Puak ini kemudian berkembang tanpa jejak Hindu yang berarti di tubuhnya, kecuali trilogi Hindu yi Banua Toru (Alam Kegelapan), Banua Tonga (Dunia dimana kita hidup) dan Banua Ginjang (Dimana Sang Mahapencipta dan Spirit Leluhur bersemayam disitu). Singkatnya Batak Toba mengembangkan jatidirinya dengan mitologi mereka sendiri dan bertahan hidup dengan setting kebuasan alam bukit barisan yang harus mereka taklukkan.
Batak Toba bukanlah sebuah kerajaan. Dia berkembang ke segala penjuru dengan para warlord berstempel clan. Semua adalah raja. Mereka membaginya dalam tatanan dalihan natolu atau tungku nan tiga. Mereka bergantian jadi raja disitu tanpa ada jeda sedikitpun. Pendeknya setiap ber-acara ada yang dirajakan sesuai dengan tatanan tsb.
Dari titik konservatif yang feodalistik pedalaman inilah kedua lawyer itu berangkat ke tengah pusaran modern. Mereka sukses di pentas zaman now tapi terhambat secara mental untuk menyatu dalam profesi karena hal-hal yang sesungguhnya sepele seperti masalah harga diri dan etika yang tak pada tempatnya.
Keduanya berhasil mewujudkan visi feodalisme Batak yi mengejar Hamoraon (Kekayaan), Hasangapon (Kemuliaan dengan status wah ntah itu pengacara andal atau seleberiti andal dll) dan Hagabeon (manusia sempurna yang mempunyai banyak keturunan). Tapi yang menjadi paradoks disini keberhasilan itu malah membuat mereka tak kuasa berpijak di tatanan modern sekarang yang terdiferenisiasi sedemikian rupa secara fungsional.
Sekalipun Otto telah berjas lengkap buatan Paris dengan segala asesori duniawi modern ntah itu mobil mewah atau Berlian Antwerpen bergelantungan di telinga isterinya, begitu pula Hotman dengan Lamborghini, puluhan properti wah di Bali dan Singapore, cincin-cincin super hebat berkilauan terpasang di semua jarinya, didampingi asisten-asisten pribadinya yang cantik-cantik dst. Keduanya tak kuasa melepaskan diri dari super ego feodalisme Batak yi akulah sang raja.
Tak heran Demokrasi Batak itu tak lebih dari konflik tanpa konsensus. Dimana-mana clan atau marga pecah, gereja pun berpecahan. Akulah si abangan, akulah raja. Masing-masing mengklaim diri seperti itu. Konflik antar person dan antar clan tak jarang menjadi suatu yang gila-gilaan dalam tuntunan filosofi kegelapan yi "ndang di ho ndang di ahu, bulus ma tu begu". Nggak di elo nggak di gue, sebaiknya buat setan saja di banua toru nan gelap sana.
Wacana akhir
Paradoks Hotman Vs Otto di tengah ketidakbersatuan para lawyer kita dalam satu wadah yang representatif, menjadi jelas adalah bagian yang serupa dengan paradoks serupa yang dijiwai kubu dua peradi lainnya.
Mengapa? Paradoks itu dimungkinkan karena adanya pewarnaan dari orang-orang Batak Toba yang cukup banyak bercokol di organisasi-organisasi para lawyer kita.
Lepas dari kedudukan Otto yang dipertanyakan legalitasnya sekarang di Peradi. Hotman sepertinya kerasukan "Sturm und Drang", sebuah keadaan mental yang sangat digiring oleh perasaan, individualisme Toba dan menampik sisi now pergaulan profesi yang seharusnya.
Maka Otto yang lebih tua empat tahun dari Hotman lebih dewasa sedikit dengan menganggap Hotman kekanak-kanakan dan tak perlu diladeni lebih jauh, ntah itu di ring tinju, di arena talkshow media tv dst.