Orangtua sudah banyak memberikan perbekalan moral untuk anak-anaknya tetapi harus tetap eling lan waspada. Karena ketika semua jendela dan pintu di rumah sudah ditutup dan dikunci rapat-rapat, tetap saja ada jendela yang selalu terbuka dan bisa dimasuki pencuri. Televisi, internet, sosial media menjadi jendela yang tetap terbuka itu yang mampu menggerus atau mencuri perbekalan moral yang sudah ditabung di hati dan pikiran si anak. Jadi literasi informasi itu perlu terus dimahirkan.
Keinginan atau kebutuhan
Mengutip Romo Mangun dalam St. Sularto, Pendidikan Manusia Merdeka, dalam Impian dari Yogyakarta, (Yogyakarta: Kompas, 2005), menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi, animal rationale. Dalam pengertian, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya atau lebih pasnya makhluk merdeka. Dengan pengertian ini maka manusia mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya.
Pun Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, menegaskan keberhasilan seseorang dalam hidup hanya 20 persen ditentukan oleh kemampuan intelektual, sedangkan 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi. Pakar pendidikan Pater J. Drost ikut menguatkan, bahwa orangtua tidaklah boleh memaksakan kehendak, memaksa anak belajar di luar kemampuan dan kecerdasannya. Pemaksaan semacam itu akan menghancurkan emosi anak. Tugas orangtua sebagai “guru” di rumah selain membantu anak memperoleh tingkat kepandaian sesuai kemampuan intelektualnya juga harus dapat membentuk mereka menjadi dewasa mandiri dalam kehidupan. Karena itu anak harus dikenali dan diterima apa adanya.
Ironisnya banyak orangtua yang belum “mengenali” atau yang “’tidak mau” mengenali diri anaknya, atau yang merasa sudah mengenali anaknya, padahal sebenarnya belum. Ini membuat gagal paham perihal batasan mana tindakan berdasarkan keinginan orangtua dan mana yang berdasarkan kebutuhan (potensi) si anak. Mereka memaksa anak menjadi manusia rekaan (keinginan) orangtua, anak diwajibkan mengikuti bimbingan belajar, mencarikan guru les privat mumpuni berbayar mahal dengan harapan mendapat nilai atau rangking tertinggi di kelas. Jika anak tidak bisa belajar karena tuntutan keinginan tadi anak justru dituduh malas. Ini menghambat jati diri anak tumbuh berseberangan dengan aksioma di mana hati diletakkan di sanalah proses belajar dimulai.
Orangtua mengenali anaknya adalah keniscayaan. Namun untuk lebih utuh paripurna mengenali si anak, orangtua berkewajiban terus menerus menghebatkan kemampuan diri untuk mengenali anaknya, mungkin melalui diskusi dengan oranglain, membaca ulasan para pakar psikologi, atau mengikuti seminar. Dengan demikian maka kesimpulan mengenai anak adalah benar sebenar-benarnya dan memudahkan terbebas dari jebakan keinginan.
Gambaran Romo Mangun berikut ini membantu orangtua mengenali anak, kodrat anak normal dan sehat ialah serba bertanya, serba mencari, serba ingin mencoba, serba eksploratif, lewat praksis belajar aktif. Sisi lain dari satu mata uang: anak kodratnya kreatif. Mulai dari fase pralogis sampai pemekaran nalarnya si anak selalu serba mencipta. Mulai dalam imajinasi dongeng atau selama menyanyi, sampai membuat gubuk sendiri di atas dahan pohon atau permainan dari bahan buangan. Serba mengkreasi. Maka berkat hasrat eksplorasi dan kreativitasnya itulah si anak sangat dini sudah tahu, bahwa untuk mencapai sesuatu ada jalan banyak. anak sejak dini sudah bereksperimen dengan berpikir alternatif atau lebih keren:lateral thingkingmenurut de Bono, mengarah ke cara pikir dan cita rasa integral. Komprehensif, menyeluruh dengan data, situasi, kondisi, dan sejarah hidupnya yang real ada padanya.
Romo Mangun menyatakan bahwa secara kodrat pada diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Di antara potensi-potensi tersebut ialah potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar dan ingin mencapai kepenuhan diri. Visi edukasi yang utama adalah pada manusia, sang perajut makna hidup. Romo Mangun mengajarkan semangat kemanusiaan dan manusiawi dalam manifestasi apapun harus senantiasa dijaga.
Cerita seorang ibu yang selalu menyediakan cokelat enaak manis di laci lemari
Menjadi tua adalah kepastian. Namun menjadi dewasa itu adalah pilihan. Menjadi orang tua (penulisan dipisah) adalah keniscayaan. Menjadi orangtua adalah pilihan. Ketika sudah memilih menjadi orangtua, maka menjadi orangtua de jure adalah kepastian. Sedangkan menjadi orangtua de fakto adalah pilihan. Pilihan terbaik adalah menjadi orangtua yang “orangtua”, orangtua secara de jure dan juga de fakto. Itu hanya bisa direbut apabila berkenan dan berkomitmen selalu menjadi orangtua pembelajar.
Cerita di bawah ini menjadi renungan penutup bagi tulisan ini.