Â
Langit bergemuruh, disambut kilat yang saling balas sambar-menyambar. Alam rimba seakan menangis. Tokoh kunci warga rimba, sang singa telah pergi untuk selamanya.
Sore itu, setiap warga rimba menyemut mengelilingi sosok tubuh singa yang kaku membatu sambil memberikan penghormatannya yang terakhir. Sebagai wakil sang pemimpin, serigala berdiri sambil berorasi.
"Saudara-saudari, anda hadir di sini sebagai saksi sejarah rimba. Raja yang telah mengayomi kita selama beberapa dekade ini telah wafat. Ia akan meninggalkan berbagai kesan di hati saudara sekalian. Jika sekiranya itu adalah kesan yang buruk, biarlah itu berlalu dengan terbenamnya mentari di hari ini. Sebaliknya, demi harapan baru yang terbentang di hadapan kita, kenanglah raja kita ini sebagai pembela bangsa rimba yang gigih di hadapan musuh-musuh kita.."
***Â
Setelah kepergian raja rimba, timbul berbagai polemik. Timbullah tiga kelompok besar dalam masyarakat yang memberi penilaian terhadap kinerja sang raja yang telah mangkat.
Kelompok pertama memandang kepergian sang singa sebagai suatu keruntuhan dari kemapanan kejayaan Kerajaan Rimba. Mereka menangisi kepergian sang raja dengan ungkapan belasungkawa yang mendalam. Mereka merindukan munculnya pemimpin yang meniru gaya kepemimpinan sang raja yang mengedepankan keteraturan sosial, merepresi setiap kerusuhan dengan cekatan serta menampilkan bangsa rimba yang disegani oleh bangsa lainnya. Ia juga dipandang sebagai pembela bangsa rimba dari musuh-musuh yang kuat seperti para pemburu dari kota. Sang serigala adalah tokoh penting dari kelompok ini.
Tidak semua warga sejalan dengan kelompok ini. Kelompok kedua seolah merasa begitu bahagia mendengar berita kematian ini dan menggelar pesta secara diam-diam (karena secara faktual, militer rezim dinasti singa masih berkuasa). Kematian sang singa dipandang sebagai awal fajar baru bagi kebebasan dan kemerdekaan individu warga rimba. Mereka memandang pemerintahan singa terlalu kaku, kurang kreatif serta kurang memberi ruang bagi keberagaman. Kebanyakan dari kelompok ini adalah kaum oposisi politik sang raja. Mereka mengharapkan pemerintahan demokratis di seantero wilayah rimba. Gorila adalah tokoh utama kelompok ini.
Bagaimanapun. tidak semua warga terpecah ke dalam dua kelompok ini. Adapula kelompok yang memilih untuk apatis terhadap setiap sentimen yang muncul. Mereka  tak memberi bobot penilaian yang tendensius terhadap pemerintahan sang raja, tetapi melihatnya secara berimbang. Mereka mengharapkan raja yang kuat seperti singa namun membenci segala jenis pemusatan kekuasaan di satu tangan. Dengan kata lain, mereka menolak dinasti. Kancil adalah tokoh utama kelompok ini.
***
Sebulan telah berlalu sejak kepergian sang raja. Warga rimba telah begitu gelisah karena belum memiliki pemerintahan yang legitim. Para warga telah mendesak jenderal serigala untuk mengadakan musyawarah di lapangan rimba demi mencari jalan keluar. Tanpa mengetahui polemik yang telah terjadi, sang jenderal telah menyiapkan sebuah skenario politiknya sendiri yang akan segera menyulut revolusi.
Tepat pada pagi hari, ketika mentari benar-benar berada pada ufuk Timur, serigala serta barisan tentaranya (para harimau, para gajah, para serigala, dan para elang) telah berbaris rapi. Terompet tanda berkumpul pun dikumandangkan dengan nyaring. Dalam beberapa menit saja, lapangan rimba telah dipenuhi warga.
Serigala maju ke depan menyampaikan pesan: "Terimakasih telah memenuhi undangan kami sebagai pemerintah ad interim. Tepat sebulan yang lalu, anda semua telah menjadi saksi sejarah paling kelam dalam masyarakat kita yakni kepergian sang raja mentari, sang singa yang perkasa. Maka pada hari ini, anda semua akan menjadi saksi sejarah bagi babak baru negeri kita. Kami atas nama pemerintah ad interim (sementara) mengangkat Leonidas, anak sang raja mentari sebagai raja baru. Marilah kita berikan hormat penyambutan bagi sang raja!"
Pekikan maklumat itu langsung disambut gemuruh genderang dan terompet serta pekikan nyaring para pendukung keluarga kerajaan. Leonidas, pangeran negeri rimba memasuki panggung, siap-siap menerima mahkota yang diserahkan langsung sang serigala. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa kelompok penentang monarkhi akan menolak penobatan ini.
"Tunggu!" suara serak yang berat itu menghalangi peletakan mahkota emas di kepala Leonidas. Seluruh hadirin terdiam dan terpana. Sosok tinggi besar serta berbulu itu menampakkan dirinya. Gorila! Kehadirannya yang tiba-tiba membuat warga yang lain mulai riuh rendah dalam kasak-kusuk.
"Jika penobatan itu tetap dilaksanakan, saya  pastikan bahwa kita akan terpecah belah. Secara jujur kami menolak monarkhi; apalagi yang dilandasi dengan kekerasan dan kekakuan. Kami menginginkan demokrasi!"
Kepalan tangan gorila ke angkasa disambut sorak-sorai pendukungnya. Melihat gelagat akan terjadinya huru-hara, Leonidas dilindungi dan diundurkan dari podium, sementara militer siap siaga pada posisi masing-masing. Serigala kembali mengambil tempat utama di panggung, berusaha mengamankan situasi.
"Tenang saudara-saudariku. Monarkhi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik. Negara kita akan selalu stabil karena keterpusatan kekuasaan di satu tangan saja. Demokrasi hanyalah mimpi. Itu adalah utopia para penganggur yang tak memahami apa artinya memerintah. Pemerintahan oleh rakyat?" sang serigala tertawa mengejek, "Janganlah terbius oleh para pemburu itu. Katanya mereka mendirikan negara atas dasar demokrasi. Tapi lihat! Apa yang dihasilkan demokrasi? Kemiskinan dan ketimpangan sosial. Jutaan orang menganggur sementara korupsi merajalela dimana-mana. Demonstarasi terjadi hampir setiap hari. Kerusuhan sudah jadi pemandangan umum."
"Tidak!" Pekikan tajam gorila kembali membahana, "Itu adalah penilaian yang tak adil. Demokrasi yang kau gambarkan tak lain adalah kenyataan dari mentalitas monarkhi yang masih  tertinggal di benak tiap warga para pemburu itu. Kegoncangan memang adalah hal yang niscaya pada sebuah negara demokrasi, tetapi setiap kemajuan selalu ditopang oleh kebebasan dan pengakuan akan hak-hak azazi, dan itu yang tak dapat diberikan oleh pihak kerajaan selama ini kepada setiap warga."
"Cukup!" terdengar sebuah sahutan dari arah belakang kerumunan.
Suara meneduhkan itu tiba-tiba menengahi perseteruan sengit gorila dan jendral serigala. Itu sang kancil. Dialah aristokrat dan penasehat pihak kerajaan. Dia jualah pemimpin kelompok non-blok di rimba ini. Setiap mata tertuju padanya, mengharapkan secercah ide cemerlang yang dapat menyelesaikan perseteruan ini.
"Monarkhi tidak jahat sepenuhnya. Demokrasi praktis pun tidak dapat menjamin kebebasan dan kedamaian sepenuhnya. Masing-masing memiliki keretakan. Masing-masing sistem adalah yang terbaik, tergantung pada situasi dan posisi kesadaran para warganya. Kami mengusulkan suatu kompromi. Bagaimana kalau kita menerima pemerintahan monarkhi-parlementer? Raja akan tetap ada, namun sebatas lambang kejayaan nasional, sementara itu secara praktis pemerintahan dijalankan atas dasar demokrasi lewat pemilu parlemen. Kalian dapat melihat dan berkaca pada negara-negara hebat para pemburu itu: Inggris dan Jepang. Kedua negara itu sampai saat ini masih disegani sebagai kekuatan global."
Beberapa warga mulai manggut-manggut. Tampak bahwa sebagian warga setuju dengan apa yang dikatakan oleh si kancil. Pihak pemerintahan ad interim di bawah pimpinan serigala pun menyatakan diri setuju dengan semua itu, walaupun itu berarti kewenangan raja beserta militer akan sangat dibatasi.
Pihak gorila belum setuju. Mereka menginginkan penghapusan jejak monarkhi sama sekali.
"Cabut antek-antek monarkhi sampai ke akar-akarnya!" begitu pekik mereka. Lama kelamaan pekikan mereka kian deras dan kian menggema.
Bagaimanapun pihak oposisi yang dimotori gorila kalah telak. Mereka kalah dalam jajak pendapat maupun adu kekuatan fisik. Koalisi pihak pro monarkhi yang didukung militer dan non blok masih begitu perkasa untuk dilawan. Mereka hanya bisa melihat pemerintahan baru yang diangkat di luar kendali dan keinginan mereka. Sebuah negara monarkhi-parlementer telah lahir bagi warga Rimba. Rakyat berpesta, tetapi golongan republikan masih menampakkan wajah murung.
***
Setelah semuanya itu terjadi, gorila segera mengonsolidasikan kekuatannya. Di depan para pendukungnya gorila berpekik: "Demokrasi, bagaimanapun harus menang! Republik harus lahir di bumi rimba. Monarkhi-parlementer hanyalah kedok kerajaan untuk mempertahankan dinasti haus emas dan darah itu! Perjuangan kita belum selesai kawan-kawan! Marilah kita tumpas habis kerajaan jahanam ini!"
Orasi gorila yang berapi-api itu hanya dianggap sebagai kopi dingin oleh para petinggi negeri, terutama sang jenderal serigala. Namun Leonidas sendiri sebagai raja baru menunjukkan ekspresi cemas.
"Raja tidak perlu takut. Kendali kerajaan yang luas ini masih dipegang oleh yang mulia. Parlemen hanyalah topeng saja. Kita bisa memanipulasi mereka untuk mengikuti keinginan kita."
"Andai saja segalanya masih sama seperti saat ayahku memerintah, pasti saja revolusi tak akan terjadi. Sejak gorila kota itu dibuang dari kebun binatang ke sini, ia membawa racun yang menghancurkan kita secara perlahan... cepat atau lambat, demokrasi akan melucuti dinasti kita, sebuah republik akan lahir menggulingkan kerajaan yang telah bertahan berabad-abad. Lihatlah nasib monarkhi di negeri-negeri para pemburu itu: Prancis, Jerman, Turki dan China. Semuanya tak bertahan."
Sang jenderal belum kehabisan akal untuk membalikan optimisme sang raja. "Paduka! gorila, sang pemimpin pemberontak itu ingin menyamakan dirinya dengan para pemburu yang menahannya di kebun kota. Padahal gorila tak sadar bahwa ia hanya sedang melawan kodratnya sendiri. Kodrat kita telah digariskan secara turun-temurun oleh hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Hukum tertinggi ini hanya bisa dipenuhi oleh sistem monarkhi. Demokrasi adalah gagasan asing yang berasal dari sang penghancur kedamaian kita yakni manusia. Perlahan, kita akan kuasai kembali keadaan. Kita buat propoganda yang menyudutkan ide-ide demokrasi. Kita bilang bahwa itulah ide para pemburu yang ingin memecah belah kita!"
