasi. Teologi pembebasan juga dapat memberikan kontribusi dalam menanggapi rasisme dan diskriminasi, termasuk kasus seperti Ku Klux Klan di AS. Melalui pemahaman bahwa semua manusia diciptakan setara di hadapan Tuhan, teologi pembebasan dapat menjadi dasar untuk memerangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan rasial.

Pengembangan Masyarakat yang Adil. Dalam memandang ke depan, teologi pembebasan dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Ini mencakup pemahaman terhadap nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan partisipasi aktif dalam menciptakan perubahan positif.

Akhirnya, pendekatan ini mungkin mendapat tanggapan yang beragam tergantung pada konteks dan interpretasinya. So, pemahaman dan aksi yang cerdas diperlukan untuk menggali potensi positif dari teologi pembebasan dan menerapkannya secara efektif dalam masyarakat kontemporer now.

Joyogrand, Malang, Sat', Dec' 16, 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun