Tulisan ini sengaja dibuat dalam rangka merespon UU Kesehatan yang baru disahkan oleh DPR pada 11 Juli 2023 yang lalu yang banyak menuai protes, khususnya bagi kalangan yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. Sebelumnya, tulisan ini juga telah dimuat oleh Kompas.com dengan judul "Peluang Uji Materi Omnibus Law UU Kesehatan" pada 15 Juli 2023 pada link berikut.Â
Namun, penulis perlu untuk menyampaikan pada platform blog ini agar publik memperoleh satu pemahaman yang utuh dari tulisan tersebut karena judul yang terdapat pada versi Kompas.com berbeda dengan yang penulis maksudkan, yakni antara Uji Materi dengan Judicial Review.Â
Uji Materi dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD hanya menyangkut original intent (penafsiran tekstual) terhadap pasal-pasal yang diatur dalam UU. Â Sementara Judicial Review tidak hanya menguji UU secara materiil, namun juga pengujian formil. Dengan demikian, judul yang diberikan oleh Kompas.com belum mewakili substansi yang terdapat dalam tulisan tersebut.Â
Selain itu, terdapat beberapa editing dari naskah tulisan dengan artikel yang dimuat di Kompas.com, yang penulis anggap hal tersebut merupakan keputusan pihak editorial. Untuk itu, tulisan ini sengaja dimuat secara utuh disini agar khalayak pembaca dapat memperoleh alur logika yang jelas dari apa yang dimaksud dengan judul di atas. Selamat membaca!
Selain UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang telah diuji formil di MK lewat Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, terdapat juga UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang secara substantif merupakan jelmaan dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah diuji, merupakan produk hukum yang menggabungkan beberapa undang-undang menjadi satu undang-undang baru atau disebut dengan konsep "Omnibus Law".
Sebelum UU Cipta Kerja, model Omnibus juga telah digunakan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini dapat disebut sebagai Omnibus Law mengingat terdapat 11 jenis peraturan yang dicabut ataupun diubah.
Tak hanya itu, model Omnibus juga digunakan oleh DPR dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, yang telah menimbulkan reaksi penolakan, bukan hanya masalah teknis prosedural penyusunannya, namun juga masalah materi atau pasal-pasal yang terdapat di dalamnya.Â
Penolakan pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan  ini muncul dari organisasi profesi yang berkepentingan langsung, yakni Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan kelompok masyarakat sipil, pada 11 Juli 2023 lalu yang digelar di depan Gedung DPR/MPR RI. Sebelumnya, aksi penolakan juga pernah digelar pada 8 Mei 2023 lalu di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta.
Menurut draft Omnibus Law RUU Kesehatan yang terdapat pada laman situs resmi DPR RI, RUU tersebut merupakan penggabungan dari 9 (sembilan) undang-undang yang terkait dengan sektor kesehatan, yakni UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Menular, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU No. 36 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Kebidanan.
Masalah Prosedur dan Substansi
Dalam penyusunan atau perumusan suatu undang-undang, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan, yakni: pertama, persoalan teknis prosedural. Dan kedua, masalah materi yang diatur dalam pasal-pasal. Jika melihat proses perjalanan UU Kesehatan, mulai dari perumusan hingga pengesahan, maka UU ini dapat dikatakan tergolong cepat atau hanya memakan waktu kurang lebih 8 (delapan) bulan, terhitung sejak Desember 2022, dimana saat itu DPR melakukan pengesahan RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 (angka 18 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:11/DPR/ll/2022-2023 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2023). Selanjutnya, di bulan Februari 2023, RUU ini disepakati menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III 2022-2023, dimana dari 9 fraksi di DPR, terdapat 8 fraksi menyepakatinya, kecuali fraksi PKS.
Pada Maret 2023, ada 2 agenda terkait RUU ini, yakni: pada tanggal 10 Maret 2023, DPR resmi mengirim draf RUU ini kepada pemerintah. Dan tanggal 16 Maret 2023, pemerintah menargetkan penyusunan daftar inventarisasi RUU ini rampung pada Juni 2023.
Pada April 2023, secara resmi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan diserahkan pemerintah kepada DPR. DIM RUU ini sudah dibahas sejak Agustus 2022, namun baru diketahui publik sekitar Maret 2023 yang berisi 478 pasal, batang tubuh sebanyak 3020, dengan komposisi sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi.Â
Sementara itu, baru pada Juni 2023 pemerintah bersama DPR mengadakan rapat kerja pembicaraan tingkat I RUU ini dengan menyepakati naskah RUU Kesehatan dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Ini memperlihatkan bahwa proses pembentukan RUU Kesehatan hingga menjadi UU memakan waktu yang cukup singkat. Akan muncul pertanyaan publik, bagaimana bisa sembilan UU yang mau diubah menjadi Omnibus dapat dibahas secara komprehensif dalam waktu kurang dari tiga bulan? Problem prosedur penyusunan RUU ini dapat menjadi dasar dalam pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Definisi pengujian formil termaktub dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Â
Lebih lanjut, dalam Sub-paragraf [3.15.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUUXVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan undang-undang. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUUXVII/2019, hlm. 361-362).
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 merupakan yurisprudensi terkait syarat penilaian pengujian formil, yang terdiri dari 5 (lima) syarat, yakni: pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi UU; pengujian atas bentuk (format) atau sistematika UU; pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Dalam pandangan Saldi Isra, sistem legislasi sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, mengatur bahwa proses pembentukan UU (law-making process) merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1) prakarsa pengajuan RUU; (2) pembahasan RUU; (3) persetujuan RUU; (4) pengesahan RUU menjadi UU; dan (5) pengundangan dalam lembaran negara (Saldi Isra dalam Keterangan Ahli perkara uji formil UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Salinan Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, hlm. 27).
