Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Aneh"

20 Januari 2023   23:34 Diperbarui: 3 Februari 2023   22:27 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                     (pixabay.com)

Namanya Grisela. Gadis manis berkulit sawo matang itu sering sekali duduk termenung di perpustakaan dengan tumpukan buku yang menggunung.

Sorot mata tajamnya tersembunyi diantara lebatnya uraian poni yang menutupi sebagian wajahnya. Setiap orang yang melewati perpustakaan kampus tahu kalau Grisela sudah ada di sana sebelum orang lain menyerbu masuk ke ruangan bersuhu tiga-belas derajat Celsius itu.

Di kelas, ia hanya duduk diam dan sesekali didapati menatap kosong pada papan tulis. Tangan kirinya memengang pena dengan coretan-coretan yang tak jelas.

"Dia itu tak normal. Aneh," tukas seorang gadis teman sekelasnya.

"Mungkin dia seorang alien,' seorang gadis lainnya menimpali.

"Dia tidak aneh. Hanya saja tidak biasa." Kini seorang lelaki membela Grisela. Namanya John, juga teman sekelas Grisela. Tidak seperti teman-teman lainnya, John sang pria tampan yang menjadi idola banyak gadis ini sangat berempati pada Grisela.

"Hmm... John, dia itu memang aneh. Untuk apa kita membela orang asosial seperti dia. Aku bahkan meragukan kalau dia mengalami datang bulan seperti wanita lainnya."

"Apa? Jangan gegabah Barbara, kamu menuduh tanpa bukti. Ingat, asumsi adalah dasar dari segala keburukan. Jangan mengira yang bukan bukan. Selama ini kamu tidak pernah menyapanya bukan? Apa yang kamu tahu tentang dia?"

Sudah beberapa bulan ini Grisela memang menjadi buah bibir kebanyakan orang kampus. Entah sejak kapan julukan "aneh" melekat pada dirinya. Diam, kaku, jarang tersenyum, suka menunduk, ekspresi wajah yang datar dan seakan tak bersemangat, semuanya itu membuat dia tampak berasal dari dunia lain.

***

Siang itu, perpustakaan tetap buka seperti biasanya. Pendingin ruangan tetap meraung seperti yang sudah-sudah. Grislea sudah di sana dengan buku cakarannya. Masih di tempat duduk yang sama. Bangku No. 52 di sudut kiri ruangan. Ia masih setia membaca buku yang sama pula, sebuah buku Ensiklopedi Britanica yang tebalnya sekirar seribu halaman.

Empat puluh mata yang bersamanya di ruangan itu tetap awas dengan kehadiran makhluk aneh itu. Namun ada tiga pasang mata yang menyorot lebih tajam. Tiga pasang Mata dari gadis yang menamakan diri mereka sebagai geng WANORMALIS: Wanita Normal Internasional, orang-orang yang mengklaim diri paling teranggu dengan kehadiran wanita langka semacam Grisela.

Ketiga wanita itu hanyalah sampel kecil saja dari seluruh warga kampus Universitas Normal Nusantara, yang gerah dengan tingkah Grisela yang tak mencerminkan nama kampus mereka.

Semakin hari, batin Grisela makin tertindih, namun ia tak kunjung memberi komentar apa pun. Ia tetap tekun dalam diam, bahkan sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan gadis-gadis angkuh tersebut. Bagi geng Wanormalis, diamnya Grisela begitu mengganggu.

"Mungkin dia terkena Skizofrenia..."

"mungkin dia mengidap Autisme..."

"Apa dia pernah merasakan cinta? Mungkin dia makhluk yang kebal cinta."

"Kita tidak pernah tahu selama kita menutup mata dan telinga kita terhadapnya. Tampaknya kita malah jadi orang gila kalau terus menerus berpikir dan menilai dia seperti itu." John kembali membela Grisela. Ketiga gadis angkuh itu tersenyum kecut.

"Kamu lagi, kamu lagi. Hobinya membela Grisela terus..." Ketiganya menggerutu.

"Eh jangan-jangan kamu memang suka wanita aneh itu?" kata Barbara ketus.

"Eh iya. Bisa jadi." Kedua temannya menimpali secara serempak.