Penjelasan sang jendral yang bersemangat itu tetap tidak dapat menenangkan hati sang raja. Dengan wajah muram, ia kembali terduduk lesu di takhta batunya. Sambil menatap lesu pada para pembantunya di aula istana gua batu, Leonidas kembali berujar:
"Para manusia itu pernah menyatakan bahwa segala sesuatu akan berubah dan siapapun yang melawan perubahan itu akan mati secara perlahan. Kita tetap mengharapkan hal yang terbaik tetapi terus bersiap untuk hal terburuk. Jika saatnya sudah tiba, bukan mustahil sebuah negara republik bisa muncul di tanah rimba ini. Dan jika waktu itu tiba di saat aku masih membuka mataku, tak akan kubiarkan satupun dari barisan tentara ini yang melindungiku."
Kata-kata Leonidas barusan membuat barisan tentaranya terpekur. Mereka tak menyangka bahwa keyakinan sang raja untuk mempertahankan hegemoni keluarganya telah goyah.
***
Untuk sementara waktu, kerajaan rimba dapat bertahan di bawah polemik yang berlarut-larut. Meskipun demikian, luka keterpecahan itu belum juga dapat disembuhkan. Para republikan masih saja mendengungkan ide-ide mereka di setiap kesempatan dan menyebarkan ide kebencian terhadap Leonidas dan para pendukungnya.
Leonidas tetap waspada dan cemas dengan kekuatan para republikan yang secara diam-diam merambat luas di tengah masyarakat. Sementara itu  jendral serigala tetap begitu percaya diri dan tak menganggap para republikan sebagai ancaman serius. Perang dingin itu terus berlangsung hingga suatu ketika raja rimba mendengar suatu penuturan yang menggegerkan dari intel merpati.
"Yang mulia, dari para kolega kita yang dipenjarakan di kebun binatang kota, kami mendapat informasi bahwa para penduduk kota akan mulai membangun lahan pemukiman di sebelah Utara. Kabarnya proyek itu akan memakan lahan wilayah rimba sebanyak 44 hektar. Apa yang harus kita lakukan yang mulia?"
Wajah Leonidas memerah. Air mukanya menegang namun tak tampak kemarahan, melainkan ketakutan. Seisi istana pun turut tertegun.
"Terimakasih intel merpati, kau boleh kembali ke sarangmu," suara Leonidas makin melemah dan lirih.
"Jenderalku, para mentri dan kolegaku semua. Saya pikir, kita tak akan mampu menghadang invasi manusia di bagian Utara itu. Saya harap semua warga di sana mundur sampai ke batas evakuasi. Bagiku tidak ada pilihan lain."
"Tapi paduka, kita masih bisa melawan! Ayah paduka sering melakukannya ketika para penduduk kota mencoba menerobos hutan ini. Satu aumannya saja sudah cukup membuat makhluk berkaki dua itu tunggang langgang meninggalkan rimba."
"Jendralku, ayahku melakukan itu bukan tanpa resiko. Berkali-kali ia menerjang tikaman lembing dan panah para pemburu. Itu terjadi sekitar lima puluh tahun lalu bukan? Sekarang kita harus menerjang kekuatan manusia yang jauh lebih mengerikan lagi. Kini ia memiliki senjata yang disebut sebagai teknologi. Teknologi inilah yang menjadikan seorang manusia pemburu dapat menaklukkan seluruh kerajaan kita seorang diri saja. Hal ini diperparah pula dengan kenyataan bahwa keadaan politikkita yang tak stabil dan terpecah belah saat ini. Rakyat kita bagaikan patung campuran logam dan tanah liat. Kelihatannya indah bersatu tetapi sesungguhnya saling menusuk dari dalam. Masing-masing ingin saling melenyapkan. Dari segala segi, kita sudah tak mungkin mampu melawan bangsa pemburu itu."