Upaya ini dilakukan untuk melimitasi aktivitas politik fungsi legislasi demi menjamin due procces of law yang tertib dan berkeadilan. Pentingnya sebuah kaidah dan asas pembentukan undang-undang dalam fungsi legislasi ditujukan untuk meminimalisir warna kepentingan politik dalam aktivitas pembentukan rancangan undang-undang.
Argumen lain yang dapat memperkuat pentingnya due procces of law yang tertib dan berkeadilan adalah pendapat Yuliandri dalam Keterangan Ahli perkara uji formil-materil UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Salinan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014, hlm. 81- 88), yang menyebut bahwa proses pembentukan undang-undang memiliki sifat constitutional importance, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22A UUD 1945. Ada 3 (tiga) alasan yang mendasarinya, yakni: pertama, keberadaan tata cara atau prosedur merupakan salah satu jalan untuk mengontrol agar kekuasaan pembentukan UU yang dimiliki DPR dan juga Presiden tidak disalahgunakan. Kedua, prosedur atau tata cara dapat dijadikan indikator untuk menilai semangat atau motif apa yang ada dibalik perumusan sebuah norma.Â
Secara kasat mata, substansi yang dimuat dalam UU bisa saja dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena yang diatur merupakan open legal policy pembentuk UU, namun sebuah norma sangat mungkin lahir dari sebuah moral hazard. Ketiga, proses dan hasil pembentukan sebuah UU bukanlah dua hal yang terpisah. Sekalipun keduanya dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat diletakkan secara dikotomis. Proses sangat menentukan hasil. Oleh karenanya, proseslah terlebih dahulu yang harus dinilai, baru kemudian hasilnya.
Meskipun perumusan UU Kesehatan dengan menggunakan model Omnibus Law didasarkan pada Pasal 42A UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun tetap harus memperhatikan asas kepastian hukum.Â
Bagaimanapun, prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap negara sangat bergantung kepada sistem yang dianut oleh negara tersebut, sekalipun model Omnibus Law sudah banyak digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental (Redi dan Chandranegara, 2020). Hal ini selaras dengan teori "The law of non transferability of law" yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, yakni hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (Suteki, 2013).
Selain problem law-making process UU Kesehatan yang dapat dijadikan dasar pengujian formil ke MK, setidaknya ada 4 (empat) problem substansial yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan dasar dalam pengujian materil, yakni: pertama, perumusan RUU Kesehatan tidak jelas dan tidak mempunyai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta tidak mendesak.Â
Kedua, RUU tersebut juga memuat kemudahan pemberian izin praktik bagi dokter asing di Indonesia. Sementara, bagi dokter yang dalam negeri sendiri prosedurnya cukup panjang. Walaupun pemerintah mengakui bahwa izin bagi dokter asing bakal diberikan terbatas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun rumah sakit swasta tempat investor negaranya menanam saham, namun hal ini tetap menjadi ancaman bagi dokter di dalam negeri.
Ketiga, yang tak kalah pentingnya dalam RUU ini adalah masalah dihapusnya belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang (mandatory spending) untuk sektor kesehatan, yakni 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD, sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Â
Pengaturan ini tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yaitu minimal 20 persen, dan TAP MPR RI No. X/MPR/2001 Poin 5a angka 4, dengan bunyi: mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN, untuk mencapai syarat minimum HDI (Human Development Index) yang ditetapkan oleh WHO.
Dan keempat adalah masalah ketidakpastian hukum yang akan dihadapi oleh organisasi profesi tenaga kesehatan jika sembilan undang-undang yang mengatur tentang profesi dan kesehatan digabung menjadi satu produk undang-undang omnibus.
Peluang Judicial Review
Hak konstitusional warga negara dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang memberikan kesempatan untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila dalam pembentukan UU dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan UU tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Mekanisme judicial review diyakini akan mampu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan checks and balances antarcabang kekuasaan negara. Selain itu, judicial review menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) bagi pembentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang (Isra, 2014). Dalam konsepsi pengujian, hak menguji dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yakni: pertama, hak menguji formal (formele toetsingsrecht) melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, hak menguji material (materiele toetsingsrecht), melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (Ali, 2015).
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.
Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak (Soemantri, 1986).Â
Sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan UU (Alrasid, 2003). Demikian juga Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsingsrecht) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU dan pemberlakuan UU (Asshidiqqie, 2006).
Dengan demikian, jika merujuk pada ketentuan yang mengatur tentang hak konstitusional warga negara dalam hal pengujian formil dan diperkuat dengan pandangan para ahli hukum di atas, maka pihak-pihak yang keberatan dengan proses pembentukan UU Kesehatan dapat melakukan uji formil ke MK.
Untuk pengujian materiil (materiele toetsingsrecht), Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini juga disebutkan dalam definisi pengujian materiil pada Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021.
Apabila merujuk pada poin-poin materi yang dianggap bermasalah pada UU Kesehatan, maka pihak yang berkepentingan dengan UU ini dapat melakukan pengujian materiil dengan tetap berpegang pada 4 (empat) dasar pengujian, yakni: pengujian UU terhadap UUD merupakan hak konstitusional warga, adanya kerugian konstitusional yang ditimbulkan dari berlakunya suatu UU, kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial terjadi, dan adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H