"Sungguh memprihatinkan. Pria setampan kamu bisa terpikat dengan orang aneh seperti itu."

"Barbara, kurasa kita wajib mengajaknya berbicara... siapa tahu dia dapat mengeluarkan perkataan yang tak pernah kita dengar sepanjang sejarah."

Usulan John kali ini agaknya diterima dengan baik oleh ketiga gadis itu. Kali ini mereka sepakat untuk menguak kemisteriusan Grisela yang telah melegenda.

Di dalam kepala mereka dan juga kepala warga kampus, berseliweran pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang dibacanya? Apa yang dicoret-coretnya? Apa yang dipikirkan dan dikhayalkannya? Apakah dia memilki rasa tertarik kepada lelaki? Bahkan pertanyaan itu kian menukik. Apakah Grisela itu manusia?

***

Sebenarnya sudah pernah Grislea memperdengarkan suara dan pengetahuan misteriusnya setahun yang lalu. Ketika itu ia mengomentari ajaran Prof. Darmo, seorang dosen mata kuliah Filsafat Barat.

"Nietsche dan Feurbach sama sekali tidak membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada, mereka hanya menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak pantas untuk dipercaya..."

Semua mata terpana siang itu. Grisela baru saja memberikan suatu komentar yang tak pernah didengar oleh sang Profesor dalam karirnya selama dua puluh tahun. Memang tidak pernah Pak Darmo menjumpai seorang mahasiswa semester pertama yang berani mengomentari kata-katanya.

"Lalu apa kesimpulanmu?"

"Kesimpuannya adalah, bukti selalu membutuhkan asumsi. Dan bagi saya Tuhan tidak perlu diasumsikan. Dan jika Tuhan tidak perlu diasumsikan, maka keberadaan Tuhan juga tidak perlu dibuktikan. Seluruh pencarian akan bukti keberadaan Tuhan, hanya akan mengurung Dia dalam tempurung pemikiran manusia. Kita hanya mampu berpikir antara hitam dan bukan hitam, antara benar dan salah."

Pak Darmo mematung dan tertegun. Terkesima.

"Aku baru pernah mendapati seorang mahasiswa yang seperti ini selama karirku sebagai dosen, sungguh buah pemikiran yang sangat jarang dimiliki oleh seorang wanita muda semester satu."

Teman-teman Grisela saling pandang siang itu sambil menampakkan bermacam-macam ekspresi. Grisela hanya berusaha mengungkapkan apa yang dia tahu. Namun tidak bagi teman-teman lainnya. Ia terlihat sok pintar.

***

"Seperti biasa. Kutu buku kita sudah hadir sejak tadi." Komentar Rebecca, salah satu anggota geng Wanormalis, ketika melihat Grisela sudah berada di perpustakaan sebelum kedatangan mereka.

"Jadi kita mampu merumuskan kenormalan itu jika kita berkaca  pada Grisela. Rumus yang paling mudah dari kenormalan adalah: menjadi kebalikan dari sebagian besar perilaku Grisela!" Barbara mengejek lagi, diikuti oleh tawa membahana dari kedua anggota geng-nya

Grisela tetap diam membatu. Ia seakan sudah terbiasa dengan semua itu dan tetap menyembunyikan ekspresi wajahnya di balik tumpukan buku yang menggunung di mejanya.

Grisela menatap tajam pada meja putih di hadapanya. Beberapa bulir gumpalan lelehan jernih pecah di atas serat-serat kertas di hadapannya. Garis-garis tinta yang telah dibentuknya bebarapa menit yang lalu  pupus dan berantakan.

Air mata itu setidaknya menyatakan bahwa ia memiliki rasa. Ia juga ingin menjadi bagian dari teman-temannya. Selama ini ia tertekan, tapi ia sungguh tak berdaya. Ia ingin menjadi normal. Ia telah berusaha sekuat mungkin, tetapi ia belum juga dikategorikan sebagai orang normal.

"Grisela!" Suara berat itu berasal dari samping kanan bangkunya. Ia ragu untuk menoleh.

