Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ranperpres Jurnalisme Berkualitas, Authorship Rights Wartawan Belum Terakomodasi

4 Agustus 2023   16:55 Diperbarui: 9 Agustus 2023   15:16 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hak cipta (Sumber Gambar: legalzoom.com)

Gagasan mengenai pentingnya regulasi yang menuntut tanggung jawab platform digital global, seperti Google, Facebook dan sejenisnya, sebenarnya telah mengemuka sejak Hari Pers Nasional (HPN) pada tahun 2020.

Dan, itu kembali dipertegas oleh Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2023 lalu, di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi atas konten berita yang diproduksi oleh media lokal dan nasional.

Pada peringatan HPN tersebut, Presiden meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, dan stakeholder terkait agar segera menuntaskan klausul-klausul tentang Publisher Rights yang akan dimasukkan dalam Perpres. 

Namun, sebelum membahas rancangan perpres tersebut, penting untuk diketahui posisi Peraturan Presiden dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

(Tentang Hak Cipta, Baca: Artificial Intelligence Tidak Dapat Diberikan Hak Cipta, Ini Alasannya)

Posisi Peraturan Presiden

Kewenangan presiden dalam membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tidak selalu atas dasar pendelegasian. 

PP maupun Perpres sebagai peraturan pelaksana undang-undang bisa bersumber dari wewenang mengatur (regelen functie) yang melekat pada seorang presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan (original power) atau kewenangan mandiri (Bagir Manan dalam Fadli, 2011).

Peraturan Presiden, sebelum diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal sebagai Keputusan Presiden, sebagaimana diatur dalam Lampiran II A angka 5 Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 dan Pasal 2 angka 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 (Indrati, 2019). 

Namun, setelah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, istilah Keputusan Presiden diganti dengan Peraturan Presiden. 

Posisi Peraturan Presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan terdapat pada Pasal 7 ayat (1) huruf d UU No. 10 Tahun 2004 jo. Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hamid S. Attamimi dalam disertasinya yang berjudul "Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I-PELITA IV" (1990) menyebutkan bahwa keberadaan Keputusan Presiden (Keppres) atau yang sekarang disebut dengan istilah Perpres, mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, khususnya dalam penyelenggaraan perundang-undangan negara (Attamimi, 1990).  

Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), Perpres berisi tiga materi, yakni: materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, dan materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. 

Dari ketiga materi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perpres mempunyai tiga fungsi, yakni: peraturan delegasi, peraturan pelaksana, dan peraturan mandiri. 

Sebagai peraturan delegasi, Perpres harus harus bersumber pada undang-undang induk (parent act/primary legislation) dan tidak boleh melampaui muatan delegasi. Sedangkan sebagai peraturan pelaksana, Perpres dapat bersumber dari delegasi atau kewenangan mandiri (original power) (Fadli, 2011).

Namun, apabila undang-undang belum mengatur, sementara urusan teknis belum ada aturan hukumnya, maka pemerintah harus bertindak berdasarkan discretionary power atau freies ermessen. 

Discretionary power atau freies ermessen merupakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting yang mendesak yang datang secara tiba-tiba, dimana belum ada peraturannya (Marbun, 2003).

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);
  • Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah (PP);
  • Peraturan Presiden (Perpres);
  • Peraturan Daerah (Perda) Provinsi; dan
  • Perda Kabupaten/Kota

Apabila merujuk pada UUD 1945, tidak disebutkan secara langsung mengenai jenis peraturan ini. Karena Perpres merupakan produk eksekutif (pemerintah), maka pelaksanaannya cukup dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. 

Watak dari Perpres adalah beleidsregel, yakni aturan kebijakan yang sifatnya mengikat ke dalam dari unsur pelaksana pemerintah, sehingga seyogyanya Perpres tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. 

Keberadaan Perpres digambarkan sama dengan Peraturan Gubernur, Walikota maupun Bupati, yang diakui eksistensinya dan dibutuhkan keberadaannya, namun tidak berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Di satu sisi, presiden sebagai suatu lembaga perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan tersendiri yang disebut Peraturan Presiden. 

Sementara di sisi yang lain, presiden diperbolehkan dan dimungkinkan untuk membuat Peraturan Pemerintah. 

Ilustrasi hak cipta (Sumber Gambar: legalzoom.com)
Ilustrasi hak cipta (Sumber Gambar: legalzoom.com)

Peran Perpres sebagai peraturan delegasi, yakni fungsi Perpres untuk memuat materi yang diperintahkan oleh undang-undang, kelihatannya hampir mirip dengan materi muatan PP, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 UU P3, yakni materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 

Lalu muncul pertanyaan, mengapa untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai aturan dalam undang-undang diperlukan adanya dua bentuk aturan, yakni PP dan Perpres? 

Sementara dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit disebutkan bahwa presiden hanya menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang.

Jika UUD 1945 telah menegaskan bahwa pemerintah berhak membuat PP untuk menjalankan UU, maka mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) masih diberikan keleluasaan membentuk perpres yang juga berfungsi untuk menjalankan UU? 

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Jimly Asshiddiqie memberikan pendapat bahwa keleluasaan presiden dalam membuat Perpres, dari sisi hukum administrasi negara, merupakan ruang gerak dalam konsep Freies Ermessen (Asshiddiqie, 2010). 

Selain itu, terdapat argumen bahwa keberadaan perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi logis atas kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia (Risalah Rapat Pansus RUU P3, 2011).

Maria Farida Indrati dalam bukunya yang berjudul "Ilmu Perundangan-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi Muatan)" (2013), istilah Peraturan Presiden sebagai pengganti istilah Keputusan Presiden, memberikan argumen sebagai berikut: 

Istilah "keputusan" dalam arti luas biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan keputusan yang bersifat menetapkan (beschikking). 

