“Terimakasih kepada orang-orang yang telah membantuku: Ibu, yang telah memberikan kecintaan membaca padaku. Ayah, yang menunjukkan apa yang dapat dicapai oleh seorang kutu buku. Suamiku, yang mempercayaiku dan mendukungku. Anak-anakku, yang mengajariku segala sesuatu yang penting dalam hidup. Para muridku yang mengajariku segala sesuatu yang penting dalam pendidikan.”
Mary Leonhardt menyampaikan ucapan berbinar-binar ini sebagai paragraf pembuka dalam kata pengantar buku yang ditulisnya, Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t (Kiat Menumbuhkan Kegemaran Membaca Pada Anak), yang versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Grasindo.
Setali tiga uang, binar-binar pesan ini pun pas sebagai rekomendasi pembuka memahami bagaimana menjadi orangtua menurut Romo Mangunwijaya, salah satunya mengamalkan prinsip “di mana hati diletakkan di situ proses belajar dimulai”. Kecintaan membaca, meskipun tidak harus seperti Mary menjadi kutu buku, membuat orangtua tidak cepat terlihat kering garing di hadapan anak-anaknya. Apabila orangtua bisa sampai menjadi perpustakaan berjalan atau ensiklopedia bergerak yang membuat full colour hari-hari si anak, ini membantu sang anak meletakkan hatinya.
Dengan tebal Romo Mangun menggarisbawahi bahwa banyak membaca merupakan syarat perdana mewujudkan “belajar sejati” dan “suasana hati merdeka”. Belajar sejati merupakan proses belajar yang berlangsung seumur hidup dan dimulai dengan kesadaran diri sendiri, menganggap semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. Artinya, rumah juga menjadi ruang bersekolah dan orangtua adalah guru. Konsep belajar sejati sudah diamalkan sendiri oleh Romo Mangun, misalnya, dia tidak mendapatkan pendidikan formal di bidang sastra. Dia menyebut Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya dan bengawan kritikus H. B. Yassin merupakan “gurunya”.
Sedangkan konsep “suasana hati merdeka” hadir dari renungan Romo Mangun tentang atmosfir pendidikan kita, anak selalu diposisikan di posisi sekunder. Dia mengkritik keras kurikulum 1975 dan 1994 yang hanya membebani peserta didik dengan materi hafalan. Dalam pembelajaran menurutnya harus tercipta “suasana hati merdeka”, murid menjadi subyek primer dan aktif di dalam pendidikan.Dalam suasana rumah, (bisa dibaca) Romo Mangun mengkritik keras jika orangtua menempatkan anak sebagai sekunder, pengandal hafalan, serta orangtua yang tidak memberi suasana hati merdeka bagi anak.
Inilah penghantar jawaban untuk pertanyaan bagaimana prototipe orangtua menurut Romo Mangunwijaya. Selanjutnya adalah dengan mengurai seluruh konsep pendidikan Romo Mangun dan menerapkannya di rumah. Para orangtua selayaknya mengadopsi konsep Romo Mangun ini dan memboyongnya ke dalam “rumah” masing-masing. Menerapkan secara seksama dan konsekwen prinsip azasi Mangunwijaya, “di mana hati diletakkan di situ proses belajar dimulai”. Bersama barisan gagasan-gagasan lainnya sebagai satu kesatuan, seperti membaca buku bagus, majalah meja, dan religiusitas, pelajaran ngobrol. Semua itu bisa diboyong ke dalam rumah oleh orangtua. Sekarang saatnya menghapus “kelupaan” selama ini seolah-olah konsep pendidikan Romo Mangun hanya untuk dipraktekkan di lingkup formal sekolah.
Konsep Romo Mangun ini dipengaruhi oleh 2 tokoh dunia, Jean Piaget tentang perkembangan otak dalam proses belajar anak memberi pengaruh bagi konsep “belajar sejati” sementara munculnya konsep tentang “suasana hati merdeka” dipengaruhi pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan.
Membaca Buku Bagus
Termasuk menjadi ciri khas pendidikan Romo Mangun adalah membaca buku bagus. Sebuah suasana guru membacakan sebuah buku untuk anak. Buku yang dibacakan biasanya memberi inspirasi, boleh tentang penemu besar, serta orang-orang yang tidak mudah menyerah pada nasib. Guna dari pelajaran ini agar mempertajam kemampuan anak menangkap isi buku sehingga bermental berani, aktif dan kreatif mencari jalan-jalan alternatif kehidupan. Membaca buku bagus juga melatih siswa untuk berkomunikasi di depan umum karena tidak jarang banyak siswa yang mengajukan diri membacakan buku untuk teman-temannya. Tentu menarik dan berfaedah lebih maksimal apabila kegiatan membaca buku bagus ini bisa “dipinjam” memasuki ruang rumah. Jika di sekolah guru yang membacakan buku, maka di rumah orangtua menggantikan peran itu.
Selaras dan sebangun dengan ide membaca buku bagus, di dalam bukunya Mary Leonhard juga merestui sejumlah buku untuk dibaca orangtua. Buku-buku itu sebagian besar direkomendasikan oleh pembaca buku-bukunya. Puluhan buku yang menurut sipemberi rekomendasi bisa dan telah mengubah dan menggubah kepribadian si anak yang membaca. Ini mengkonfirmasi apa yang menjadi saran Mangunwijaya bahwa membaca adalah jendela lebar inspiratif untuk menemani anak tumbuh dan berkembang mekar semekar-mekarnya.
Menurut Mary, anak cenderung mengingat dan merekomendasi buku-buku non fiksi seperti buku-buku cerita. Tetapi, tidak berarti Anda tidak boleh membeli buku di mana Anda menemukan hal menyenangkan yang menarik bagi anak Anda. “Anak perempuan saya yang kecil menyukai buku anatomi. Dia membacanya berulang-ulang, tetapi buku seperti ini bukanlah buku-buku yang akan direkomendasikan anak-anak. Lagi pula popularitasnya tergantung secara keseluruhan pada kepentingan pembaca. Sehingga bacaan non fiksi ini lebih seperti fiksi dan dapat dinikmati oleh bermacam-macam pembaca. Tetap lengkapilah anak-anak Anda dengan penuh buku non fiksi yang menggambarkan minat mereka.”
Buku Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t yang ditulis Mary Leonhardt ini pun sangat direkomendasikan untuk dibaca orangtua.
Kekuatan rekomendasi teman
Menurut Mary, anak tumbuh sehat ceria dikelilingi tidak hanya oleh buku-buku komik dan buku cerita serial, mereka juga perlu memiliki orang-orang pemberi rekomendasi perihal bahan bacaan yang menarik. Peran ini bisa diambil oleh guru, pustakawan, orangtua atau kakak yang sudah membaca buku tersebut. Namun yang menarik adalah penegas dari Mary bahwa, “Sayang kita tidak bisa berbuat sebaik jika teman-teman dan saudara-saudara mereka yang melakukannya. Kekuatan seorang teman ternyata lebih berpengaruh dalam merekomendasikan buku.” Artinya, merujuk penegasan Mary ini, para orangtua haruslah berupaya meminta teman sebaya atau kakak kelas dari anaknya untuk merekomendasikan buku.
Membaca besar dan ngemil
Buku adalah jendela dunia dan membaca cara kita membuka jendela itu supaya dunia kita tidak sumuk dan gerah. Seumpama sebuah rumah, ketika kita membuka jendela terasa segar dibanding tertutup sumuk dan gerah. Udara yang melegakan dan semilir angin membuat akal sehat yang lega tidak mudah terseret arus emosional dan reaktif menghadapi perilaku anak, misalnya.
Maka membaca seharusnya merupakan fasilitas yang lebih riang menghantar seseorang menjadi manusia “kaya kegembiraan”. Membaca adalah menabung “kegembiraan” yang bisa sesewaktu disharingkan dan dihadiahkan kepada si anak. Membaca itu seumpama makan. Ada makan besar dengan alokasi waktu dan ruang khusus namun juga ada makan sekedar mengunyah camilan (mengemil). Membaca itu juga seperti makan, bisa memerlukan waktu banyak dan khusus, namun juga bisa diperlakukan sebagaimana ngemil camilan. Menjadikan buku seperti camilan adalah mengasyikkan.
Kotak pertanyaan
Di sekolah dasar eksperimen gagasan Romo Mangun, ini merupakan satu kegiatan khusus bagi anak-anak mengumpulkan satu atau lebih pertanyaan secara tertulis kepada guru setiap hari Sabtu. Pertanyaan bisa berupa apa saja asal yang menimbulkan keingintahuan mereka. Tujuan dari pembelajaran ini agar anak memiliki keinginan untuk bereksplorasi, menyelidik, meneliti dan mempermasalahkan sesuatu. Selain itu, dengan pelajaran kotak pertanyaan ini anak menjadi tahu bahwa guru bukan pihak yang serba tahu karena terkadang beberapa pertanyaan murid tidak bisa dijawab oleh Guru.
Sangat menarik apabila ini diterapkan pula di rumah oleh orangtua. Agar lebih menarik dan menantang bagi si anak barangkali kotak pertanyaan bisa diubah menjadi celengan pertanyaan. Saat membuka celengan bisa didesain sedemikian rupa dalam suasana menghibur. Anak pun menjadi lebih antusias, sehingga momen ini menjadi saat yang ditunggu-tunggu oleh si anak setiap minggu. Orangtua lebih leluasa mengelola imajinasi dan ide-ide segar, yang di satu sisi menjadi tambahan pengetahuan bagi si anak, juga bagi si orangtua, dan pada saat bersamaan di sisi lain menjadi jembatan penghubung alamiah mengakrabkan jiwa batin orangtua dan anak.
Majalah meja
Majalah meja juga layak dihadirkan oleh orangtua di rumah. Bisa menjadi alternatif kegiatan kreasi dan rekreasi bagi anggota keluarga. Aktivitas bersama mengumpulkan artikel pilihan dari suratkabar dan majalah, kemudian digunting dan ditempel di atas meja. Esensi majalah meja adalah untuk merangsang anak supaya mau membaca. Kegiatan majalah meja tidak jarang dikaitkan dengan pelajaran IPS (Sejarah). Menurut Romo Mangun, pengajaran sejarah sedapat mungkin menyajikan kerangka kesadaran akan waktu bagi diri siswa sehingga mereka sampai pada pengertian bahwa umat manusia, baik secara perlahan atau cepat, terus mengalami perkembangan. Majalah meja menunjang hal tersebut karena menyajikan kepada siswa berita dan kejadian perkembangan keseharian umat manusia di sekitarnya. Waktu santai membuat majalah meja bisa menjadi titik temu berkualitas interaksi anak dan orangtua.
Religiusitas
Orangtua seyogyanya bisa lebih menumbuh suburkan religiusitas di rumah. Manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai bakat atau potensi bawaan, dan makhluk berdimensi sosial, menurut Romo Mangun manusia juga makhluk yang bernilai dan ber-Tuhan. Manusia makhluk yang bernilai karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga. Sikap religiusitas menjadi bagian khas konsep pendidikannya, menurut Gus Dur memang harus dijalankan dan ditekankan.
Bahkan dalam salah satu artikelnya Gus Dur menyatakan bahwa paham religiusitas seperti inilah yang nantinya mampu membentuk tatanan masyarakat yang ideal. Sebab di dalamnya tidak ada sekat apapun, baik sekat agama, suku, etnis maupun yang lainnya, yang ada adalah kesatuan makhluk Tuhan. Dalam arti,Gus Dur hendak mengatakan bahwa dengan konsep pendidikan ini anak diharapkan akan menjadi generasi-generasi yang memiliki keyakinan dan paradigma yang inklusif, demokratis dan dialogis dalam kehidupannya kelak.
Komunikabel
Selain itu Romo Mangun juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah makhluk bahasa. Dalam arti manusia ialah makhluk yang mempunyai potensi berkomunikasi yang berguna atau digunakan sebagai alat untuk mengembangkan potensi-potensi awal yang dimilikinya. Yang dimaksud Romo Mangun di sini bukan bahasa yang berarti sempit, yakni bahasa cuma simbol verbal komunikasi lisan, tetapi juga mencakup komunikasi lain yang beraneka-ragam wujudnya, seperti bahasa tubuh, bahasa gerak, bahasa isyarat dan bahkan interaksi sosial.
Mengejawantahkan optimal status mahkluh bahasa ini, orangtua idealnya senantiasa menghadirkan komunikasi sehari-hari yang komunikabel, salah satunya perlu menguasai pengetahuan komunikasi dasar. Sebagai contoh, realitasnya, meskipun terkesan mudah dan sepele, masih banyak orangtua yang belum bisa membedakan mendengar dan mendengarkan. Mendengar cukup menggunakan dua telinga. Semisal mendengar suara nyamuk bersileweran. Sedangkan mendengarkan adalah tindakan yang memerlukan dua telinga ditambah hati plus akal sehat. Anak itu perlu didengarkan bukan cuma didengar, karena anak bukanlah seekor nyamuk. Namun karena pemahaman komunikasi dasar yang masih kurang, acap terjadi miskomunikasi dan gagal fokus gagal paham antara orangtua dan anak.
