"Mahapatih? Tolong aku. Segera musnahkan pemberontak keji ini!" kata sang kaisar memohon.
"Apa? Memusnahkan? Jadi kau menyuruhku memusnahkan calon permaisuriku?" Sebuah senyuman sinis mengambang di wajah mahapatih.
"Jadi, kaulah pengkhianat yang sebenarnya selama ini? Bedabah!!!" Sang kaisar dengan tenaganya yang tersisa berusaha menghalau sang mahapatih juga, tetapi tenaga yang mamancar dari telapak tangannya sudah terlalu lemah. Tenaga itu malah dibalikkan dengan mudahnya oleh sang mahapatih. Sang kaisar terpentaldari hadapan kedua pemberontak itu. Kini nampaknya sang raja langit itu tak punya pembela lagi. Kedua pemberontak itu tertawa puas.
"Kau masih bingung raja tua? Kau bingung mengapa aku tak ikut melemah bersama kalian? Aku diberi kuasa melalui darah dewi kesuburan yang telah kuminum. Kekuatannya adalah kekuatanku juga. Sebagai imbalan, kuberikan dia mata air abadi itu. Dan kau tahu rencana kami? Takhta langit akan menjadi milik kami. Aku rajanya dan dialah ratunya!"
Kedua pemberontak itu tertawa puas melihat raja yang pernah sangat berkuasa itu kini terkapar tak berdaya.
"Baiklah. Kalian boleh memiliki takhta itu sekarang dan akurela terkurung di kawah gunung Merapi selamanya oleh kalian. Tapi tolong, gunakanlah kebaikan dalam memerintah."
"Kami tak butuh nasehatmu. Karena sekarang juga, takhta ini telah menjadi milik kami!" Seru sang dewi garang.
"Tidak semudah itu!!!" Tiba-tiba saja suatu seruan melengking meluncur dari belakang sang dewi dan..."clebbb!"...sebuah pisau perak mengkilap menancap dengan kokoh menembusi punggung sang dewi.
Sang dewi pemberontak itu tak dapat bergerak lagi. Senyumannya beku dan dihiasi oleh seringai kesakitan. Ia menoleh ke belakang pada sosok berkabut yang belum sempat dikenalinya itu.
"Si...siapa kau?" tanya dewi pemberontak itu terbata-bata karena darah hitamnya mulai mengalir memenuhi kerongkongannya.
"Akulah sang pembela kebenaran. Aku hanya ingin agar pemimpin yang sah tetap menduduki takhta itu."