"Grisela...," suara itu tetap memaksa unutk ditanggapi. Grisela menoleh ke samping kirinya dengan mata sembab memerah. Ternyata John telah berdiri di sampingnya.

"Pergi John. Biarkan aku sendirian."

"Aku butuh perhatian dan kehangatan tatapanmu. Jangan biarkan aku mematung dalam diam. Tolong buatlah diriku berbeda dari patung di depan sana." Suara lelaki itu makin memelas.

"Baiklah... kau mau apa sekarang?" Grisela menghardik keras sambi berdiri

Tapi pria itu tidak bergeming sedikit pun. Diulurkannya tangannya ke jemari Grisela.

"Grisela, kau tidak sendiri, percayalah. Keptusasaan dan kesedihanmu sama sekali tidak membenarkan anggapan mereka. Mereka hanyalah orang yang perlu mengerti bahwa ada insan yang unik dan istimewa, seperti dirimu. Mereka yang menyebut dirinya normal, adalah para penjahat kemanusiaan. Mereka bangga dengan sebutan itu? Menyedihkan! Mereka sesungguhnya adalah makhluk-makhluk penakut."

"Takut akan apa?" Grisela mengangkat wajahnya... mencoba memfokuskan pandangannya pada lelaki manis yang belum melepaskan jemarinya itu.

"Takut akan perbedaan. Bagi mereka perbedaan adalah ketaknormalan dan ketaknormalan adalah keanehan. Dan keanehan adalah sejenis dosa. Dan satu hal yang ingin kukatakan padamu, aku juga orang aneh..."

"Jangan sebut-sebut kata itu!" Grisela mengempaskan tangan John dari jemarinya.

"Tapi mengapa Grisela? Mengapa kita tidak bisa menerima keanehan? Kau telah dijebak. Aku lebih suka menyebut diri kita di atas normal... itulah yang mereka namakan aneh.

"Apa katamu? Kita?"

"Ya, kita! Dengar... kita memang tidak bisa diterima di ingkungan seperti ini; di ligkungan yang mengagungkan kenormalan. Mereka benar ketika mengatakan bahwa mereka normal. Tapi bagi kita, kenormalan justru adalah kejanggalan. Bagi kita kenormalan itu sama artinya dengan biasa, sesuatu yang tidak memiliki nilai lebih. Itulah kenormalan. Ingat  Griss.... dunia membutuhkan makhluk langka seperti kamu. Dunia butuh orang aneh! Ya, orang aneh. Kau tahu mengapa? karena dunia sudah bosan dengan hal yang biasa-biasa saja. Dunia dan sejarah kita membutuhkan orang aneh, Grisela. Dunia butuh kita!"

"Kita?"

"Ya, kita..."

***

Seratus lampu sorot bagaikan memindahkan mentari di "Lapangan Banteng" malam itu. Beberapa lampu sorot fokus menyoroti sesosok wanita paruh baya yang sedang melangkah anggun ke atas panggung. Jutaan pasang mata di seluruh negeri tertuju padanya. Seluruh nafas di dalam kerongkongan siapa pun yang melihat ini, tertahan sejenak.

Seorang pria menggunakan setelan jas biru tua membuka acara itu dengan menyapa hadirin. Sejurus kemudian mendekati wanita anggun tadi.

"Grisela, apa yang mau anda katakan di hadapan seluruh jagad, ketika mereka mengetahui bahwa anda memenangkan hadiah nobel di bidang sastra di tahun ini bagi Indonesia?"

"Aku hanya mau bilang bahwa aku bersyukur dilahirkan sebagai orang yang aneh! Hadiah ini...(Grisela mematung sejenak menatap medali nobelnya sambil meneteskan air mata haru) aku persembahkan bagi segelintir orang aneh yang masih dikucilkan di negeri ini. Bagi mereka yang terus berjuang untuk mimpi-mimpi mereka walaupun itu terdengar janggal dan tak mungkin. Bagi mereka yang terasing dan tersisih karena pendirian mereka yang begitu berbeda dari orang kebanyakan. Bagi mereka yang berani melawan kemapanan dan hal yang biasa-biasa saja. Jangan takut hai orang-orang aneh. Mari guncang dunia!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun