Tahun lalu Otto mencoba menyatukan 3 kubu dengan mengusulkan munas bersama, mengingat adanya penurunan kualitas advokat sehubungan dengan SE MA N0 73 dimana dibolehkannya calon advokat disumpah oleh Pengadilan Tinggi tanpa diajukan oleh Peradi karena adanya perpecahan di tubuh Peradi.
Paradoks Peradi
Yang dimaksud paradoks disini adalah sebuah pergulatan bakal entitas yang tak pernah berakhir dengan sebuah keyakinan bahwa itulah kami apa adanya. Pergulatan entitas tak lepas dari nilai-nilai lama yang terasa sulit ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang masih diragukan kesahihannya untuk dapat melembaga dalam jatidiri impian.
Kalau dilihat dari perjalanan organisasi advokat di negeri ini sebagaimana tergambar dalam selayang pandang di atas, maka jelas keluarnya Hotman dari Peradi ya sah-sah saja, Organisasi advokat kita tak single bar masalahnya, melainkan multi bar. Kalaupun akan dibentuk federasi sebagaimana di Jerman. Ini pasti sulit. Watak para lawyer kita ini 11-12 alias tak beda dengan para politisi kita yi mudah berkonflik dan selalu sulit untuk berkonsensus.
Tahun 1964 sudah terbuka kesempatan itu dengan terbentuknya wadah berhimpun para advokat Indonesia, tapi pecah pada 1977 karena masalah pengacara praktik dan advokat. Ini kemudian melahirkan HIPHI. Setelah Munas II Peradi, organisasi pertama itupun pecah menjadi 3 kubu. Sejauh ini belum ada legalitas yang mana yang sah, apakah versi Otto, Juniver atau Luhut.
PT atau Pengadilan Tinggi pun tak mau ambil pusing. Cukup berdasarkan SE MA No 73, PT berhak mengambil sumpah advokat tanpa usulan Peradi atau usulan dari 40 organisasi lainnya yang mengatasnamakan para sarjana hukum, ntah siapapun itu, yang ingin jadi advokat.
Asal tahu, masing-masing organisasi advokat itu menyelenggarakan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Dilihat dari bejibunnya komunitas para sarjana hukum sekarang, maka ini tentu salah satu ATM organisasi tsb, sebagaimana tudingan Hotman bahwa Otto telah menyalahgunakan wewenang dengan memperpanjang masa jabatannya hanya dengan rapat pleno, bukan munas dan menempatkan mantunya sendiri sebagai Direktur PKPA Peradi versi Otto. Lalu bagaimana dengan 2 peradi lainnya yang juga menyelenggarakan PKPA serupa. Juga, bagaimana dengan 40 organisasi lainnya. Sungguh sebuah paradoks yang dilematis.
Paradoks Hotman Vs Otto Hasibuan
Hotman dan Otto adalah sosok yang tipikal Batak Toba, yi sebuah suku bangsa yang tak terlalu besar di negeri ini tapi pergerakannya di luar Toba alias di perantauan tak ubahnya missile hipersonik Iskander Russia. Pokoknya cepat dan tepat mengenai sasaran.
Menurut catatan ilmiah, ada missing link kl 500 tahun lalu, dimana puak Batak ini tiba-tiba berada di daerah yang disebut splendid isolation, yi nucleus Toba. Mereka, apalagilah kita' tak pernah tahu dari mana asal-usulnya puak satu ini. Kita hanya tahu secara forensik kejadian 500 tahun lalu bahwa ada Batak Hindu di Toba. Buktinya banyak kitab-kitab kuno Batak Hindu di Belanda sana. Batak Hindu ini kemudian raib dalam perjalanan sejarah tak ubahnya bangsa Palestina yang raib kl 3000 tahun lalu di middle east. Ada missing link disitu. Lalu berkembanglah clan Batak pada tahun 1600-an. Mulai dari marga saya sendiri Pakpahan, lalu Panggabean, Siregar dst. Dan muncul sebuah mitos yang tak pernah lekang hingga sekarang bahwa asal-usul orang Batak adalah si Raja Batak dari Pusuk Buhit, Samosir, Toba.
Padahal Batak itu adalah istilah ciptaan para antropolog Belanda dari istilah "Bataha" yang artinya orang pedalaman yang belum beradab. Nah Lo. Tapi persetan dengan pendapat scientific itu. Pokoknya Batak itu adalah penamaan dari sononya sebelum para antropolog itu meneliti tanah Batak. Kalau perlu Batakolog terkini seperti Professor Uli Kozok yang menyatakan pendapat itu dianggap musuh bersama yang harus dihentikan. Titik habis!