Kariernya sebagai penyanyi dimulai sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Pendidikannya yang terakhir adalah sekolah guru Kweekschool di Lembang, Bandung, lulusan tahun 1928. Nahum turut dalam barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota Kongres Pemuda pada tahun 1928 dan mengikuti sayembara untuk menciptakan lagu kebangsaan. Sayembara ini dimenangkan oleh WR Supratman, sementara Nahum mendapatkan tempat kedua.
Nahum mulai bekerja pada tahun 1929 pada sekolah partikelir Bataksche Studiefonds di Sibolga hingga tahun 1932. Tahun 1932 pindah ke Tarutung untuk bergabung dengan abangnya Guru Sophar Situmorang dan mendirikan HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.
Sejak remaja belia, Nahum sudah mencipta lagu dan masa paling produktif baginya dalam mencipta lagu adalah dekade 1950-1960-an s/d 1966, sebelum mulai sakit-sakitan tahun 1967 dan meninggal pada pada Oktober 1969.
Meski musiknya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, bagaimanapun lagu-lagu gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya sangat berkelas karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai budaya masyarakat Batak,Â
Nahum mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan mendikte habis.
Ia sangat romantik tapi tidak terjebak dalam fanatisme daerah, ia juga seorang yang melankolis namun menghindari kecengengan katakanlah bila jiwanya resah dengan cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak sekarang ini.Â
Ia jujur meluapkan luka hati akibat cinta terlarang namun tak terjebak menjadi psikopat karena cinta. Banyak alternatif dalam hidup ini. Terlihat betapa visi Nahum jauh melampaui visi manusia pada zamannya.
Pasca pendudukan Jepang, ia berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan lagu-lagu pop Batak pada umumnya.Â
Dalam kesempatan inilah ia memasuki dunia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi dan Kabanjahe.Â
Dalam hidup nomadik bak gipsy ini justeru bermunculan karyaciptanya yang luarbiasa itu, khususnya dari sudut sosio-antropologi Batak.