"Jendralku, ayahku melakukan itu bukan tanpa resiko. Berkali-kali ia menerjang tikaman lembing dan panah para pemburu. Itu terjadi sekitar lima puluh tahun lalu bukan? Sekarang kita harus menerjang kekuatan manusia yang jauh lebih mengerikan lagi. Kini ia memiliki senjata yang disebut sebagai teknologi. Teknologi inilah yang menjadikan seorang manusia pemburu dapat menaklukkan seluruh kerajaan kita seorang diri saja. Hal ini diperparah pula dengan kenyataan bahwa keadaan politikkita yang tak stabil dan terpecah belah saat ini. Rakyat kita bagaikan patung campuran logam dan tanah liat. Kelihatannya indah bersatu tetapi sesungguhnya saling menusuk dari dalam. Masing-masing ingin saling melenyapkan. Dari segala segi, kita sudah tak mungkin mampu melawan bangsa pemburu itu."
Perkataan sang raja kepada jenderal itu membuat seisi istana kembali termenung. Menteri keuangan kerajaan, si rusa angkat bicara: "Mengapa para manusia harus melakukan penaklukkan ini? Kita tak pernah mengganggu mereka. Apa yang kita lakukan selama ini hanyalah sebagai pembelaan diri semata. Apakah mereka tak malu dan segan mengambil serta menaklukkan wilayah pihak lain seenaknya?"
Sang raja kembali menyapukan pandangan ke seisi istana gua batunya. Ia angkat bicara pula: "Saudara-saudariku, para pengajar manusia selalu menekankan bahwa merekalah penguasa semesta. Segala sesuatu yang ada di bumi ini diadakan bagi mereka. Apapun yang bukan manusia dapat mereka eksploitasi secara sewenang-wenang. Cepat atau lambat keberadaan kita makin terdesak. Bahkan mungkin dapat terjadi bahwa beberapa klan akan hilang akibat perbuatan mereka. Menurut catatan sejarah resmi Kerajaan Rimba, Harimau Jawa adalah salah satu dari suku-suku yang telah musnah akibat perbuatan mereka. Beberapa klan yang hampir punah akibat pengejaran mereka adalah burung Cendrawasih, Elang Jawa, dan Harimau Sumatera." Seluruh penjelasan sang raja membuat seisi istana meneteskan airmata.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang paduka?" tanya sang jenderal dengan suara lirih sambil menengadah kepada sang raja, yang berdiri diatas takhta batunya sambil memandang kosong ke depan.
"Berpasrahlah kepada Tuhan dan marilah kita harapkan semoga kita kembali bersatu," jawab sang raja singkat.
***
Pembangkang nomor satu di negeri rimba, gorila juga sedang menerima kabar itu dari sang kancil yang sengaja diutus sang raja. Ketika itu, ia baru saja menyelesaikan makan siangnya berupa sesisir pisang masak. Berita itu juga membuat matanya mendelik.
"Apa? Para manusia itu hendak menginvasi dan menduduki wilayah Utara? Itu tidak mungkin! Penguasaan daerah negara lain secara sewenang-wenang jelas-jelas bukanlah cita-cita dan sifat negara republik. Yang aku tahu, mereka itu adalah para republikan juga: warga dari negara Republik Indonesia."
Mendengar penuturan sang gorila, kancil tertawa cekikikan. "Goril, goril... rupanya kau tak pernah belajar dari sejarah. Sejak kapan para pemburu yang mendaku diri sebagai warga negara Republik Indonesia itu mengakui negara rimba kita ini? Yang mereka tahu, seluruh hutan kita ini adalah daerah kekuasaan mereka. Seluruh warga kita yang tertangkap oleh mereka biasanya dijadikan budak di kebun binatang atau dijadikan kuli di rumah-rumah warga. Tak jarang, warga rimba yang tertangkap itu dibunuh begitu saja untuk mereka makan."
"Tidak!" tukas gorila cepat, "itu hanya terjadi kepada para penduduk yang setia kepada monarkhi. Kami para republikan akan menjadi kawan mereka. Bila perlu bersama para manusia itu, kita hancurkan monarkhi ke akar-akarnya sama sekali."
"Terseralah goril. Aku datang ke sini atas permintaan Leonidas. Sebagai satu kawanan kita harus bersatu! Leonidas tahu di mana kita harus bereksodus. Ikutlah kami! Kita tak dapat mengharapkan apa-apa dari para pemburu itu. Mereka hanya menginginkan kita sebagai alat bagi kebutuhan mereka. Jangan pernah kau harapkan kerjasama apapun dengan mereka. Karena bagi mereka, kita itu lebih rendah derajadnya."