Hotman Paris Vs Otto Hasibuan : Sebuah Paradoks Tak Berujung
Pengacara selebriti Hotman Paris Hutapea hengkang dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang diketuai oleh Otto Hasibuan dan kini pengacara kondang yang banyak menghiasi layar kaca tivi ini berlabuh bahkan bergabung di komunitas advokat bernama Dewan Pengacara Nasional (DPN) Indonesia sebagaimana tayangan kompas tv beberapa waktu lalu.
Hotman lahir pada 20 Oktober 1959 di desa Laguboti, Sumatera Utara. Dia adalah anak keenam dari 10 bersaudara dalam keluarga Batak Toba. Nama depannya diambil dari kata Batak Hotma, yang artinya "mantap". Ayahnya Binahar Hutapea bekerja di sebuah perusahaan bus antar kota bernama Bintang Utara dan sering harus tinggal jauh dari rumah di ibukota Sumatera Utara Medan. Ibunya Rusminar Tiobinur boru Simanjuntak tetap di Laguboti (masuk Kabupaten Pemekaran Tobasa sekarang) dan mendorong anak-anaknya untuk makan sehat, terutama ikan dan daun pepaya, dengan harapan mereka akan ber-IQ tinggi. Terbukti delapan dari 10 anak dari Bapak dan Ibu Hutapea itu menjadi lulusan universitas.
Hotman semula ingin masuk ITB yang bergengsi di Indonesia, sayang tidak lulus ujian masuk. Ia kemudian bergeser ke Fakuktas Hukum Universitas Katholik Parahyangan. Kedua PT itu di Bandung. Meski awalnya kurang antusias, Hotman berhasil menyelesaikan studinya pada 1981 dan meraih nilai tinggi. Dialah mahasiswa fakultas hukum pertama yang menyelesaikan studinya dalam tiga setengah tahun. Pada 1990 dia meraih Magister Hukum di luar negeri yi di Universitas Teknologi di Sydney, Australia; meraih magister hukum dari UGM pada 2006 dan meraih gelar Doktor di bidang Hukum dari Unpad, Bandung, pada 2011.
Hotman yang beristerikan Agustianne boru Marbun yang juga seorang lawyer dengan profesi Notaris, dikaruniai 3 anak, yang pertama lelaki yi Frank, kedua perempuan yi Felicia dan ketiga si bungsu, juga lelaki yi Fritz. Buah tak jauh dari pohonnya. Ketiganya juga lawyer, malah yang kedua Felicia jadi lawyer di Inggeris tak jauh dari almamaternya.
Otto Hasibuan yang ber-Ibukan boru Siahaan ini lahir di Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, 5 Mei 1955. Dilihat dari clan ortu, Otto dipastikan adalah Batak Toba, meski lahir dan besar di Simalungun. Ia beristeri-kan boru Batak Simalungun yi Norwati Damanik dan dikaruniai 4 orang anak, tiga perempuan dan si bungsu Yacob yang keempat adalah anak lelaki satu-satunya  Ia menempuh pendidikannya di kampung halaman hingga tamat SMA. Otto sangat aktif dalam dunia organisasi sejak ia masih kecil. Ia melanjutkan studinya di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Saat menjadi mahasiswa, Otto juga tidak lepas dari dunia organisasi. Usai mendapatkan gelar sarjana, Otto meneruskan pendidikan dengan mengambil studi Comparative Law di University Technology of Sydney, Australia. Kemudian ia kembali lagi ke tanah air untuk menyelesaikan program doktoralnya di almamater lamanya, UGM.
Usia kedua lawyer andal Indonesia itu hanya terpaut 4 tahun saja, dimana Otto sekarang berusia 67 tahun, sedangkan Hotman berusia 63 tahun. Jika dibandingkan dengan rocker legendaris Mick Jagger kelahiran 26 Juli 1943 dan kini berusia 79 tahun tapi masih rancak ngerock di panggung rock dunia, maka tentu kedua lawyer Batak itu masih berpotensi menjalankan karier advokat-nya kl kl 10 tahun lagi. Kalau masih mau lanjut lagi, tentu keduanya harus tanya Nyi Roro Kidul dan mencari bunga Kesumawijaya di Nusakambangan dan menyantap sop sarang burung wallet tiap hari tiada henti tanpa harus bedah kosmetik segala. Masalahnya Micky sang rocker hanya punya kiat olah kebugaran tiada henti sepanjang kariernya. Sedangkan keduanya hanya olah cuap-cuap hukum. He He ..