Istilah "keputusan" merupakan pernyataan kehendak yang bersifat netral, yang secara kajian di bidang perundang-undangan dapat dibedakan sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan (wetgeving), keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan semua (beleidsregel, pseudo-wetgeving), keputusan tata usaha negara (beschikking), maupun keputusan yang berentang umum lainnya (besluiten van algemene strekking). 

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sering kali dibentuk suatu keputusan yang hanya bersifat mengatur sehingga dapat disebut peraturan, atau suatu keputusan yang hanya bersifat menetapkan, yang dapat disebut penetapan. 

Namun demikian, seringkali pula terdapat suatu keputusan di dalamnya terdiri atas ketentuan yang mengatur dan sekaligus ketentuan yang bersifat menetapkan.

Definisi Peraturan Presiden menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2019 tentang tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Sudah begitu, menurut Pasal 55 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019, disebutkan bahwa dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.

Hak Cipta Karya Jurnalistik

Hak cipta atas karya jurnalistik belum mendapat posisi yang tegas dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). 

Namun, jika mengacu pada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), maka subjek pemegang hak cipta karya jurnalistik adalah wartawan sebagai pencipta karya jurnalistik. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Pers disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 1 angka 1). 

Dari kegiatannya itu, wartawan sebagai pencipta atau pemegang hak cipta karya jurnalistik, sesuai dengan Pasal 8 UUHC, memiliki hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.

Dalam hal pemanfaatan karya jurnalistik yang dibuat oleh wartawan sehingga menimbulkan keuntungan ekonomi pada pihak perusahaan pers dimana wartawan tersebut bekerja, belum mendapat pengaturan yang khusus pada UU Pers. 

Hubungan hukum antara wartawan dengan perusahaan pers hanya bersifat hubungan antara pekerja dan pihak yang mempekerjakan (majikan). 

Hak ekonomi yang diterima wartawan, sesuai Pasal 10 UU Pers, hanya menyebutkan bahwa perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan/atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 

Dalam Penjelasan Pasal 10 disebutkan bahwa bentuk kesejahteraan lainnya adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain.

Dengan demikian, posisi profesi wartawan dalam UU Pers hanya dianggap sebagai buruh atau pekerja biasa, sebagaimana sifat pengaturan profesi tersebut tidak ada bedanya dengan tenaga kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan atau UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

Sementara, jika dilihat dari kekhususan dari profesi wartawan yang harus memiliki kualifikasi tertentu, seperti melakukan kegiatan peliputan, menginvestigasi, menganalisa, dan kemampuan menulis berita atau liputan, maka wartawan atau jurnalis sudah selayaknya memegang hak cipta karya jurnalistik.

Antara Publisher Rights dan Authorship Rights

Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas diusulkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai pemrakarsa dan Pokja/task force media sustainability yang dibentuk oleh Dewan Pers. 

Usulan ranperpres ini disampaikan Dewan Pers kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Februari 2023 lalu melalui surat nomor 170/DP/K/II/2023 dengan perihal penyampaian draft usulan RPerpres terkait Media Sustainability usulan Dewan Pers dan konstituen. Sesuai dengan lampiran surat tersebut, terdapat draft ranperpres yang disetujui oleh Dewan Pers dan perwakilan organisasi pers sebagai konstituen, yakni: AJI, SPS, ATVSI, AMSI, SMSI, IJTI, ATVLI, PRSSNI, dan PWI.

Pada Pasal 1 angka 2 Ranperpres Jurnalisme Berkualitas disebutkan bahwa bagi hasil adalah pembagian pendapatan atas pemanfaatan berita oleh perusahaan platform digital yang diproduksi perusahaan pers berdasarkan perhitungan nilai keekonomian. 

Pada poin ini terdapat elemen penting, yaitu berita, yang sesuai Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa berita merupakan karya jurnalistik wartawan. 

Akan tetapi, posisi wartawan sebagai pihak yang menghasilkan karya jurnalistik tidak mendapat tempat dalam bagi hasil dari pemanfaatan berita oleh perusahaan platform digital yang diproduksi perusahaan pers. 

Terkecuali jika pihak perusahaan platform digital hanya memanfaatkan space iklan yang secara khusus disediakan oleh pihak perusahaan pers melalui situs yang dikelolanya. Atau dapat dikatakan, iklan yang ditayangkan oleh perusahaan platform digital pada situs yang dimiliki oleh perusahaan pers tidak satu kesatuan dengan konten berita yang disajikan. 

Namun, apabila tayangan iklan yang berasal dari perusahaan platform digital, maka sudah sewajarnya wartawan sebagai penulis berita juga mendapatkan hak atas bagi hasil dari pemanfaatan berita.

Hal ini berkaitan dengan hak penulis (authorship rights) yang melekat pada wartawan yang menghasilkan karya jurnalistik berupa berita karena di dalamnya mengandung kekayaan intelektual. Posisi perusahaan pers sebagai badan hukum secara substansial merupakan penerbit yang menerbitkan karya-karya jurnalistik dari wartawan.

Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas, seperti Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan organisasi pers, tidak bisa mengabaikan begitu saja kepentingan wartawan dalam hubungan hukum antara perusahaan platform digital dan perusahaan pers karena adanya unsur berita sebagai produk jurnalistik wartawan yang dimanfaatkan secara ekonomi. 

Hal ini untuk memberikan jaminan hak bagi wartawan dari setiap transaksi yang diperoleh dari hubungan perusahaan platform digital dan perusahaan pers. Jurnalisme berkualitas hanya dapat tercipta dari karya-karya jurnalistik wartawan yang hak-haknya, baik secara moral maupun ekonomi, juga terlindungi secara hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun