Organisasi advokat ini terbentuk pertamakali pada 1964 yang ditandai dengan berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Pada tahun 1977 terjadi perpecahan dengan berdirinya HIPHI (Himpunan Penasehat Hukum Indonesia). Organisasi ini dibentuk akibat adanya dikotomi antara pengacara praktik dan advokat.
Dulu sebelum berlakunya UU Advokat tahun 2003, pengacara dan advokat harus dibedakan. Pengacara adalah seorang yang memegang izin praktek sebagai kuasa hukum hanya pada  wilayah Pengadilan Tinggi tempat dirinya disumpah. Sedangkan Advokat adalah seorang kuasa hukum yang minimal sudah menangani 10 kasus, terdiri dari pidana dan perdata. Seorang advokat diangkat berdasarkan surat keputusan Menkumham.
Saat setelah diberlakukannya UU Advokat, dalam pasal 1, pengacara juga disebut advokat karena dalam UU ini advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan dan cakupan wilayahnya itu seluruh Indonesia bahkan hingga luar negeri.
Periode 1977-1985 tidak ada organisasi advokat yang tergolong aktif di Indonesia. Pada era orde baru ini, ada kebijakan advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK). Kewenangan yang dikhawatirkan bakal mendistorsi keadilan itu mengusik para lawyer, maka lahirlah sekitar tahun 1985, organisasi advokat baru bernama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang digagas Ali Said dan Ismail Saleh.
Sejumlah tokoh Peradin masuk ke Ikadin dan digelarlah Musyawarah Nasional (Munas) pertama tahun 1990. Pada Munas kedua tahun 1995 muncul perdebatan dalam forum yang berujung pecahnya Ikadin. Sebagian anggota Ikadin keluar dan membentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Kala itu, pengacara praktik belum boleh menjadi anggota Peradin dan AAI karena statusnya belum menjadi advokat. Mengingat jumlahnya yang semakin banyak, pada era orde baru ini, mereka membentuk Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Pada masa itu totalnya ada 7 organisasi yang didirikan advokat dan pengacara praktik melputi Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, dan HAPI.
Bergulirnya reformasi dan kebijakan Presiden B.J Habibie yang mempercepat penyelenggaraan pemilu tahun 1999 menjadi perhatian kalangan advokat. Situasi ini dinilai sebagai peluang untuk mendorong lahirnya UU Advokat. Organisasi advokat pun mendorong anggotanya untuk ikut menjadi peserta Pemilu Legislatif tahun 1999. Beberapa advokat yang berhasil mendapat kursi legislatif, antara lain Teras Narang, Hamdan Zoelva dan Akil Mochtar.
Para advokat yang berhasil mendapat kursi di Senayan memperjuangkan RUU Advokat dan berhasil disahkan menjadi UU No.18 Tahun 2003. UU Advokat mengamanatkan dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat. Sebelum organisasi advokat itu terbentuk, UU Advokat memandatkan 8 organisasi advokat meliputi Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI untuk sementara melaksanakan tugas dan wewenang organisasi advokat.
Ketentuan ini akhirnya melahirkan organisasi advokat yang diberi nama Perhimpunan Advokat-Advokat Indonesia (Peradi). Di Indonesia, jika melihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, bentuk organisasi advokat seharusnya "single bar" yakni Peradi yang diberikan kewenangan oleh UU Advokat, tapi sampai sejauh ini masih menghadapi beberapa persoalan.
Peradi yang kini dipimpin Otto Hasibuanlah yang seharusnya wadah tunggal yang sesuai dengan amanat UU No 18 tahun 2003, karena terbentuk dalam dua thun sebagaimana dipersyaratkan oleh UU tsb. Permasalahannya, Peradi telah menjadi tiga pasca munas ll Makassar pada 2015, yi Peradi versi Otto Hasibuan, Juniver Girsang dan Luhut MP Pangaribuan, dimana masing-masing mengklaim sebagai Peradi yang sah. Dan sampai saat ini belum ada satupun putusan legalitas dimana salah satunya adalah yang sah.