Menempel pesan
Contoh lain untuk hubungan yang komunikabel (pesan-pesan tersampaikan kepada komunikan presisi sebagaimana yang ada di benak pikiran komunikator), boleh ditiru meskipun terkesan sepele tetapi berdampak signifikan, yaitu aktivitas menempelkan pesan. Kadangkala pesan verbal langsung tatap muka kurang menghibur dan membosankan dibanding ketika si anak menuliskan pesan curhatnya buat si ibu dan menempelkan di papan yang disepakati, atau di pintu kulkas, misalnya. Ide biasa ini menjadi luarbiasa sebab menjadi wahana mengakumulasi rasa sayang. Akumulasi rasa sayang itu memang penting diakumulasikan sebanyak-banyaknya dan itu tidak terbatas. Membiasakan kreatif dalam berhubungan dengan anak, sehingga bukan kontak indera jasmani saja, melainkan juga kontak hati kontak pikiran.
Banyak cara kreatif lain yang bisa diselenggarakan atas inisiatif orangtua untuk melegakan emosi si anak, dan membuat tertawa hati dan pikiran si anak.
Literasi informasi
Literasi informasi merupakan kemauan, kemampuan, dan ketekunan mencari, mengumpulkan, mengakses, mengevaluasi, mengelola, dan kemudian menggunakan informasi untuk menjaga kerapian hubungan anak dan orangtua.
Orangtua sudah banyak memberikan perbekalan moral untuk anak-anaknya tetapi harus tetap eling lan waspada. Karena ketika semua jendela dan pintu di rumah sudah ditutup dan dikunci rapat-rapat, tetap saja ada jendela yang selalu terbuka dan bisa dimasuki pencuri. Televisi, internet, sosial media menjadi jendela yang tetap terbuka itu yang mampu menggerus atau mencuri perbekalan moral yang sudah ditabung di hati dan pikiran si anak. Jadi literasi informasi itu perlu terus dimahirkan.
Keinginan atau kebutuhan
Mengutip Romo Mangun dalam St. Sularto, Pendidikan Manusia Merdeka, dalam Impian dari Yogyakarta, (Yogyakarta: Kompas, 2005), menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi, animal rationale. Dalam pengertian, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya atau lebih pasnya makhluk merdeka. Dengan pengertian ini maka manusia mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya.
Pun Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, menegaskan keberhasilan seseorang dalam hidup hanya 20 persen ditentukan oleh kemampuan intelektual, sedangkan 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi. Pakar pendidikan Pater J. Drost ikut menguatkan, bahwa orangtua tidaklah boleh memaksakan kehendak, memaksa anak belajar di luar kemampuan dan kecerdasannya. Pemaksaan semacam itu akan menghancurkan emosi anak. Tugas orangtua sebagai “guru” di rumah selain membantu anak memperoleh tingkat kepandaian sesuai kemampuan intelektualnya juga harus dapat membentuk mereka menjadi dewasa mandiri dalam kehidupan. Karena itu anak harus dikenali dan diterima apa adanya.
Ironisnya banyak orangtua yang belum “mengenali” atau yang “’tidak mau” mengenali diri anaknya, atau yang merasa sudah mengenali anaknya, padahal sebenarnya belum. Ini membuat gagal paham perihal batasan mana tindakan berdasarkan keinginan orangtua dan mana yang berdasarkan kebutuhan (potensi) si anak. Mereka memaksa anak menjadi manusia rekaan (keinginan) orangtua, anak diwajibkan mengikuti bimbingan belajar, mencarikan guru les privat mumpuni berbayar mahal dengan harapan mendapat nilai atau rangking tertinggi di kelas. Jika anak tidak bisa belajar karena tuntutan keinginan tadi anak justru dituduh malas. Ini menghambat jati diri anak tumbuh berseberangan dengan aksioma di mana hati diletakkan di sanalah proses belajar dimulai.