Perkataan sang raja kepada jenderal itu membuat seisi istana kembali termenung. Menteri keuangan kerajaan, si rusa angkat bicara: "Mengapa para manusia harus melakukan penaklukkan ini? Kita tak pernah mengganggu mereka. Apa yang kita lakukan selama ini hanyalah sebagai pembelaan diri semata. Apakah mereka tak malu dan segan mengambil serta menaklukkan wilayah pihak lain seenaknya?"
Sang raja kembali menyapukan pandangan ke seisi istana gua batunya. Ia angkat bicara pula: "Saudara-saudariku, para pengajar manusia selalu menekankan bahwa merekalah penguasa semesta. Segala sesuatu yang ada di bumi ini diadakan bagi mereka. Apapun yang bukan manusia dapat mereka eksploitasi secara sewenang-wenang. Cepat atau lambat keberadaan kita makin terdesak. Bahkan mungkin dapat terjadi bahwa beberapa klan akan hilang akibat perbuatan mereka. Menurut catatan sejarah resmi Kerajaan Rimba, Harimau Jawa adalah salah satu dari suku-suku yang telah musnah akibat perbuatan mereka. Beberapa klan yang hampir punah akibat pengejaran mereka adalah burung Cendrawasih, Elang Jawa, dan Harimau Sumatera." Seluruh penjelasan sang raja membuat seisi istana meneteskan airmata.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang paduka?" tanya sang jenderal dengan suara lirih sambil menengadah kepada sang raja, yang berdiri diatas takhta batunya sambil memandang kosong ke depan.
"Berpasrahlah kepada Tuhan dan marilah kita harapkan semoga kita kembali bersatu," jawab sang raja singkat.
***
Pembangkang nomor satu di negeri rimba, gorila juga sedang menerima kabar itu dari sang kancil yang sengaja diutus sang raja. Ketika itu, ia baru saja menyelesaikan makan siangnya berupa sesisir pisang masak. Berita itu juga membuat matanya mendelik.
"Apa? Para manusia itu hendak menginvasi dan menduduki wilayah Utara? Itu tidak mungkin! Penguasaan daerah negara lain secara sewenang-wenang jelas-jelas bukanlah cita-cita dan sifat negara republik. Yang aku tahu, mereka itu adalah para republikan juga: warga dari negara Republik Indonesia."
Mendengar penuturan sang gorila, kancil tertawa cekikikan. "Goril, goril... rupanya kau tak pernah belajar dari sejarah. Sejak kapan para pemburu yang mendaku diri sebagai warga negara Republik Indonesia itu mengakui negara rimba kita ini? Yang mereka tahu, seluruh hutan kita ini adalah daerah kekuasaan mereka. Seluruh warga kita yang tertangkap oleh mereka biasanya dijadikan budak di kebun binatang atau dijadikan kuli di rumah-rumah warga. Tak jarang, warga rimba yang tertangkap itu dibunuh begitu saja untuk mereka makan."
"Tidak!" tukas gorila cepat, "itu hanya terjadi kepada para penduduk yang setia kepada monarkhi. Kami para republikan akan menjadi kawan mereka. Bila perlu bersama para manusia itu, kita hancurkan monarkhi ke akar-akarnya sama sekali."
"Terseralah goril. Aku datang ke sini atas permintaan Leonidas. Sebagai satu kawanan kita harus bersatu! Leonidas tahu di mana kita harus bereksodus. Ikutlah kami! Kita tak dapat mengharapkan apa-apa dari para pemburu itu. Mereka hanya menginginkan kita sebagai alat bagi kebutuhan mereka. Jangan pernah kau harapkan kerjasama apapun dengan mereka. Karena bagi mereka, kita itu lebih rendah derajadnya."
"Tidak!" gorila kembali menyanggah kata-kata kancil, "selama bertahun-tahun di kota, mereka memeliharaku dengan baik. Setelah tiba masanya, mereka melepaskanku di hutan sialan ini. Selama ini aku jadi sahabat manusia. Aku jadi seorang republikan sejati!"
Sang kancil hanya tersenyum kecut melihat kekerasan hati sang gorila sambil geleng-geleng kepala.
"Baiklah. Kau memang keras kepala. Kau tak sadar telah memilih untuk dijajah dan direndahkan martabatnya dengan dirantai, sementara teman-teman yang lain memilih untuk hidup merdeka, menentukan nasibnya sendiri. Apakah kau juga merencanakan untuk kembali dirantai?"
"Itu adalah pendapat kalian. Bagi kami hidup di bawah pemeliharaan manusia adalah hidup yang terbaik. Sekarang, lebih baik kau pergi dari hadapanku! Tak usah kau sombongkan sikap sok tahumu itu. Lebih baik bagiku sebuah rantai kebun binatang daripada Istana emas namun harus tunduk pada perintah keturunan singa ompong itu!"
Si kancil pergi tanpa hasil apa-apa. Para republikan tetap bersikukuh untuk tidak ikut bereksodus seperti warga lainnya yang tunduk kepada perintah Leonidas.
Keadaan keterpecahan itu tetap bertahan sementara area Utara hutan rimba telah dirangseki oleh puluhan buldozer dan alat berat. Beberapa polisi hutan tampak membawa senapan angin dan senapan bius, hendak berjaga-jaga jika ada hewan buas yang muncul selama pembersihan lahan.
Sementara di sebelah selatan hutan rimba, terdapat barisan raksasa yang mengular, berderap-derap membelah kepekatan hutan, merangsek semakin menjahui kawasan perkotaan.
"Kau yakin para pemberontak itu akan selamat?" tanya Leonidas sambil melirik ke arah jenderal serigala.
"Tentu tidak. Perundingan yang diadakan oleh kancil menemui jalan buntu. Mereka bersikeras untuk tinggal dan bahkan telah bertekad untuk ditangkap oleh para pemburu kota itu."
"Sungguh malang! Mereka akan diperbudak di kebun binatang kota, dijadikan tontonan di sirkus dan diperalat sesuka hati oleh manusia."
***
Pembersihan lahan sudah hampir selesai. Seluruh buldozer telah mengenyahkan pepohonan besar yang menutupi lahan yang rencananya akan dijadikan wilayah perkebunan yang baru.
"Itu para manusia. Mari kita dekati mereka, biarlah dirimu ditangkap oleh kemurahan hati mereka! Janganlari! Kita sesama republikan!" pekik gorila.
Segera pekikan itu dituruti pendukungnya. Para polisi hutan yang mengitari wilayah itu dengan mudahnya menembak hewan yang telah menyerahkan diri itu dan dengan segera menyeretnya ke kandang besi. Para binatang itu dibawa ke kota
***
Gorila dan teman-temannya siuman beberapa jam kemudian dan menyadari bahwa mereka telah tertangkap dan sementara  melajumenuju ke kota. Gorila tersenyum menang sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Sambil menyapukan pandangannya ke arah kawan-kawannya yang juga tertangkap, ia berkata: "Para sahabatku, tersenyum dan bergiranglah. Sebab kita telah dipilih sebagai para sahabat manusia. Berbahagialah sebab mulai saat ini kita akan dirawat dengan fasilitas mewah. Makanan akan tersedia dengan mudahnya. Kita patut bersimpati dengan para kawan kita yang masih berjuang di alam liar sana. Marilah kita pekikkan gema perjuangan kita!..."
"Hidup republikan!!!" sahut mereka serentak.
                                                       Â
                                                           ( Timika, Oktober 2016 ) .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H