Keduanya kini terkabarkan konflik untuk alasan yang kalau ditilik lebih jauh bukan dari kepentingan pasar hukum, melainkan dari sisi harga diri di pihak Hotman dan dari sudut etika di pihak Otto. Hotman, biasalah, merasa terusik dengan sindiran-sindiran Otto seperti soal pamer kekayaan dan perempuan cantik. Meski tak menyebut langsung nama Hotman, tapi Otto suka memperagakan tangan kiri diacungkan ke depan dan digoyang-goyang ala Hotman. Siapa lagi itu kalau bukan saya kata Hotman kepada awak pers ketika bergabung dalam acara DPN 19 April ybl.
Selayang Pandang Organisasi Advokat Indonesia
DPN (Dewan Pengacara Nasional) Indonesia adalah sebuah organisasi Advokat terbaru di Indonesia. Asal tahu, wadah advokat Indonesia itu sangatlah  banyak, jauh melebihi jumlah parpol aktif yang kita lihat sekarang. Tak heran, wadah itu tidak bisa lagi single bar setelah dalam perjalanan waktu puluhan tahun, minta ampun kini berkembang menjadi kl 40 organisasi advokat.
Organisasi advokat ini terbentuk pertamakali pada 1964 yang ditandai dengan berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Pada tahun 1977 terjadi perpecahan dengan berdirinya HIPHI (Himpunan Penasehat Hukum Indonesia). Organisasi ini dibentuk akibat adanya dikotomi antara pengacara praktik dan advokat.
Dulu sebelum berlakunya UU Advokat tahun 2003, pengacara dan advokat harus dibedakan. Pengacara adalah seorang yang memegang izin praktek sebagai kuasa hukum hanya pada  wilayah Pengadilan Tinggi tempat dirinya disumpah. Sedangkan Advokat adalah seorang kuasa hukum yang minimal sudah menangani 10 kasus, terdiri dari pidana dan perdata. Seorang advokat diangkat berdasarkan surat keputusan Menkumham.
Saat setelah diberlakukannya UU Advokat, dalam pasal 1, pengacara juga disebut advokat karena dalam UU ini advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan dan cakupan wilayahnya itu seluruh Indonesia bahkan hingga luar negeri.
Periode 1977-1985 tidak ada organisasi advokat yang tergolong aktif di Indonesia. Pada era orde baru ini, ada kebijakan advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK). Kewenangan yang dikhawatirkan bakal mendistorsi keadilan itu mengusik para lawyer, maka lahirlah sekitar tahun 1985, organisasi advokat baru bernama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang digagas Ali Said dan Ismail Saleh.
Sejumlah tokoh Peradin masuk ke Ikadin dan digelarlah Musyawarah Nasional (Munas) pertama tahun 1990. Pada Munas kedua tahun 1995 muncul perdebatan dalam forum yang berujung pecahnya Ikadin. Sebagian anggota Ikadin keluar dan membentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Kala itu, pengacara praktik belum boleh menjadi anggota Peradin dan AAI karena statusnya belum menjadi advokat. Mengingat jumlahnya yang semakin banyak, pada era orde baru ini, mereka membentuk Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Pada masa itu totalnya ada 7 organisasi yang didirikan advokat dan pengacara praktik melputi Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, dan HAPI.
Bergulirnya reformasi dan kebijakan Presiden B.J Habibie yang mempercepat penyelenggaraan pemilu tahun 1999 menjadi perhatian kalangan advokat. Situasi ini dinilai sebagai peluang untuk mendorong lahirnya UU Advokat. Organisasi advokat pun mendorong anggotanya untuk ikut menjadi peserta Pemilu Legislatif tahun 1999. Beberapa advokat yang berhasil mendapat kursi legislatif, antara lain Teras Narang, Hamdan Zoelva dan Akil Mochtar.
Para advokat yang berhasil mendapat kursi di Senayan memperjuangkan RUU Advokat dan berhasil disahkan menjadi UU No.18 Tahun 2003. UU Advokat mengamanatkan dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat. Sebelum organisasi advokat itu terbentuk, UU Advokat memandatkan 8 organisasi advokat meliputi Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI untuk sementara melaksanakan tugas dan wewenang organisasi advokat.
Ketentuan ini akhirnya melahirkan organisasi advokat yang diberi nama Perhimpunan Advokat-Advokat Indonesia (Peradi). Di Indonesia, jika melihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, bentuk organisasi advokat seharusnya "single bar" yakni Peradi yang diberikan kewenangan oleh UU Advokat, tapi sampai sejauh ini masih menghadapi beberapa persoalan.
Peradi yang kini dipimpin Otto Hasibuanlah yang seharusnya wadah tunggal yang sesuai dengan amanat UU No 18 tahun 2003, karena terbentuk dalam dua thun sebagaimana dipersyaratkan oleh UU tsb. Permasalahannya, Peradi telah menjadi tiga pasca munas ll Makassar pada 2015, yi Peradi versi Otto Hasibuan, Juniver Girsang dan Luhut MP Pangaribuan, dimana masing-masing mengklaim sebagai Peradi yang sah. Dan sampai saat ini belum ada satupun putusan legalitas dimana salah satunya adalah yang sah.
Tahun lalu Otto mencoba menyatukan 3 kubu dengan mengusulkan munas bersama, mengingat adanya penurunan kualitas advokat sehubungan dengan SE MA N0 73 dimana dibolehkannya calon advokat disumpah oleh Pengadilan Tinggi tanpa diajukan oleh Peradi karena adanya perpecahan di tubuh Peradi.
Paradoks Peradi
Yang dimaksud paradoks disini adalah sebuah pergulatan bakal entitas yang tak pernah berakhir dengan sebuah keyakinan bahwa itulah kami apa adanya. Pergulatan entitas tak lepas dari nilai-nilai lama yang terasa sulit ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang masih diragukan kesahihannya untuk dapat melembaga dalam jatidiri impian.
Kalau dilihat dari perjalanan organisasi advokat di negeri ini sebagaimana tergambar dalam selayang pandang di atas, maka jelas keluarnya Hotman dari Peradi ya sah-sah saja, Organisasi advokat kita tak single bar masalahnya, melainkan multi bar. Kalaupun akan dibentuk federasi sebagaimana di Jerman. Ini pasti sulit. Watak para lawyer kita ini 11-12 alias tak beda dengan para politisi kita yi mudah berkonflik dan selalu sulit untuk berkonsensus.
Tahun 1964 sudah terbuka kesempatan itu dengan terbentuknya wadah berhimpun para advokat Indonesia, tapi pecah pada 1977 karena masalah pengacara praktik dan advokat. Ini kemudian melahirkan HIPHI. Setelah Munas II Peradi, organisasi pertama itupun pecah menjadi 3 kubu. Sejauh ini belum ada legalitas yang mana yang sah, apakah versi Otto, Juniver atau Luhut.
PT atau Pengadilan Tinggi pun tak mau ambil pusing. Cukup berdasarkan SE MA No 73, PT berhak mengambil sumpah advokat tanpa usulan Peradi atau usulan dari 40 organisasi lainnya yang mengatasnamakan para sarjana hukum, ntah siapapun itu, yang ingin jadi advokat.
Asal tahu, masing-masing organisasi advokat itu menyelenggarakan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Dilihat dari bejibunnya komunitas para sarjana hukum sekarang, maka ini tentu salah satu ATM organisasi tsb, sebagaimana tudingan Hotman bahwa Otto telah menyalahgunakan wewenang dengan memperpanjang masa jabatannya hanya dengan rapat pleno, bukan munas dan menempatkan mantunya sendiri sebagai Direktur PKPA Peradi versi Otto. Lalu bagaimana dengan 2 peradi lainnya yang juga menyelenggarakan PKPA serupa. Juga, bagaimana dengan 40 organisasi lainnya. Sungguh sebuah paradoks yang dilematis.
Paradoks Hotman Vs Otto Hasibuan
Hotman dan Otto adalah sosok yang tipikal Batak Toba, yi sebuah suku bangsa yang tak terlalu besar di negeri ini tapi pergerakannya di luar Toba alias di perantauan tak ubahnya missile hipersonik Iskander Russia. Pokoknya cepat dan tepat mengenai sasaran.
Menurut catatan ilmiah, ada missing link kl 500 tahun lalu, dimana puak Batak ini tiba-tiba berada di daerah yang disebut splendid isolation, yi nucleus Toba. Mereka, apalagilah kita' tak pernah tahu dari mana asal-usulnya puak satu ini. Kita hanya tahu secara forensik kejadian 500 tahun lalu bahwa ada Batak Hindu di Toba. Buktinya banyak kitab-kitab kuno Batak Hindu di Belanda sana. Batak Hindu ini kemudian raib dalam perjalanan sejarah tak ubahnya bangsa Palestina yang raib kl 3000 tahun lalu di middle east. Ada missing link disitu. Lalu berkembanglah clan Batak pada tahun 1600-an. Mulai dari marga saya sendiri Pakpahan, lalu Panggabean, Siregar dst. Dan muncul sebuah mitos yang tak pernah lekang hingga sekarang bahwa asal-usul orang Batak adalah si Raja Batak dari Pusuk Buhit, Samosir, Toba.