Orangtua mengenali anaknya adalah keniscayaan. Namun untuk lebih utuh paripurna mengenali si anak, orangtua berkewajiban terus menerus menghebatkan kemampuan diri untuk mengenali anaknya, mungkin melalui diskusi dengan oranglain, membaca ulasan para pakar psikologi, atau mengikuti seminar. Dengan demikian maka kesimpulan mengenai anak adalah benar sebenar-benarnya dan memudahkan terbebas dari jebakan keinginan.
Gambaran Romo Mangun berikut ini membantu orangtua mengenali anak, kodrat anak normal dan sehat ialah serba bertanya, serba mencari, serba ingin mencoba, serba eksploratif, lewat praksis belajar aktif. Sisi lain dari satu mata uang: anak kodratnya kreatif. Mulai dari fase pralogis sampai pemekaran nalarnya si anak selalu serba mencipta. Mulai dalam imajinasi dongeng atau selama menyanyi, sampai membuat gubuk sendiri di atas dahan pohon atau permainan dari bahan buangan. Serba mengkreasi. Maka berkat hasrat eksplorasi dan kreativitasnya itulah si anak sangat dini sudah tahu, bahwa untuk mencapai sesuatu ada jalan banyak. anak sejak dini sudah bereksperimen dengan berpikir alternatif atau lebih keren:lateral thingkingmenurut de Bono, mengarah ke cara pikir dan cita rasa integral. Komprehensif, menyeluruh dengan data, situasi, kondisi, dan sejarah hidupnya yang real ada padanya.
Romo Mangun menyatakan bahwa secara kodrat pada diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Di antara potensi-potensi tersebut ialah potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar dan ingin mencapai kepenuhan diri. Visi edukasi yang utama adalah pada manusia, sang perajut makna hidup. Romo Mangun mengajarkan semangat kemanusiaan dan manusiawi dalam manifestasi apapun harus senantiasa dijaga.
Cerita seorang ibu yang selalu menyediakan cokelat enaak manis di laci lemari
Menjadi tua adalah kepastian. Namun menjadi dewasa itu adalah pilihan. Menjadi orang tua (penulisan dipisah) adalah keniscayaan. Menjadi orangtua adalah pilihan. Ketika sudah memilih menjadi orangtua, maka menjadi orangtua de jure adalah kepastian. Sedangkan menjadi orangtua de fakto adalah pilihan. Pilihan terbaik adalah menjadi orangtua yang “orangtua”, orangtua secara de jure dan juga de fakto. Itu hanya bisa direbut apabila berkenan dan berkomitmen selalu menjadi orangtua pembelajar.
Cerita di bawah ini menjadi renungan penutup bagi tulisan ini.
Ada seorang ibu selalu menyediakan stok cokelat enak manis di laci lemari. Ketika ibu-ibu tetangga memilih menggunakan suara dikeraskan dan mungkin cubitan pukulan ketika memarahi anak mereka yang berbuat kesalahan, dia akan memberikan cokelat enak itu kepada anaknya jika melakukan kesalahan. Bagi tetangga sikap itu terkesan memanjakan si anak, aneh, tetapi si ibu sudah menyediakan jawaban:
“Ini cara terbaik saya berkomunikasi dengan anak-anak saya. Baik ketika anak-anak saya perlu diapresiasi karena prestasi yang diraih. Atau ketika anak-anak saya perlu ditegur karena telah berbuat kesalahan. Ya, barangkali ada potensi membuat mereka menjadi manja. Namun saya percaya, ketika kita memberikan karena hati bukan niat iming-iming dan disertai dialog lembut nan syahdu, maka cokelat itu adalah penguat pesan yang dalam merasuk ke batin si anak. Setiap anak memiliki hati lebih luas dari lapangan sepakbola. Bicaralah dengan anak-anak menggunakan bahasa hati. Saya tidak ingin mewariskan rekaman kekerasan di rongga pikiran anak saya. Seorang anak itu akan tumbuh menjadi dewasa. Rekaman amarah dan kekerasan yang dirasakan ketika masih kecil akan mereka bawa terus sampai dewasa. Saya ingin anak-anak saya mengingat ibunya yang asyik-asyik saja. Bagi saya anak bukan tong sampah emosi. Kita harus bisa membedakan mana sebenarnya marah yang menjadi fasilitas untuk mengingatkan dan mengkoreksi perbuatan salah anak, dan mana sebenarnya sekedar pelampiasan emosi orangtua. Memberikan cokelat enak manis membantu saya lepas dari kemungkinan menjadikan anak-anak saya sebagai tong sampah emosi saya.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H