Padahal Batak itu adalah istilah ciptaan para antropolog Belanda dari istilah "Bataha" yang artinya orang pedalaman yang belum beradab. Nah Lo. Tapi persetan dengan pendapat scientific itu. Pokoknya Batak itu adalah penamaan dari sononya sebelum para antropolog itu meneliti tanah Batak. Kalau perlu Batakolog terkini seperti Professor Uli Kozok yang menyatakan pendapat itu dianggap musuh bersama yang harus dihentikan. Titik habis!
Puak ini kemudian berkembang tanpa jejak Hindu yang berarti di tubuhnya, kecuali trilogi Hindu yi Banua Toru (Alam Kegelapan), Banua Tonga (Dunia dimana kita hidup) dan Banua Ginjang (Dimana Sang Mahapencipta dan Spirit Leluhur bersemayam disitu). Singkatnya Batak Toba mengembangkan jatidirinya dengan mitologi mereka sendiri dan bertahan hidup dengan setting kebuasan alam bukit barisan yang harus mereka taklukkan.
Batak Toba bukanlah sebuah kerajaan. Dia berkembang ke segala penjuru dengan para warlord berstempel clan. Semua adalah raja. Mereka membaginya dalam tatanan dalihan natolu atau tungku nan tiga. Mereka bergantian jadi raja disitu tanpa ada jeda sedikitpun. Pendeknya setiap ber-acara ada yang dirajakan sesuai dengan tatanan tsb.
Dari titik konservatif yang feodalistik pedalaman inilah kedua lawyer itu berangkat ke tengah pusaran modern. Mereka sukses di pentas zaman now tapi terhambat secara mental untuk menyatu dalam profesi karena hal-hal yang sesungguhnya sepele seperti masalah harga diri dan etika yang tak pada tempatnya.
Keduanya berhasil mewujudkan visi feodalisme Batak yi mengejar Hamoraon (Kekayaan), Hasangapon (Kemuliaan dengan status wah ntah itu pengacara andal atau seleberiti andal dll) dan Hagabeon (manusia sempurna yang mempunyai banyak keturunan). Tapi yang menjadi paradoks disini keberhasilan itu malah membuat mereka tak kuasa berpijak di tatanan modern sekarang yang terdiferenisiasi sedemikian rupa secara fungsional.
Sekalipun Otto telah berjas lengkap buatan Paris dengan segala asesori duniawi modern ntah itu mobil mewah atau Berlian Antwerpen bergelantungan di telinga isterinya, begitu pula Hotman dengan Lamborghini, puluhan properti wah di Bali dan Singapore, cincin-cincin super hebat berkilauan terpasang di semua jarinya, didampingi asisten-asisten pribadinya yang cantik-cantik dst. Keduanya tak kuasa melepaskan diri dari super ego feodalisme Batak yi akulah sang raja.
Tak heran Demokrasi Batak itu tak lebih dari konflik tanpa konsensus. Dimana-mana clan atau marga pecah, gereja pun berpecahan. Akulah si abangan, akulah raja. Masing-masing mengklaim diri seperti itu. Konflik antar person dan antar clan tak jarang menjadi suatu yang gila-gilaan dalam tuntunan filosofi kegelapan yi "ndang di ho ndang di ahu, bulus ma tu begu". Nggak di elo nggak di gue, sebaiknya buat setan saja di banua toru nan gelap sana.
Wacana akhir
Paradoks Hotman Vs Otto di tengah ketidakbersatuan para lawyer kita dalam satu wadah yang representatif, menjadi jelas adalah bagian yang serupa dengan paradoks serupa yang dijiwai kubu dua peradi lainnya.
Mengapa? Paradoks itu dimungkinkan karena adanya pewarnaan dari orang-orang Batak Toba yang cukup banyak bercokol di organisasi-organisasi para lawyer kita.
Lepas dari kedudukan Otto yang dipertanyakan legalitasnya sekarang di Peradi. Hotman sepertinya kerasukan "Sturm und Drang", sebuah keadaan mental yang sangat digiring oleh perasaan, individualisme Toba dan menampik sisi now pergaulan profesi yang seharusnya.
Maka Otto yang lebih tua empat tahun dari Hotman lebih dewasa sedikit dengan menganggap Hotman kekanak-kanakan dan tak perlu diladeni lebih jauh, ntah itu di ring tinju, di arena talkshow media tv dst.
Saya pikir sebaiknya Peradi segera bermunas untuk bersatu ketimbang jadi kekanak-kanakan dengan gendang jatidiri Toba yang takkan pernah berakhir sebagaimana digambarkan di atas.
Inga inga, jangan sampai kalian para lawyer yang tahu hukum malah mau diseret ke filosofi tergelap Batak Toba "ndang di ho ndang di ahu, bulus ma tu begu". He He ..
Joyogrand, Malang, Sat', April 23, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H